Dr. Slamet Muliono Redjosari
(Anggota Bidang Pemikiran Islam DDII Jatim)
dewandakwahjatim.com - Hilangnya frase “agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035, dan berganti “akhlak” dan “budaya, menghentak dan mengoyak memori bersama masyarakat Indonesia. Betapa tidak, agama sebagai bagian integral dari pendidikan nasional, justru dibuang dan diganti dengan akhlak dan budaya. Kalau frase agama akan merujuk pada agama yang dianut pemeluknya, sementara akhlak dan budaya sangat luas cakupannya. Implikasi membuang kata agama bukan saja menghilangnya ruh pendidikan tetapi secara sengaja ingin meruntuhkan moralitas generasi bangsa. Spirit agama merupakan energi yang menggerakkan para pejuang dan para pendiri bangsa (founding fathers) untuk mengusir penjajah, sehingga Indonesia bisa berdiri tegak sebagai sebuah bangsa. Ketika menghilangkan frase agama, sama saja mendongkel pondasi utama negara ini. Memasukkan frase akhlak dan budaya, sebagai ganti agama, justru akan semakin memicu potensi perdebatan dan pertentangan yang tak berujung.
Agama Sebagai Ruh Bangsa
Sebagaimana diketahui bahwa kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemedikbud), melalui PJPN menetapkan Visi Pendidikan Indonesia 2035 sebagai berikut: “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Pernyataan di atas langsung menyentakkan memori berbagai elemen bangsa. Bagi kelompok Islam, hilangnya frase agama dalam PJPN menunjukkan semakin mengokohnya langkah-langkah sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan hilangnya frase agama, akan muncul pembelaan dan mengedepankan budaya sebagai sebuah tolok ukur kebenaran. Sementara budaya itu sangat beragam sesuai dengan tafsir dan kebiasaan masyarakat setempat. Perdebatan tentang boleh tidaknya minuman keras (miras) akan memicu perdebatan. Tradisi miras bagi suatu komunitas bisa jadi sebagai kebanggaan yang perlu dilestarikan, namun bagi masyarakat lain, miras dipandang sebagai tradisi yang merusak moral anak bangsa.
Sebagaimana diketahui bahwa hilangnya frase agama pertama kali disampaikan Haedar Nashir dari PP Muhammadiyah, dan kemudian dibenarkan berbagai kalangan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan sejumlah ormas. Mereka prihatin dan protes karena dikhawatirkan akan meruntuhkan moralitas anak bangsa. Yang lebih memprihatinkan penghilangan frase agama terjadi di negara mayoritas muslim terjadi penghilangan frase.
Pihak Kemendikbud sendiri mengakui bahwa hilangnya frase agama itu masih draft sehingga masih bisa dievaluasi kembali dan siap merevisinya. Pernyataan ini dipandang sebagai diplomatis dan mengelak dari kenyataan. Karena tidak mungkin perumusan PJPN hingga menghilangkan ruh dari pendidikan nasional ini, sementara agama menjadi bagian integral dari pendidikan nasional.
Di sisi lain, penyusunan PJPN tidak melibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud dan partisipasi publik, sehingga kesan menjauhkan masyarakat dari agama semakin kental. Hal ini selaras dengan SKB tiga menteri yang melarang pewajiban maupun pelarangan atribut keagamaan di sekolah. Dalam konteks ini, penghilangan frase agama ada hubungannya dengan memisahkan masyarakat dari nilai-nilai agama. Menempatkan budaya dan mendegradasi agama sangat jelas nuansa sekularisasi agama.
Kalau dilihat dari tujuan pendidikan nasional sangat jelas, yakni membentuk manusia berakhlak mulia, dan itu sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (3), UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi. Tujuan pendidikan nasional itu berujung terbentuknya generasi yang mulia akhlaknya. Akhlak yang mulia tak mungkin terwujud tanpa pondasi agama yang kokoh. Logikanya, ketiga agama dihilangkan, maka generasi yang mulia akhlaknya akan sirna. Dengan kata lain, Agama merupakan tiang agama. Tanpa adanya agama, bangunan pendidikan yang sudah berjalan akan runtuh.
Realitas di atas menunjukkan bahwa penghapusan frase agama bukanlah kebetulan, tetapi sebuah perjuangan untuk menjauhkan masyarakat dari agama. Ketika budaya menjadi rujukan dan dikedepankan maka masyarakat akan berkembang tidak di atas nilai-nilai agama. Situasi ini selaras dengan kebijakan rezim selama ini, dimana agama disisihkan dari ruang publik.
Kebijakan menghilangkan frase agama memang sebagai cara untuk menguji (test case) umat Islam. Kalau umat Islam diam dan tak mereaksi atas kebijakan rezim ini, maka kebijakan penghapusan frase agama akan dijalankan. Test case kepada umat Islam itu bisa kita lihat dari beberapa kasus sebelumnya. Pertama, munculnya SKB tiga menteri yang melarang kepala daerah dan kepala sekolah menerapkan pakaian berdasarkan kekhususan agama. Kedua, lampiran Keputusan Presiden (Keppres) tentang miras akan dijalankan bila umat Islam membiarkannya. Ketiga, Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) Indonesia tanpa frase agama juga demikian.
Semua kebijakan itu, apabila tidak ada reaksi umat Islam, maka kebijakan anti agama akan berjalan. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam berjuang agar Kemendikbud mengubah PJPN berubah menjadi : “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, budaya Indonesia, dan Pancasila.(sudono/ed)
Surabaya, 15 Maret 2021