JIKA PERGURUAN TINGGI SUDAH MATI, SOLUSINYA YA DIHIDUPKAN LAGI


Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id), Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Dalam beberapa bulan terakhir, saya banyak berdialog intensif dengan para santri dan pelajar SMA tingkat akhir, juga dengan para orang tua mereka. Para pelajar itu akan lulus SMA dan hampir semuanya mau melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi. Nah, disitulah masalahnya. Kampus mana yang sepatutnya dijadikan sebagai tujuan kuliah!


Bagaimana sebenarnya kondisi perguruan tinggi, apakah sakit atau mati? Jika sakit, maka diobati agar sembuh. Jika ada kerusakan maka diperbaiki. Tapi, jika kondisinya sudah mati, maka solusinya adalah dihidupkan.


Untuk menjawabnya, silakan rujuk kembali buku yang sangat populer dan sudah diterjemahkan pula ke bahasa Indonesia, yaitu buku “Dark Academia: How Universities Die” karya Prof. Peter Fleming.


Menurut Fleming: “Kondisi perguruan tinggi modern sebenarnya sudah sakit parah! Dalam kurun waktu 35 tahun terakhir, misi dasar perguruan tinggi di berbagai dunia telah dirusak. Perguruan Tinggi telah bermetamorfosis menjadi perusahaan bisnis yang terobsesi dengan pemasukan, pertumbuhan, dan hasil…”


Itu pandangan Peter Flemming! Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah berpuluh tahun lalu menyatakan bahwa universitas modern adalah simbol manusia dalam kondisi yang zalim. “The modern university is the epitome of man in a condition of zulm,” kata Prof. al-Attas. Lebih jauh dikatakan: “But the university as it later was developed in the West and emulated today all over the world no longer reflects man. Like a man with no personality…”


Jadi, menurut Prof. al-Attas, sebuah universitas harusnya menjadi simbol seorang manusia dalam kondisi ideal, yakni dalam kondisi yang adil. Universitas modern adalah laksana manusia tanpa kepribadian.


Lebih menarik jika kita kaitkan dengan rusaknya perguruan tinggi di masa Imam al-Ghazali. Ketika itu al-Ghazali menulis kitab monumental: Ihya’ Ulumiddin. Artinya: menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Di zaman itu, banyak sekali orang belajar ilmu-ilmu agama, tetapi niat dan tujuan mereka salah. Maka lahirlah ulama-ulama atau ilmuwan-ilmuwan yang rusak ilmu dan akhlaknya, sehingga berdampak pada rusaknya umara dan masyarakat secara luas.


Dalam Muqaddimah Kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali menyebutkan munculnya ulama-ulama yang telah rusak ilmu dan akhlaknya. “Kebanyakan mereka telah dikuasai oleh setan dan terbujuk oleh orang-orang yang melampaui batas. Setiap orang yang mendapat bagian dunianya, dia akan memujinya. Lalu dia melihat yang baik menjadi buruk, yang buruk menjadi baik. Sehingga ilmu agama menjadi terhapus…”
Seharusnya, tujuan mencari ilmu di Perguruan Tinggi adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang baik dan berguna bagi masyarakat. Perguruan Tinggi jangan sampai melahirkan manusia-manusia yang jahat yang justru merusak masyarakat.


Para lulusan perguruan tinggi merusak masyarakat, bisa jadi karena ilmu yang dia pelajari memang salah. Atau, akhlaknya yang rusak, sehingga melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Jika sudah seperti itu kondisinya, maka berarti suatu perguruan tinggi memang sudah mati.
Jika perguruan tinggi sudah mati, maka solusinya adalah dihidupkan lagi. Caranya, konsep pendidikan tinggi itu sendiri yang harus dirumuskan ulang dan para dosennya diperbaiki ilmu dan akhlaknya.


Sebenarnya, perguruan tinggi dikatakan masih hidup jika ia menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang “mendidik” manusia agar menjadi manusia yang seutuhnya (a universal man). Yakni, manusia yang baik; baik sebagai hamba Allah dan baik pula kepada diri, keluarga, dan masyarakatnya.
Apa yang dikatakan Peter Fleming bahwa kondisi perguruan tinggi modern sebenarnya sudah sakit parah, maka pemerintah dan juga para penyelenggara pendidikan tinggi swasta perlu merenungkan kondisi ini dengan serius. Yang sakit parah segera diobati. Jika sudah mati, ya dihidupkan lagi dengan konsep yang baru.


Untuk menentukan perguruan tinggi sakit parah atau tidak, harus digunakan ilmu pendidikan, bukan ilmu pabrik. Sebab, Perguruan Tinggi sejatinya bukan pabrik atau industri. Kesuksesan industri diukur dari jumlah omsetnya atau keuntungannya.


Konsep industri itu berbeda dengan konsep pendidikan. Keberhasilan suatu pendidikan harus diukur dari kriteria utama: apakah lembaga pendidikan itu melahirkan manusia-manusia yang berguna bagi masyarakatnya atau tidak! Bukan utamanya diukur dari berapa jumlah lulusannya dan berapa keuntungan materi yang didapat dari “bisnis” pendidikan itu. Bukan itu!
Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 5 Maret 2025).

Admin: Kominfo DDII Jatim

Wditor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *