Artikel ke-1.857
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com, Depok – Salah satu tokoh perumus pembangunan di masa Orde Baru adalah Ali Moertopo. Ketika itu ia menjabat sebagai ketua kehormatan CSIS yang sempat memiliki pengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”
Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini: “Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).
Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn., dalam bukunya, Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila, (1968), menulis: “Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”
Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, Ketuhanan di Indonesia (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).
Itulah sejumlah contoh pendapat dari beberapa tokoh dan penulis tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat mereka itu berbeda dengan pandangan sejumlah tokoh Islam, seperti Buya Hamka, Kasman Singodimedjo, Mohammad Natsir, KH Ahmad Sidiq, dan sebagainya. Hasil Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983 memutuskan, bahwa makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan Tauhid menurut ajaran Islam.
Sejatinya, setelah 78 tahun merdeka, kita sudah dapat mengambil pelajaran dari berbagai perbedaan bahkan perdebatan tentang Pancasila. Dulu, muncul ketakutan yang sangat kuat terhadap pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Bahkan, kadangkala, pelaksanaan syariat Islam dianggap sebagai upaya untuk menghancurkan keutuhan NKRI. Tahun 1989, muncul penolakan yang sangat keras terhadap RUU Peradilan Agama, karena dianggap sebagai pelaksanaan Piagam Jakarta.
Pandangan semacam itu sekarang sudah tidak terbukti. Di Indonesia sudah berdiri Dewan Syariah Nasional. Perkembangan ekonomi syariah juga secara resmi diakui dan didukung oleh negara. Terbukti, syariah Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Memang belum semua aspek syariah telah diberlakukan dalam konteks masyarakat dan kenegaraan. Tetapi, setidaknya, kata “syariah” sudah tidak menakutkan seperti dulu.
Kesepakatan nasional lain yang sudah terbentuk adalah tentang pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan Agama Islam dijadikan sebagai mata pelajaran atau mata kuliah di Perguruan Tinggi. Begitu juga, berbagai acara keagamaan dihadiri dan didukung oleh presiden dan para pejabat negara lainnya. Artinya, agama diakui sebagai aspek penting dan strategis dalam pembangunan bangsa.
Pada saat yang sama, posisi golongan atheis pun semakin tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sila Ketuhan Yang Maha Esa tidak memberikan ruang untuk pengembangan atheisme. Indonesia kini dikenal sebagai salah satu negara yang paling religius di dunia. Karena itu, upaya untuk mengembangkan atheisme di Indonesia pun tidak mendapatkan tempat secara resmi. Setidaknya, secara verbal.
Maka, saat ini, bangsa Indonesia memerlukan format atau rumusan baru dalam menempatkan posisi agama dan Pancasila, sebagaimana pernah diperdebatkan dalam BPUPK dan Majelis Konstituante. Yang paling logis dan bisa diterapkan adalah pemberian otonomi yang luas kepada masing-masing agama untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Jadi, saatnya sudah mendesak untuk mencari rumusan konsensus nasional baru. Semoga para elite bangsa kita memahami dan menyadarinya. Amin. (Depok, 9 April 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Ainur Rofik Sophiaan