Hubungan Murid dan Guru: Natsir yang Tekun dan A.Hassan yang Kreatif

Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Jika Buya Mohammad Natsir itu tokoh nasional yang sangat cemerlang, maka siapa gerangan gurunya? Tentu, ini pertanyaan yang wajar sebab guru adalah faktor sangat penting dalam menunjang kesuksesan (pendidikan) seseorang.

Memang, guru yang baik berpeluang sangat besar dalam melahirkan murid-murid yang baik pula. Dalam kalimat lain, murid yang baik akan lahir dari guru-(guru) yang baik pula. Tentang hal ini, sejarah punya catatan tak terbantahkan.

Oleh karena itu, sangat menarik jika kita ajukan pertanyaan: Siapa guru-guru Natsir? Atas hal ini, Natsir sendiri menyebut, yang paling menonjol ada tiga. Pertama, A. Hassan (1887-1958), “Guru Persis, Tajam Menulis dan Fasih Berdebat”. Kedua, Agus Salim (1884-1954), “Guru Banyak Aktivis Pergerakan Nasional Berjuluk The Grand Old Man”. Ketiga, Ahmad Surkati (1875-1943), “Pendiri Al-Irsyad dan Guru dari Banyak Tokoh Nasional”.
Kali ini, kita bicarakan A.Hassan. Dia seorang Ulama Besar. Dia seorang pendidik sukses.

Guru Baik

Namanya Ahmad Hassan. Nama itu, sering ditulis A.Hassan. Dia seorang ulama besar yang berkepribadian kuat.

Dia lahir pada 1887 di Singapura. Kemudian bermukim di Surabaya. Dari Surabaya A.Hassan pindah ke Bandung. Di Bandung, dia mengajarkan agama. Dia tidak mengajar secara formal di sekolah, tapi di mushalla di rumahya.

Apa yang diajarkan A.Hassan menarik perhatian orang-orang muda, termasuk Natsir yang pada 1927 belajar di AMS (SMA sekarang). Kala itu, Natsir diajak oleh teman-teman untuk mendengarkan ceramah A.Hassan.

Sejak itulah Natsir tertarik dengan cara-cara A.Hassan dalam menginterpretasikan Islam. Ulama dengan sorot mata tajam tapi teduh itu menghubungkan ajaran Islam dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. A.Hassan tegas memberantas khurafat, kekolotan sikap dan kebekuan berpikir.

Bagi Natsir, semakin sering dia ikuti ceramah-ceramah A.Hassan semakin besar pula simpatinya kepada sang guru. Adapun manfaat praktis bagi Natsir, itu terkait dengan posisinya di Jong Islamieten Bond (JIB).

Bahwa, sebagai anggota JIB Natsir merasa perlu memberikan pengertian yang benar tentang Islam kepada teman-temannya yang saat itu sebagian sekular. Maka, dengan bekal ilmu dari A.Hassan, Natsir bisa menyampaikan ajaran Islam dalam kursus-kursus JIB.

Waktu bergerak. Dengan A.Hassan, Natsir sering berdialog dan berdiskusi. Sementara, di sekolahnya, Natsir diajari dan kemudian terbiasa berpikir secara mendalam. Ini, terutama yang berkenaan dengan pelajaran sejarah dan kajian filsafat. Di bagian ini, sering membuat Natsir dihinggapi semacam keragu-raguan dalam menerima pelajaran.

Terkait kalimat terakhir di atas, kemudian Natsir mendiskusikannya dengan sang guru yaitu A.Hassan. Atas sikap Natsir yang peduli kepada ilmu ini, lalu A.Hassan menjadi lebih memperhatikan Natsir secara khusus.

Ternyata apa yang Natsir anggap baru dan mendatangkan keragu-raguan itu, bagi A.Hassan justru biasa-biasa saja. Sang guru bisa memahami pemikiran filsuf Barat.

Natsir berkesimpulan, betapa luas pengetahuan A.Hassan. Selanjutnya, Natsir punya beberapa pengalaman pribadi yang menarik tentang cara-cara yang khas dari A.Hassan dalam mendidik dan mengkader murid.

Ini kisah guru menyediakan fasilitas yang diperlukan muridnya. Bahwa, Natsir belajar kepada A.Hassan tentang agama dan bahasa Arab. Adapun dasar-dasarnya sudah Natsir dapatkan saat dia belajar di Sekolah Diniyah, dulu di Sumatera – asal dia.

Berlatih Debat

Natsir belajar dengan berkunjung di rumah A.Hassan di Bandung. Saat Natsir datang ke A.Hassan, hampir selalu dijumpainya sang guru sedang asyik menulis. Biasanya, menulis Tafsir Al-Qur’an.

Saat Natsir datang dan melihat A.Hassan dalam posisi sedang tekun menulis, maka dia membalikkan badan akan keluar. A.Hassan yang kemudian melihat Natsir, berseru memanggil sang murid. Dimintanya Natsir untuk tidak pulang. Maka, duduklah Natsir. Lalu, mulailah diskusi bahkan debat antara murid dan guru. Hal yang seperti ini sering terjadi, habis ashar sampai maghrib.

Apa makna debat di kisah ini? Memang, benar-benar berdebat! Terkadang, Natsir membawa permasalahan, lalu keduanya mengkaji. Terkadang pula, A.Hassan yang melontarkan masalah kepada Natsir.

Jika Natsir tidak dapat memecahkan masalah yang diajukan A.Hassan, maka sang guru meminjaminya sejumlah buku untuk dipelajari. Lalu, topik itu dibahas lagi pada pertemuan berikutnya. Natsir harus dapat menguraikan jawaban atas permasalahan yang diajukan. Demikianlah seterusnya, cara A.Hassan mengajar.

Terus Berpikir

Selanjutnya, ini kisah guru memberi peran dan tangggung jawab. Saat Natsir duduk di kelas III SMA, A.Hassan meminta Natsir memimpin sebuah majalah, Pembela Islam. Atas tugas itu, hubungan Natsir dengan A.Hassan semakin dekat.

Tampak, pada mulanya Natsir tidak belajar agama secara formal. Tapi, Natsir belajar dengan cara berhubungan langsung dengan seorang ulama besar. Natsir, pada perkembangannya, sangat terkesan dengan cara sang guru dalam mendorong muridnya untuk maju.

Dalam catatan Natsir, A.Hassan tak pernah memaksakan suatu pola tertentu kepadanya. Sang guru selalu mendiskusikan bersama atas masalah yang diangkat. Dia dorong Natsir untuk selalu berpikir.

Berikut ini, pengalaman Natsir yang lain tentang cara A.Hassan mendidik muridnya agar senantiasa berpikir. Pernah di suatu ketika, di sekolah Natsir ada tamu, seorang penceramah atau lebih tepat penginjil. Nama dia, Christoffer.

Si penginjil berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. Pada mulanya, dia memuji berbagai kelebihan Muhammad Saw. Namun ujung dari keseluruhan uraian dia, yang benar hanyalah Jesus Kristus.

Apa yang terjadi itu oleh Natsir kemudian diceritakan kepada A.Hassan. Sang guru menganjurkan Natsir agar menanggapi ceramah tersebut. Untuk itu A.Hassan memberi Natsir berbagai bahan bacaan. Atas dorongan itu, Natsir lalu menulis brosur kecil. Judulnya, “Muhammad als Profeet”.

Percaya Diri!

Berikut ini model pembelajaran yang lain. Kala itu ada perdebatan tentang nasionalisme antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis – PNI. Soekarno pada waktu itu menjadi juru bicara PNI.

Natsir, sebagai Muslim, merasa terpukul dengan pandangan Soekarno yang meremehkan Islam. Bagi Soekarno Islam menjadi budaya kelas dua saja, menjadi subkultur. Menghadapi masalah ini, Natsir kembali didorong A.Hassan untuk menanggapinya.

Terasa, A.Hassan selalu menanamkan kebiasaan untuk sepenuhnya percaya diri. Dia latih murid yang dididiknya agar jangan takut salah. Jika nanti ternyata salah, perbaiki lagi.

Tamsil Asyik

A.Hassan wafat pada 10/11/1958. Di masa hidupnya, di antara hal penting yang harus terus kita ingat tentang adalah bagaimana caranya mendidik. Rupanya, ulama penulis Tafsir Al-Furqan itu punya tamsil menarik. Bahwa, “Anak itu kalau digendong terus tak akan pandai berjalan”. []

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *