Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com Surabaya – Mengakui kesalahan keyakinan yang menyimpang, dan berketetapan hati untuk kembali ke jalan yang benar senantiasa mengalami jalan terjal dan beresiko besar. Para penyihir Fir’aun merupakan contoh manusia agung yang teguh atas keimanannya kepada agama Nabi Musa. Mereka menyadari resiko pembunuhan Fir’aun, namun bertahan dengan kekafiran disadari akan mendapatkan siksaan yang lebih besar dan mendatangkan penderitaan abadi. Mereka pun tidak peduli ancaman Fir’aun dan rela mati syahid. Hal ini berbeda dengan perilaku elite politik Indonesia yang melihat berbagai kerusakan sistem politik yang dilihatnya, namun mereka tetap bertahan tanpa melakukan pertobatan politik dengan meninggalkan praktek politik yang rusak. Mereka tak bisa berbuat apa-apa dibandingkan dengan tukang sihir Fir’aun, karena takut menghadapi resiko berat. Mereka rela hidup dalam tekanan politik dan rela bertahan dalam sistem politik yang membusukkan politik kebangsaan dan melecehkan agamanya.
Fir’aun dan Tradisi Sihir
Para penyihir Fir’aun benar-benar menyadari bahwa dirinya menyimpang ketika melihat ular Nabi Musa yang memakan ular-ular semu yang mereka lempar. Mereka pun bersungkur sujud, beriman kepada agama Nabi Musa. Mereka telah menyadari kesalahannya dalam beragama. Setelah menyatakan keislamannya, mereka menanggung beban berat karena Fir’aun langsung mengancam dan akan membunuhnya jika tetap dalam keyakinannya.
Mereka begitu kokoh dan tak bergeming atas keislamannya. Keyakinannya selama ini benar-benar lemah dan tak memiliki dasar yang kuat. Mereka sadar bahwa apa yang mereka jalani selama ini berada di atas jalan kesesatan. Ketika menemukan kebenaran, tantangan berat juga tidak ringan. Fir’aun telah mengancamnya dan akan dieksekusi mati bila tidak segera bertobat. Paratukang sihir ini menyadari bahwa Fir’aun terkenal sebagai seorang penguasa yang kejam dan bengis terhadap siapapun yang melawan perintahnya.
Namun para penyihir pun berani menolak perintah Fir’aun dan menyerahkan sepenuhnya kepadanya untuk melakukan tindakan apapun atas dirinya. mereka rela mati untukmempertahankan keyakinannya dengan teguh. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
قَا لُوْا لَنْ نُّؤْثِرَكَ عَلٰى مَا جَآءَنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَا لَّذِيْ فَطَرَنَا فَا قْضِ مَاۤ اَنْتَ قَا ضٍ ۗ اِنَّمَا تَقْضِيْ هٰذِهِ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا
“Mereka (para pesihir) berkata, “Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini.” (QS. Ta-Ha : 72)
Para tukang sihir yakin bahwa hukuman Fir’aun hanya berlaku di dunia, dan itu sangat ringan disbanding tetap bertahan dalam kesesatan namun beresiko besar ketika di akherat. Beban berat di akherat tak sanggup mereka tanggung bila mengikutiperintah Fir’aun. Para penyihir itu sangat sadar bahwa kekuasaan Allah sangat besar dan bisa membalas kejahatan dengan siksaan yang sangat pedih.
Mereka berharap ampunan Allah atas kesesatannya selama ini. Mereka menyadari bahwa kehidupan akherat kekal dan abadi, sehingga pembunuhan yang dilakukan Fir’aun terhadap diri mereka tidak ada artinya.
Resiko Pertobatan
Para penyihir yang menyaksikan mukjizat Nabi Musa benar-benar terkesima hingga bertobat dari perilaku yang selama ini menyimpang. Mereka tidak tergoda oleh bujukan Fir’aun dengan tetap berharap kepada Allah untuk mendapatkan ampunan. Mereka pun siap dibunuh dengan cara disalib secara silang karena mengakui kebenaran agama Nabi Musa. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
اِنَّاۤ اٰمَنَّا بِرَبِّنَا لِيَـغْفِرَ لَـنَا خَطٰيٰنَا وَمَاۤ اَكْرَهْتَـنَا عَلَيْهِ مِنَ السِّحْرِ ۗ وَا للّٰهُ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى
“Kami benar-benar telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah engkau paksakan kepada kami. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (QS. Ta-Ha 20: Ayat 73)
Pertobatan para tukang sihir secara tulus-ikhlas benar-benar menggoncang Fir’aun hingga mengancam untuk membunuhnya. Mereka menyadari bahwa pembunuhan itu sangat ringan dibanding menghadapi siksaan Allah yang jauh lebih berat dan mendatangkan penderitaan panjang.
Hal ini berbeda dengan elite politik kita saat ini. mereka mengetahui sistem politik ini di negeri ini. berbagai praktek kecurangan telah mengubur kejujuran. Praktek suap menyuap dan politik dagang sapi hingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Mereka pun tahu bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat menusuk perasaan rakyat Indonesia. Para elite politik pun rela tunduk dan patuh pada seorang bocah yang diloloskan menjadi Cawapres.
Umurnya yang masih muda, pengalaman dan jam terbang politik yang amat rendah, serta kapasitas intelektual yang sangat mengenaskan. Para elite politik pun hilang daya kritisnya, dan rela mengawal Cawapres itu serta mengusungnya sebagai orang nomor dua di negeri ini. Bahkan tidak para intelektual yang turut berada di belakang untuk memback up untuk memenangkan dengan segala cara. Mereka tahu Cawapres yang under capacity ini tidak layak untuk memimpin negara sebesar ini, namun mereka tetap mengeluh-eluhkan.
Hal ini berbeda dengan para tukang sihir yang tahu resiko dan bertobat serta tidak melanjutkan kejahatan ini. sementara elite politik Indonesia tetap bertahan dengan sistem politik beserta praktek politiknya, dan rela negaranya ambruk ketika dipimpin oleh orang yang sangat minim dari berbagai sisi. Alih-alih bertobat dan mengakui kebusukan praktek politik negeri ini. Mereka justru membiarkan dan menjalankan praktek politik ini untuk membuat kebusukan kolektif. Mereka sudah hilang akal sehatnya, dan seolah melalaikan siksaan di akherat yang akan menghinakannya kelak.
Surabaya,10 Desember 2023
Admin: Kominfo DDII Jatim/ss