Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat
(www.adianhusaini.id).
dewandakwahjatim.com – “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang Kami berkati sekelilingnya karena hendak Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar. Maha Melihat.” (QS 17:1).
Menurut Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar, ayat ini menegaskan, bahwa Allah memang telah. memperjalankan Nabi Muhammad saw di waktu malam dari Masjidil-Haram ke Masjid al-Aqsha (yang jauh). Jarak yang biasanya ditempuh sekitar 40 hari dengan berjalan kaki atau unta, hanya ditempuh dalam 1 malam saja. Ini jelas tidak lazim, menyalahi kebiasaan (khariqul ‘adah).
“Apabila direnung bunyi ayat ini lebih dalam, dengan penuh iman akan kekuasaan Tuhan, tidak akan ragu lagi bahwa yang dimaksud dengan hamba-Nya itu ialah diri Muhammad s.a.w.. Muhammad yang hidup. yang terdiri dari tubuh dan nyawa. Sebab itu maka dia Isra` dan Mi’raj pastilah dengan tubuh dan nyawa. Bukan mimpi dan bukan khayal. Apatah lagi kemudian beliau sendiri menjelaskan pula dengan buah tutumya (Hadis) apa yang beliau alami itu,” tulis Hamka.
Imam Ibn Katsir menjelaskan, berdasarkan sejumlah hadits Nabi saw, sangat jelas, Nabi Muhammad saw menjalani Isra’ dan mi’raj dengan tubuh dan ruhnya, dalam keadaan sadar, bukan dalam kondisi tidur seperti mimpi. Perjalanan Nabi dilakukan dengan kendaraan tertentu (buraq). Jika hanya ruh, maka tidak perlu kendaraan. Begitu juga makna QS an-Najm:18, bahwa Rasulullah saw telah melihat tanda-tanda (kekuasaan) Allah yang sangat agung. “Melihat” (ra-â) adalah aktivitas manusia.
Inilah pendapat yang rajih, bahwa Rasulullah saw memang manjalani Isra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruh beliau. Isra’ Mi’raj bukan sekedar mimpi Nabi. Karena itulah ayat ini yang diawali dengan “sabhânalladzi”, yang memang menunjukkan, bahwa Isra’ dan mi’raj adalah perkara besar, perkara yang menakjubkan, sehingga diabadikan dalam al-Quran.
**
Dikisahkan, bahwa setelah mendengar berita tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Abu Jahal melihat peluang baik untuk menyerang Rasulullah saw. Ia pun meminta Rasulullah saw menjelaskan kepada kaumnya. Nabi saw pun menyetujui dan menjelaskan secara terbuka peristiwa besar yang beliau alami. Banyak yang kemudian menolak kebenarannya, mengikuti Abu Jahal. Namun, banyak pula yang meyakini kebenaran cerita itu, karena Rasulullah saw tidak mungkin berdusta.
Karena perstiwa Isra’ dan mi’raj berada di atas jangkauan akal, maka ada yang menyatakan, bahwa Isra’ Mi’raj adalah adalah sebuah peristiwa yang harus diterima dengan iman dan tidak bisa diterima dengan akal, karena peristiwa itu memang tidak masuk akal. Karena tidak masuk di akalnya, Abu Jahal menolak berita Isra’ dan mi’raj. Tetapi, sebaliknya, akal Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. bisa menerima kebanaran Isra’ Mi’raj.
Provokasi Abu Jahal dan beberapa tokoh kafir Quraisy tidak ‘mempan’ untuk membatalkan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau cukup berlogika sederhana: Jika yang menyampaikan berita itu adalah Muhammad saw, pasti cerita itu benar adanya. Bahkan, lebih dari itu pun Abu Bakar ash-Shiddiq percaya. Jadi, Isra’ Mi’raj sangat masuk di akalnya Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, dan tidak masuk pada akalnya akalnya Abu Jahal.
Karena dinilai tidak masuk akal (tidak rasional), kalangan ilmuwan sekuler tidak memasukkan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib atau diatas jangkauan akal, sebagai “ilmu” (knowledge). Tapi, itu dimasukkan ke dalam “dogma” atau “faith”. Isra’ Mi’raj dianggap tidak ilmiah.
Padahal, dalam Islam, informasi tentang sifat-sifat Allah, tentang Akhirat, adanya pahala dan dosa, tentang berkah, dan sebagainya, merupakan bagian dari Ilmu! Cerita tentang Isra’ Mi’raj adalah ilmiah, sebab disampaikan oleh sumber berita yang pasti kebenarannya, yatu al-Quran.
Informasi tentang kenabian Muhammad saw, bahwa beliau menerima wahyu dari Allah SWT, adalah merupakan ILMU. Dalam QS Ali Imran:19 disebutkan, bahwa kaum ahlul kitab tidak berselisih paham kecuali setelah datangnya ILMU pada mereka, karena sikap iri dan dengki. Jadi, bukti kenabian Muhammad saw adalah suatu ILMU, yakni suatu informasi yang pasti kebenarannya.
Jadi, informasi tentang hal-hal ghaib adalah ILMU dan “masuk akal”. Sebab, informasi itu dibawa oleh manusia-manusia yang terpercaya. Karena sumber informasinya adalah pasti (khabar shadiq/true report), makan nilai informasi itu pun menjadi pasti pula.
Sebenarnya, fenomena semacam ini terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita percaya, bahwa kedua orang tua kita sekarang ini, benar-benar orang tua kita, juga berdasarkan informasi dari orang-orang yang kita percayai. Karena semua orang yang kita percayai memberikan informasi yang sama – bahwa mereka adalah orang tua kita – maka kita pun percayai, meskipun kita tidak melakukan tes golongan darah atau tes DNA.
Kitab al-‘Aqaid al-Nasafiah diawali dengan bimbingan cara berpikir dan cara meraih ilmu dalam Islam. Imam al-Nasafi menulis kalimat awal pada kitabnya: “haqaa’iq al-asyyaa’ tsaaibitatun, wal-‘ ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan li-sufastha’iyyah.” (Hakekat segala sesuatu adalah tetap; dan memahaminya adalah kenyataan; berbeda dengan pandangan kaum sofis). Kaum sofis adalah kaum yang tidak percaya bahwa manusia bisa meraih ilmu. Mereka selalu ragu dengan pengetahuan yang diraihnya.
Lalu, Imam al-Nasafi melanjutkan uraiannya dengan mengungkapkan tiga sebab manusia meraih ilmu, yaitu melalui panca indera, khabar shadiq (true report), dan akal. Konsep epistemologi al-Nasafi ini sangatlah penting untuk dipahami para pengkaji ilmu, khususnya para akademisi, dan juga setiap muslim. Kekeliruan dalam memahami konsep ilmu dapat menjauhkan manusia dari kebahagiaan sebab tidak pernah mengenal Tuhan Sang Pencipta.
Berita-berita tentang hal-hal yang ghaib bukan “irasional”, tetapi di atas jangkauan akal, dan diterima oleh akal yang sehat. Sebab, sumber beritanya didasarkan pada sumber-sumber terpercaya (true report/khabar shadiq). Maka, itu termasuk ILMU yang benar.
Meskipun akal tidak dapat mencerna secara langsung, kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj adalah ilmiah. Isra’ Mi’raj disebutkan dalam sumber yang pasti benar (al-Quran). Maka, berita tentang Isra’ Mi’raj adalah ilmiah, dan merupakan ILMU yang pasti kebenarannya, dan wajib kita imani.(sudono’s/ed)
(Semarang, 9 Maret 2021).