SUDAH LAMA INDONESIA DARURAT KONSTITUSI,
KHUSUSNYA BIDANG PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Situs tempo.co (12/2/2024) menulis berita berjudul: “Indonesia Darurat Konstitusi Keputusan Mahkamah Konstitusi Jadi Biang Keladi.” Lalu, pada 22 Agutus 2024, CSIS menyelenggarakan diskusi dengan judul: “Darurat Konstitusi di Akhir Masa Pemerintahan Jokowi.” (Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=WiBHFwNbCck).

Jadi, dalam setahun ini, ada penggunaan istilah “Darurat Konstitusi” yang sama-sama berangkat dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Yang pertama, MK yang dinilai telah melanggar konstitusi. Yang kedua, putusan MK tidak dipatuhi oleh sejumlah pihak, khususnya DPR. Kedua putusan MK itu terkait dengan faktor umur calon presiden dan wakil presiden serta calon kepala daerah.

Kampanye yang massif tentang kondisi “Darurat Konstitusi” – dalam soal Pilpres dan Pilkada – kemudian berhasil menggerakkan ribuan massa turun ke jalan. Padahal, yang dibahas dan diperoalkan adalah tentang usia calon wakil presiden dan usia calon kepala daerah. Masalah usia ini dikaitkan dengan dua anak presiden yang didorong untuk maju dalam Pilpres dan Pilkada meskipun usianya belum memenuhi syarat dalam perundang-undangan.

Soal usia calon pemimpin ini memang relatif. Bahkan, sebenarnya yang lebih dipersoalkan adalah soal kapasitas atau kemampuan calon pemimpin. Sebab, di masa lalu, para pemimpin kita sudah sangat matang di usia yang sangat muda. Panglima Sudirman menjadi Penglima Perang di usia 29 tahun. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Kemakmuran pada usia 34 tahun. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh kita dulu menduduki posisi-posisi pemimpin bangsa di usia masih belia.

Dan sebenarnya, jika ditelaah dengan cermat, kondisi “Darurat Konstitusi” secara maknawi telah lama terjadi di Indonesia. Amanah konstitusi tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara, apakah sudah dilaksanakan dengan baik? Masalah penguasaan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, apakah sudah digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat?

Belum lagi kita bicara tentang tujuan kemerdekaan kita untuk mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur! Apakah semua itu sudah diwujudkan? Berapa banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi kita? Bukankah semua itu harusnya dimaknai sebagai darurat konstitusi? Sebab, amanah Konstitusi memang belum dijalankan dengan baik!
Nah, di bidang pendidikan, darurat konstitusi itu juga begitu mencolok! Amanah konstiusi begitu tegas: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” (UUD 1945, pasal 31 ayat 3).
Al-Quran menjamin, bahwa: “Inna akramakum ‘indallāhi atqākum”. (Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa). (QS 49: 13). “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dan memberikan rizki dari arah yang tidak dia perhitungkan.” (QS 65:2-3).
Begitu penting dan mulianya menjadi manusia bertaqwa, sehingga sudah sepatutnya setiap muslim – baik rakyat atau pejabat — yang berakal sehat, menjadikan tingkat ketaqwaan sebagai sasaran pencapaian prestasi atau kemajuan dalam kehidupannya. Semakin bertambah umur, semakin bertaqwa. Itu idealnya. Jika seorang tidak memiliki cita-cita ketaqwaan, maka ia termasuk orang yang merugi. Ajal kian mendekat, semantara kehidupan semakin jauh dari Allah SWT.
Jadi, dalam tataran konstitusi dan perundang-undangan, ada konsensus nasional yang menempatkan “manusia taqwa” sebagai sosok manusia Indonesia ideal. Logisnya, kemudian pemerintah merumuskan dan menjabarkan konsep “manusia taqwa” itu lebih terperinci dan operasional. Indah sekali jika kemudian pemerintah menetapkan: tujuan, kurikulum, program, dan evaluasi pendidikan ketaqwaan. Begitu juga dalam program pembangunan nasional, dibuat indikator-indikator untuk menentukan apakah sasaran-sasaran pembangunan ketaqwaan itu mencapai hasil yang baik atau tidak.
Logikanya, pendidikan nasional seharusnya menjadikan ciri-ciri manusia taqwa itu sebagai target pencapaian pendidikan. Penanaman keimanan, pelaksanaan shalat, zakat, dan ibadah wajib lainnya, harus menjadi kurikulum inti dan secara otomatis juga dijadikan sebagai standar utama kelulusan siswa muslim.
Siswa atau mahasiswa yang tidak menjalankan ibadah wajib sesuai agamanya sepatutnya tidak diluluskan. Jangan sampai bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang munafik; hanya pintar menyusun kata-kata indah, tetapi tidak dilaksanakan dalam kehidupan. Allah SWT memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang hanya berucap tetapi tidak mau melaksanakan perbuatan baik. (QS 61:2-3).

Karena itu, dalam bidang pendidikan, memang sudah lama kita mengalami DARURAT KONSTITUSI! Saatnya para guru dan pejuang pendidikan melakukan aksi besar-besaran untuk menuntut pemerintah melaksanakan Konstitusi! Tidak perlu turun ke jalan. Cukup kita buat seruan dimana-mana dan terus kita viralkan.
Dan di penghujung malam, kita semua berdoa, semoga para pegiat pendidikan dan juga para pemimpin kita – pusat maupun daerah – benar-benar melaksanakan pendidikan berbasis ketaqwaan, sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi! Amin. (Depok, 3 September 2024).

(NB. Silakan disimak video berikut ini, tentang Darurat Konstitusi:

https://www.youtube.com/watch?v=3xSS4rtaem4).

Admin: Kominfo DDII Jatim

SS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *