ERA BARU KAMPUS DAKWAH

ERA BARU KAMPUS DAKWAH

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum DDII Pusat
(www.adianhusaini.id)

dewandakwahjatim.com – Kebijaan “Kampus Merdeka” yang diluncurkan pemerintah sejak Desember 2020 memberi peluang besar kepada kampus-kampus dakwah untuk berbenah. Serangan Pandemi Covid-19 semakin mempercepat proses pembenahan itu. Kini, kampus-kampus dakwah memiliki peluang besar untuk menjadi kampus terbaik – dalam makna sebenarnya!
Kampus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia – Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir) – pun terus bergerak, melakukan berbagai pembenahan. Sebagaimana kampus-kampus lainnya, sudah setahun, perkuliahan harus dilakukan secara online. Ini tantangan. Tapi, ini juga peluang kampus kampus dakwah untuk bergerak cepat melakukan berbagai pembenahan.

Dalam bulan Maret 2021, sudah beberapa kali pimpinan STID Mohammad Natsir dan pimpinan DDII melakukan musyawarah untuk menyambut zaman baru ini. Diskusi dan konsultasi dengan para pakar pendidikan pun dilakukan.
STID Mohammad Natsir sudah berkiprah sejak tahun 1999 dan sudah melahirkan sekitar 600 dai setingkat strata-1. Mereka tersebar ke berbagai pelosok tanah air. Kini, STID Mohammad Natsir pun sudah diperkuat dengan jaringan kampus Akademi Dakwah Indonesia (ADI) di 20 kota.


Dalam beberapa tahun terakhir, kampus STID Mohammad Natsir dibanjiri pendaftar. Tahun 2020, dari sekitar 1200 pendaftar, hanya 230 mahasiswa yang diterima. Setiap tahun, kampus DDII ini meluluskan sekitar 100 sarjana dakwah. Mereka dikirim ke daerah-daerah yang memerlukan tenaga dai. Ada yang di Mentawai, Seram, NTT, Sulawesi, dan sebagainya. Mereka harus melaksanakan program dakwah selama dua tahun.

Di Era “Kampus Merdeka”, maka Kampus Dakwah STID Mohammad Natsir memahami, bahwa kini terbuka lebar peluang untuk tampil dengan wajah dan semangat baru, untuk menjadi kampus terbaik. Disebut ”Kampus Terbaik”, karena di sinilah dididik manusia-manusia terbaik. Yakni, manusia yang sejak awal berkomitmen untuk menjadi pejuang dan orang-orang yang bermanfaat pada sesama.
Selama masa pendidikan, para mahasiswa STID Mohammad Natsir ditekankan mereka bangga menjadi dai. Allah SWT sudah mengabarkan, bahwa: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim!” (QS Fushshilat: 33).

Kampus Merdeka

Al-Quran surat Fushilat: 33 itu sudah identik dengan ayat dai. Karena begitu mulianya kedudukan dai, maka logisnya, anak-anak muslim berebut dan bangga menjadi dai dan kuliah di kampus-kampus dakwah. Sebab, berdakwah dan menjadi dai adalah pekerjaan utama dari ummat Muhammad saw.
Itulah yang diamanahkan Rasulullah saw dalam Pidato Perpisahan beliau (khutbatul wada’). Dalam pidato di hadapan ribuan kaum Muslimin ketika itu, sambal menengadah ke langit, Rasulullah saw berulang kali menyampaikan: “Allahumma qad ballaghtu, Allahumma fasyhad! Ya Allah, sungguh telah aku sampaikan, Ya Allah, saksikanlah!
Karena itulah, hakikat eksistensial umat Islam adalah sebagai “ummatud-da’wah”, sebagai umat pejuang! Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah), jika dalam dirinya melekat sifat sebagai pejuang penegak kebenaran. (QS Ali Imran: 110). Sebaliknya, umat Islam akan menjadi umat yang lemah dan hina, jika kehilangan jiwa pejuang itu.

Dalam al-Quran dikisahkan, bahwa Luqman al-Hakim mendidik anaknya agar menjadi pejuang yang senantiasa menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran (QS Luqman: 17). Jadi, sejak dini, sifat-sifat pejuang itu harus ditanamkan dalam diri anak-anak. Orang tua dan guru harus menjadikan “pembentukan jiwa pejuang” atau “penanaman jiwa dakwah” itu sebagai salah satu “standar kompetensi” yang harus dicapai dalam proses pendidikan.
Rasulullah saw telah memberi contoh terbaik. Beliau berjaya dalam melahirkan satu generasi terbaik, yakni generasi Sahabat. Mereka adalah orang-orang terbaik (khairun naas), yang dalam diri mereka melekat jiwa pejuang dan kecintaan terhadap ilmu. Rasulullah saw pun diperintahkan oleh Allah SWT untuk berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilmaa”.

Dengan demikian, maka sepatutnya, semua kampus Islam pada hakikatnya adalah ”kampus dakwah”. Apa pun jurusan atau program studinya. Pendidikan Islam harus melahirkan para pejuang atau dai. Pesan utama para orang tua dan para dosen kepada para mahasiswa muslim adalah: ”jadilah kamu pejuang yang memiliki keahlian bidang tertentu!”
Misalnya, ”Jadilah kamu pejuang yang dokter!”; ”Jadilah kamu pejuang yang memiliki skill berdagang!”; ”Jadilah kamu pejuang yang memiliki keahlian jurnalistik!”; ”Jadilah kamu pejuang yang memiliki keterampilan komputer!”, dan sebagainya.

Kini, pemerintah telah meluncurkan kebijakan ”Kampus Merdeka”. Kebijakan itu disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim pada 4 Desember 2020 lalu. Diantara isi kebijakan itu adalah: memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar kampusnya selama dua semester, dan mengambil SKS di luar prodinya selama satu semester.
Kebijakan ini juga mencakup perubahan definisi SKS, dari “jam belajar” menjadi “jam kegiatan”. “Kegiatan” itu mencakup: belajar di kelas, magang, praktik kerja di industry atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi lapangan, juga mengajar di daerah terpencil. Dengan kebijakan itu, konsep linierisme sempit sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan.

Era Kampus Merdeka ini memberi peluang kepada kampus-kampus Islam untuk menerapkan konsep universitas secara utuh. Para mahasiswa muslim tidak boleh dididik berpikiran sempit dan terbelenggu hanya pada prodinya saja. Lazimnya, ini yang disebut sebagai ”polymath university”. Mahasiswa bukan hanya menguasai ilmu dalam prodinya saja, tetapi ia didorong untuk menguasai berbagai bidang keilmuan.

Sebenarnya, jauh sebelum era kebijakan ”Kampus Merdeka” ini, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir telah memberikan berbagai ketrampilan kepada para lulusannya, agar mereka siap terjun ke masyarakat. Di Era ”Kampus Merdeka”, STID Mohammad Natsir semakin mengokohkan diri sebagai ”polymath university”.
Sebab, para dai yang diluluskan harus dibekali dengan berbagai keilmuan dan ketrampilan agar mereka bisa hidup mandiri di tengah masyarakat. Mereka harus memiliki jiwa kemandirian. Mereka harus menjadi manusia merdeka.
Soal rizki, mereka yakin, bahwa Allah-lah yang membagi-bagikan rizki. Dan Allah sudah menjamin: “Jika kamu menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong kamu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad: 7). Wallahu A’lam bish-shawab.(sudono/ed)

(Solo, 15 Maret 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *