Natsir Tekun Memasyarakatkan dan Membina Bahasa Indonesia

Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Oktober, sejak 1980, ditetapkan sebagai Bulan Bahasa dan Sastra. Kegiatan ini tentu terkait dengan peringatan Sumpah Pemuda, yang kita peringati di setiap 28 Oktober.

Bulan Bahasa dan Sastra dimaksudkan untuk membina plus mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia. Ada harapan, lewat kegiatan ini, semangat dan peran masyarakat dalam menangani masalah bahasa dan sastra terus terjaga bahkan menguat.

Banyak kegiatan yang bisa kita selenggarakan di Bulan Bahasa dan Sastra. Misalnya; Lomba Menulis Artikel, Lomba Menulis Cerita Pendek, Lomba Menulis Puisi, dan Lomba Baca Puisi. Bisa juga diselenggarakan seminar bertema ”Bina Keluarga Pecinta Buku” atau yang sejenis. Boleh pula aktivitas seperti Bedah Buku, Lomba Menulis Resensi Buku, Lomba Mendongeng, Festival Teater, Festival Film Pendek, dan lain-lain.

Intinya, siapa pun harus terpanggil untuk turut membina bahasa Indonesia. Semua harus peduli kepada usaha mencintai bahasa Indonesia. Adapun indikator paling kuat bahwa seseorang cinta bahasa Indonesia adalah saat dia berbahasa secara baik dan benar.

Bersama JIB

Di keseharian, bahasa adalah perkara penting. Dengan bahasa, komunikasi antarsesama menjadi lancar. Bahkan, dengan bahasa, rasa persatuan sebagai sesama bangsa bisa mudah dirajut.

Di titik ini, Mohammad Natsir (1908-1993) termasuk di antara yang serius dan sabar dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dia turut memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.

Lewat sikap dan tindakannya, Natsir berusaha keras menyosialisasikan bahasa Indonesia agar dipakai di keseharian. Terkait hal ini, Natsir sang pejuang bangsa asal Alahan Panjang – Solok Sumatera Barat itu, konsisten.

Natsir benar-benar mulai aktif di dalam pergerakan kemerdekaan, menghadapi penjajah, di atas tahun 1925. Waktu itu Natsir dan kawan-kawannya sudah mulai mengadakan gerakan di kalangan pemuda.

Saat Natsir mulai aktif, di kancah pergerakan ada Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, dan sebagainya. Sementara, Natsir dan kawan-kawannya aktif di Jong Islamieten Bond (JIB).

Berbagai “Jong” (yang disebut pertama di paragraf di atas itu) sifatnya kedaerahan. Hal itu berbeda dengan Jong Islamieten Bond yang sifatnya menasional. Salah satu buktinya, di mana-mana ada cabang Jong Islamieten Bond. Organisasi yang disebut terakhir ini, di manapun tidak terpisah-pisah melainkan menjadi satu.

Keadaan di atas mirip dengan yang terjadi di Budi Utomo dan Syarikat Islam. Jika pengikut Budi Utomo banyak di Jawa, maka berbeda dengan Syarikat Islam. Bahkan, HOS Tjokroaminoto-pendiri Syarikat Islam-adalah “Peletak Dasar Perubahan Sosial-Politik di Indonesia”, kata sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara di buku “Menemukan Sejarah” karyanya.

Unik, Unik!

Ada satu pengalaman Natsir yang, rasanya, tak mungkin dilupakan oleh Sang Pahlawan Nasional itu. Pengalaman itu ada hubungannya dengan usaha dia dalam memperjuangkan tegaknya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Mari rasakan, betapa sulit terutama di awal-awal, perjuangan nasional di aspek menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Suatu kali Natsir diminta untuk memberikan ceramah pada kongres Jong Islamieten Bond di Semarang.

Kala itu, Natsir diminta untuk menerangkan hak-hak wanita dalam Islam. Belum lima menit Natsir berceramah, tiba-tiba terdengar interupsi dari tengah-tengah hadirin.

Apa isi interupsi? Mereka meminta agar Natsir melanjutkan ceramahmya dalam bahasa Belanda. Rupanya, pihak yang mengajukan interupsi belum mengerti bahasa Indonesia. Padahal, sebelum itu yaitu lewat Sumpah Pemuda di tahun 1928 sudah dinyatakan secara tegas tentang kita sebagai “Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia”.

Artinya, lewat kejadian bahwa ada pihak yang menginterupsi ceramah Natsir, itu memperlihatkan bahwa praktik berbahasa Indonesia belum terlaksana dengan baik waktu itu. Sebagian, masih menggunakan bahasa Belanda. Dengan demikian, bagaimana “menasionalkan” bahasa Indonesia di saat itu merupakan suatu perjuangan tersendiri.

Kenanglah, Teruskanlah!

Natsir dan Jong Islamieten Bond terus melangkah, berupaya agar masyarakat selalu berbahasa Indonesia. Alhamdulillah, lambat-laun usaha itu membuahkan hasil.

Adapun di antara ukuran keberhasilan perjuangan mereka itu, misalnya, ada pada majalah Jong Islamieten Bond sendiri. Jika semula menggunakan bahasa Belanda, kemudian bertahap yaitu dari setengah-setengah bagian sampai pada akhirnya total menggunakan bahasa Indonesia.

Demikianlah, gambaran perjuangan Natsir dan Jong Islamieten Bond dalam menyadarkan rakyat. Itu, dimulai dari anggota-anggota organisasinya terlebih dahulu lalu meluas ke rakyat kebanyakan.

Memang, saat itu dirasakan, bahwa meningkatkan dan menguatkan kesadaran tentang “Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia” adalah tugas yang tidak mudah. Atas situasi ini, Natsir dan kawan-kawannya di Jong Islamieten Bond makin menyadari bahwa memasyarakatkan bahasa Indonesia merupakan tugas mulia bahkan bagian dari kewajiban sebagai seorang Muslim. Maka, dengan penuh ketekunan, Natsir dan Jong Islamieten Bond terus-menerus memperjuangkannya.

Di samping yang telah dikisahkan di atas, apa lagi jejak kepejuangan Natsir di bidang pembinaan bahasa Indonesia? Bacalah artikel-artikel dari Bapak NKRI itu. Bacalah buku-bukunya, antara lain yang berjudul Capita Selecta. Nikmatilah bahasanya, renungkanlah pemikirannya.

Alhasil, jika hari-hari ini kita nyaman berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional maka sesungguhnya antara lain ada jasa Natsir dan Jong Islamieten Bond di dalamnya. Alhamdulillah! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *