Emomali Rahmon dan Deislamisasi di Tajikistan

Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari Ketua Bidang Masjid, Pesantren dan Kampus (MPK) DDII Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Negeri mayoritas muslim namun pemimpinnya membenci Islam, sehingga kebijakannya kontraproduktif masa depan bagi umat Islam. Hal ini menyebabkan umat Islam bukan hanya mengalami tekanan yang kuat dalam menjalankan syariat Islam, tetapi berupaya untuk mengerdilkan eksistensi Islam. Inilah yang terjadi di Tajikistan. Berbagai kebijakan presiden Tajikistan, Emomali Rahmon membunuh simbol-simbol keagamaan umat Islam. Dengan alasan mencegah terorisme dan radikalisme, pemerintah Tajikistan mengesahkan undang-undang yang melarang hijab, yang kemudian melahirkan kebijakan menutup masjid, pelarangan mempelajari Islam dan sebagainya. Yang lebih mengkhawatirkan, kebijakan ini akan terus berlanjut setelah presiden Rahmon dinyatakan memegang jabatan presiden seumur hidup.

Mengubur Spirit Agama

Deislamisasi terus berlangsung sejak Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon. Sejak kemerdekaannya dari Uni Soviet pada tahun 1991. Dia terus mengurangi peran agama Islam dalam kehidupan publik. Kebijakan deislamisasi itu dengan alasan dengan menggunakan pendekatan otoritarianisme-militeristik. Jejak ideologi komunisme tidak bisa dipungkiri telah memperteguh kekuasaannya seumur hidup. Hal ini berpotensi besar menindas umat Islam dengan kekerasan.

Di Tengah kekacauan politik pasca-Soviet di Tajikistan, Emomali Rahmon pertama kali naik ke tampuk kekuasaan, melalui Partai Rakyat Demokratik Tajikistan. Melalui partai ini, Rahmon berhasil mengambil kendali atas negara dengan dukungan militer dan elit politik pro-pemerintah. Hal ini memperkuat posisi Rahmon sebagai presiden dan mulai membangun kekuatan otoriter yang mendalam.

Rahmon menggunakan pendekatan militerisme dalam memperkuat kekuasaannya, dengan menempatkan orang-orang loyalis di posisi strategis militer dan keamanan. Hal ini menciptakan sistem yang sangat sentralistik dan mengurangi potensi ancaman dari oposisi politik. Seiring dengan meningkatnya kekuasaan, Rahmon juga mengubah konstitusi negara, memungkinkannya untuk terus menjabat tanpa batas waktu. Pada tahun 2016, referendum konstitusional memberinya hak untuk mencalonkan diri tanpa batasan masa jabatan, mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin seumur hidup.

Sejak awal masa kepemimpinannya, Emomali Rahmon menyadari bahwa Islam memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan politik di Tajikistan. Selama perang saudara, faksi Islamis seperti Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (IRPT) memegang peran penting, yang kemudian menjadi ancaman bagi kekuasaan Rahmon. Untuk itu, ia mulai mengimplementasikan kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi peran Islam dalam kehidupan publik dan politik.

Salah satu langkah utama dalam kebijakan ini adalah pembatasan ketat terhadap aktivitas keagamaan. Pemerintah Rahmon menerapkan undang-undang yang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan, termasuk hijab, di tempat-tempat umum dan lembaga pendidikan. Selain itu, anak-anak di bawah usia 18 tahun dilarang menghadiri masjid, yang secara efektif membatasi pendidikan agama bagi generasi muda. Pemerintah juga memberlakukan kontrol ketat terhadap pendidikan Islam, dengan menutup banyak madrasah dan mengawasi kurikulum keagamaan di sekolah-sekolah yang masih diizinkan beroperasi.

Pada tahun 2015, Partai Kebangkitan Islam Tajikistan, satu-satunya partai Islam yang diakui secara resmi di Asia Tengah, dibubarkan oleh pemerintah. Pimpinan partai tersebut ditangkap dengan tuduhan merencanakan kudeta, dan partai tersebut dinyatakan sebagai organisasi teroris. Langkah ini merupakan puncak dari upaya Rahmon untuk menyingkirkan oposisi politik berbasis agama, dan memperkuat kendali negara atas kehidupan keagamaan.

Jejak Komunisme dalam Deislamisasi

Kebijakan Tajikistan untuk melakukan deislamisasi tidak lepas dari sejarah panjang di bawah pemerintahan Soviet. Selama era Soviet, kebijakan ateisme negara mengakar kuat, dengan upaya sistematis untuk menghapuskan agama dari kehidupan publik. Ketika Uni Soviet runtuh, banyak masyarakat Tajik yang kembali kepada Islam sebagai bagian dari identitas nasional mereka. Namun, jejak-jejak ideologi komunisme, termasuk sekularisme ekstrem dan kontrol ketat terhadap agama, tetap ada.

Rahmon menggunakan warisan ini untuk membenarkan kebijakan mendeislamisasi. Dalam pidatonya, ia sering menekankan pentingnya menjaga sekularisme sebagai cara untuk melindungi negara dari ekstremisme agama. Narasi ini juga diperkuat oleh wacana global tentang perang melawan terorisme, yang memberi Rahmon justifikasi tambahan untuk membatasi ruang gerak Islam di Tajikistan. Dengan menciptakan persepsi bahwa Islam politik adalah ancaman terhadap stabilitas negara, Rahmon berhasil memperoleh dukungan internasional dalam kebijakan represifnya.

Rahmon mengandalkan strategi militerisme untuk mempertahankan kekuasaannya. Angkatan bersenjata dan aparat keamanan memainkan peran penting dalam menekan oposisi politik dan menjaga stabilitas rezim. Kebijakan mendeislamisasi juga mendapat dukungan penuh dari aparat militer, yang mengawasi penegakan hukum terkait pembatasan aktivitas agama. Dalam konteks otoritarianisme, Rahmon telah menciptakan sistem politik yang hampir tidak memungkinkan adanya oposisi yang efektif. Media dikontrol ketat oleh negara, dan setiap bentuk protes atau kritik terhadap pemerintah segera ditekan.

Otoritarianisme Rahmon tidak hanya tercermin dalam cara ia memperlakukan oposisi politik, tetapi juga dalam kontrol ketat terhadap masyarakat sipil dan kehidupan sehari-hari warga Tajikistan.

Rahmon semakin mencengkeram kekuasaannya melalui propaganda politik yang menekankan perannya sebagai “pemimpin nasional” atau bahkan “bapak bangsa.” Ia memanfaatkan citra ini untuk memastikan bahwa dirinya dilihat sebagai pemimpin tak tergantikan, yang tidak hanya menjaga stabilitas politik, tetapi juga melindungi negara dari ancaman eksternal, termasuk ekstremisme agama.

Kebijakan mendeislamisasi Rahmon telah menimbulkan kontroversi besar, baik di dalam negeri maupun di komunitas internasional. Di dalam negeri, kebijakan ini berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari umat Muslim, yang menjadi mayoritas di Tajikistan. Pembatasan terhadap simbol-simbol keagamaan dan aktivitas keagamaan menciptakan ketegangan di masyarakat, terutama di kalangan Muslim konservatif yang merasa hak-hak beragama mereka dilanggar.

Di sisi lain, kebijakan ini juga menciptakan jurang antara negara dan masyarakatnya. Meskipun Rahmon berhasil mengendalikan ancaman Islam politik dalam jangka pendek, kebijakan represif semacam ini dapat menimbulkan radikalisasi lebih lanjut di masa depan. Ketika saluran-saluran resmi untuk mengekspresikan keyakinan agama ditutup, beberapa individu atau kelompok mungkin merasa terdorong untuk mencari cara-cara lain yang lebih ekstrem untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka.

Kebijakan Emomali Rahmon untuk mendeislamisasi dengan menggunakan pendekatan militerisme dan memanfaatkan warisan komunisme, sehingga menciptakan sistem yang sangat terpusat dan represif. Kebijakan ini berhasil menekan oposisi politik berbasis agama. Pada saat yang sama, dunia Barat mengalami pembiaran, alias bungkam atas kekuasaan yang katanya demokratik. Namun dalam prakteknya seperti kerajaan yang tiran. Kebebasan beragama pun dilanggar dengan ditutupi narasi global melawan terorisme. Kepemimpinan tangan besi Rahmon bukan hanya memarginalisasi Islam dari ruang publik tetapi akan membunuh Islam dari bumi Tajikistan.

Surabaya, 12 September 2024

Admin: Kominfo DDII Jatim

SS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *