Nasihat-Nasihat Penguat Akal Sehat

Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim

Judul buku : Taman Orang-Orang yang Berakal Sehat
Penulis : Ibnu Hibban
Penerjemah : Misbah Munir
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar – Jakarta
Terbit : Agustus 2024
Tebal : xi + 436 halaman

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Buku ini menarik, karena judul dan siapa yang menulis. Isinya, sesuai judul dan relevan dengan situasi kapanpun terutama di masa kini. Penulisnya, salah satu ulama-intelektual Muslim terkemuka.

Buku ini terjemahan dari kitab Raudhah Al-Uqala’ yang ditulis ulama abad ke-4 Hijriyah, Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Al-Busty. Sang penulis terkenal dengan sapaan Ibnu Hibban.

Ibnu Hibban lahir pada 273 H. Dia banyak melakukan perjalanan ke berbagai kota untuk belajar kepada banyak guru. Di antaranya, dia pernah ke Bukhara. Dia menghimpun hadits selama 30 tahun. Muridnya, juga banyak (h.9&11).

Banyak ilmu yang dikuasai Ibnu Hibban. Dia memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa, nasihat, kedokteran, astronomi, dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya. Dia penjaga warisan Islam. Dia salah seorang pemikir Islam. Dia gudang ilmu (h.12).

Ibnu Hibban salah satu penghafal hadits yang mulia, berkelas dunia. Dia punya banyak karya tulis yang mengagumkan dalam ilmu hadits. Dia, yang wafat pada 354 Hijriyah, sangat menonjol. Hal ini, terutama karena karya tulisnya banyak dan di antara isinya mencakup hal-hal yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Merespons Situasi

Buku ini salah satu warisan klasik yang berharga. Hal ini, karena berisi nasihat-nasihat yang bersumber dari hadits-hadits Nabi Saw, atsar para Sahabat, syair-syair dan ungkapan-ungkapan bijak dari para ulama Salaf.

Latar belakang situasi ketika buku ini dulu terbit, mirip dengan saat ini. Kala itu terjadi kerusakan moral dan kebodohan merajalela. Akibatnya, sendi-sendi kehidupan kacau sekali.

Pada masa itu orang-orang yang berakal seperti makhluk langka, di tengah merebaknya kebodohan. Fitnah terjadi di mana-mana. Ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan.

Atas kondisi yang membutuhkan perbaikan itu, tampil Ibnu Hibban. Dia menulis kitab yang berisi nasihat-nasihat kehidupan. Tersebab itulah kitab ini diberi judul Raudhah Al-Uqala’, yang edisi Indonesia-nya diberi judul Taman Orang-Orang yang Berakal Sehat.

Berakal dan Arif

Bab 1, ”Manusia Berakal dan Sifat Orang Arif”. Ibnu Hibban memulai dengan mengutip hadits, ”Sesungguhnya Allah mencintai akhlak terpuji dan membenci akhlak yang rendah”.

Ibnu Hibban lalu memberi nasihat: Kecintaan seseorang terhadap akhlak yang mulia dan kebenciannya pada perilaku rendah, itulah esensi akal. Ini, karena akal yang membuka jalan bagi peruntungan, menghibur saat terasa asing, dan menghilangkan kenestapan. Tiada harta yang lebih berharga daripada akal. Tidak sempurna agama seorang sebelum akalnya sempurna (h.44).

Bab 3, ”Mencari Ilmu dan Keharusan Mengikuti Kearifan”. Wajib bagi manusia berakal, setelah membenahi batinnya, untuk mulai menuntut ilmu dan menekuninya karena seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dalam satu bidang tanpa kegigihan menuntut ilmu di bidang tersebut. Aturan yang berlaku bagi manusia berakal, bahwa dia tidak boleh lemah dalam menempuh jalan ilmu. Hanya dengan cara itu dia akan akan mendapatkan naungan sayap para malaikat sebagai tanda ridha dengan usahanya.

Selanjutnya, kata Ibnu Hibban, dengan niat dan jalan seperti di atas, penuntut ilmu tidak pantas bercita-cita bahwa dengan ilmunya agar dekat dengan penguasa. Tidak patut penuntut ilmu memperoleh pangkat duniawi. Alangkah buruknya orang alim yang merendahkan dirinya di hadapan pengejar dunia (h.68).

Sedikit, Sedikit!

Bab 4, ”Kewajiban Seseorang Menjaga Lisannya dan Memperjelas Ucapannya”. Terkait, Ibnu Hibban berkata, kewajiban manusia berakal ketika telah memiliki dua karakter (yaitu membenahi batin dan berkomitmen terhadap ilmu) maka dia harus mencurahkan kesungguhannya untuk menjaga lisan agar lisannya berbicara lurus. Hal ini karena lisan dapat menjerumuskan seseorang kepada kebinasaan, sedangkan diam melahirkan rasa cinta dan wibawa. Barangsiapa yang menjaga lisannya, jiwanya pasti tenang.

Ibnu Hibban lalu mengutip Luqman, berdasarkan apa yang pernah diungkap Anas: Bahwa, ”Di antara jenis hikmah adalah diam, namun sedikit yang melakukan” (h.80).

Siapa Berani

Bab 9, ”Berlaku Ramah Meninggalkan Sikap Menjilat dan Persaingan”. Di sini, Ibnu Hibban berkata: Manusia berakal wajib bersikap ramah terhadap orang yang harus dia jalin hubungannya tanpa dibersamai dengan sikap mencari muka. Hal ini karena keramahan menjadi sedekah buat pelakunya, sedangkan mencari muka menjadi dosa bagi pelakunya (h.120).

Bab 11, ”Senda Gurau dengan Kata-Kata yang Diperbolehkan”. Ibnu Hibban mengingatkan, barangsiapa bercanda dengan orang yang tidak setingkat dengannya maka ia akan hina di mata orang itu. Orang itu akan lancang kepadanya sekalipun candaannya benar. Ini, karena segala sesuatu wajib mengikuti jalannya dan hal itu tidak tampak kecuali bagi para ahlinya (h.132).

Undang Bahagia

Bab 14, ”Menjauhi Permusuhan dan Konflik”. Ibnu Hibban berkata, manusia berakal tidak wajib membalas keburukan dengan keburukan yang sama, serta tidak menjadikan laknat dan cacian terhadap musuh sebagai senjata. Ini, karena tidak ada jalan bagi kita untuk menghadapi musuh kecuali dengan jalan memperbaiki kekurangan dan aib kita sehingga musuh tidak menemukan celah untuk mengoreksinya (h.148).

Bab 45, ”Memenuhi Permintaan dan Mencari Kemuliaan dengan Menjauhi Kata ’Tidak’ di Waktu Siang dan Malam”. Berkata Ibnu Hibban, bahwa ”Sesungguhnya aku sangat menganjurkan seseorang untuk mencari akhlak yang mulia dan tidak menolak permintaan orang lain, karena tidak punya harta lebih baik daripada tidak punya akhlak mulia. Penyesalan terjadi akibat tidak segera memanfaatkan kesempatan. Orang merdeka dengan sebenar-benarnya merdeka adalah orang yang dimerdekakan oleh akhlak terpuji. Sebaliknya, budak yang terburuk adalah orang yang diperbudak oleh adab tercela. Bekal paling utama di akhirat adalah keyakinan yang terpuji lagi abadi. Barangsiapa yang berkomitmen terhadap akhlak yang luhur maka segala tindak tanduknya membuahkan kebahagiaan dan hidup dengan senang”.

Berkata demikian, karena Ibnu Hibban punya sandaran kuat. Dasarnya, adalah hadits riwayat Bukhari-Muslim. Intinya, Nabi Muhammad Saw tidak pernah diminta sesuatu lalu Beliau menjawab ”Tidak” (h.363).

Nasihat Pamungkas

Buku terjemahan ini bisa dibilang hadir di saat yang tepat. Hadir di tengah kondisi yang penuh dengan fitnah, kerusakan moral, dan memudarnya ilmu. Lihat negeri ini, di beberapa tahun terakhir. Terasa, akal sehat kita sering diaduk-aduk.

Akal sehat kita sering diaduk-aduk? Cermatilah, misalnya, kok bisa seorang pria bilang nebeng pesawat teman ke AS sementara si teman tidak bersama dia di pesawat itu. Kok bisa, di media sosial seorang lelaki berkata-kata kasar, menghina, mesum, dan rasis.

Sungguh, buku ini makin menarik karena ditutup, yaitu pada bab 50, dengan bahasan berjudul: ”Mengingat Kematian dalam Segala Situasi dan Waspada dengan Datangnya Kematian Setiap Saat”.

Ibnu Hibban berkata, ”Setelah mengamalkan cabang-cabang akal yang telah kami paparkan dalam kitab ini, manusia berakal wajib berkomitmen untuk mengingat kematian setiap saat dan tidak tertipu oleh bujuk-rayu dunia”. Pada akhirnya, ”Kami berharap orang yang ingin menapaki jalan orang yang cerdas dan melalui jalan yang lurus, buku ini cukup sebagai acuan dan pedoman” (h.416).

Tak pelak lagi, penutup di atas sangat tepat. Adakah nasihat sekuat kematian? Mari, bagi yang masih Allah beri kesempatan, semuanya berhimpun di Taman Orang-Orang yang Berakal

Admin: Kominfo DDII Jatim

SS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *