Artikel ke-1.523
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah
Dewandakwahjatim.com, Depok - Perhelatan Pemilihan Presiden 2024 masih beberapa bulan lagi. Tapi, suasana percaturannya sudah semakin terasa menghangat. Dalam berbagai media sosial digambarkan bahwa jika calon presidennya terpilih, maka insyaAllah kondisi negara kita akan lebih baik lagi.
Sang Presiden diharapkan akan menerapkan kebijakan yang berbeda dengan presiden sekarang. Misalnya, dalam kebijakan utang luar negeri yang kini mencapai Rp 7000 trilyun labih. Bahkan, ada yang berkomentar di akun FB saya, bahwa hanya sistem Islam saja yang akan dapat memperbaiki kondisi Indonesia.
Ada lagi yang menulis, bahwa demokrasi adalah sistem yang menipu. Para capres, katanya, sejatinya hanyalah pilihan para oligarki, dan bukan pilihan rakyat. Di sebagian group WA, ada yang menyatakan diri akan golput – alias tidak akan memilih pada Pilpres tahun 2024.
Berbagai pemikiran itu perlu dicermati dan direnungkan serta perlu dikritisi. Bersemangat dalam berjuang menegakkan agama itu harus. Tetapi, memahami secara adil dan bertindak dengan bijaksana itu juga wajib. Di sinilah pentingnya kita menelaah dan mengkaji sejarah perjuangan Islam di Indonesia dengan memadai.
Lihatlah, para ulama kita dulu berjuang dan menyebarkan Islam di Nusantara. Bagaimana Wali Songo berjuang, sehingga rakyat Pulau Jawa berubah agamanya. Muslim yang semula minoritas, kemudian berubah menjadi mayoritas. (Lihat: Disertasi Dr. Muhammad Isa Anshary, berjudul: “Pendidikan Aqidah Sunan Bonang” di UIKA Bogor).
Lihatlah, bagaimana perjuangan HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, dan sebagainya. Jangan sampai anak-anak muda muslim menganggap bahwa para tokoh kita itu tidak memperjuangkan Islam, karena mereka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan tidak mengkampanyekan “khilafah”.
Kini, umat Islam dan bangsa Indonesia sedang menghadapi agenda penting bagi masa depan umat dan bangsa Indonesia. Pilpres 2024 memang penting. Kita memilih calon presiden dan para calon anggota legislatif. Kita tidak memilih khalifah. Niatkan memilih calon presiden yang terbaik, sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Pilihan kita itu akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat. Mumpung kita masih bisa memilih. Memilih presiden 2024 itu ya seperti kita memilih pimpinan perusahaan, pimpinan kampus, dan sebagainya. Islam memberikan panduan cara memilih pemimpin. Yakni, pilih yang terbaik atau yang paling kecil mudharatnya.
Kita hidup dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi. Tidak perlu memaki-maki sistem demokrasi. Filosof Yunani, Plato, sudah menguraikan kelemahan sistem demokrasi. Para ulama Islam Indonesia juga sudah memahami hal itu. Karena itulah, Mohamamd Natsir mengajukan konsep “theo-demokrasi”.
Tidak tepat jika ada umat Islam yang tidak mau memilih dalam pilpres, karena sistem yang berlaku adalah sistem demokrasi. Boleh saja tidak memilih, jika – misalnya – capres yang berlaga di Pilpres 2024 hanya dua orang, yang sama-sama baik dan sama-sama hebat. Tetapi, selama ada pilihan baik dan lebih baik, atau buruk dan kurang buruk, maka pilihlah salah satunya!
Hanya saja, umat Islam dan masyarakat Indonesia perlu berpikir realistis. Jangan terlalu berlebihan berharap kepada Presiden. Bahwa, jika calon yang kita dukung terpilih sebagai Presiden, maka Indonesia akan segera berubah secara mendasar. Betapa pun hebatnya sang Presiden Indonesia, tetap saja, Indonesia adalah negara demokrasi yang kekuasaan terbagi-bagi pada berbagai lembaga.
Sehebat apa pun presidennya, jika birokrasi dan budaya kerja rakyat tidak berubah, maka kemajuan dan kesejahteraan akan sulit dicapai. Problem utama umat Islam berada dalam diri kita sendiri. Siapa pun presidennya, jika kita terjangkit berbagai penyakit hati, maka kebangkitan umat tidak akan terjadi.
Karena itu, perubahan itu harus kita mulai dari diri kita sendiri. Yang terpenting adalah perubahan atau pembersihan jiwa; khususnya dibersihkan dari jiwa serakah dunia, jiwa pendengki, jiwa malas, jiwa lemah (‘ajz), jiwa sombong, dan sebagainya. “Cinta dunia” adalah pangkal segala kerusakan. Karena itu, Presiden mendatang harus mampu melakukan pembangunan jiwa secara “habis-habisan”. Ini tidak bisa dibebankan semuanya ke pundak sang presiden. Kasihan presidennya.
Jiwa kerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas inilah yang menjadi kunci perubahan. Masalah bangsa kita begitu besar. Ibarat penyakit yang sudah menyebar ke seluruh penjuru tubuh, maka bukan tidak mungkin, dokter (pemerintah) mendatang akan melakukan terapi yang “menyakitkan”. Itu bukan hal mudah bagi pemerintah.
Jadi, menyambut Pilpres 2024, kita patut memahami dan menyikapinya dengan adil. Letakkan sesuatu secara proporsional. Jangan menyebarkan fitnah. Jangan berharap berlebihan, tetapi juga jangan menganggap Pilpres tidak penting. Juga, jangan lelah kita berdoa, semoga Allah SWT menyayangi kita semua, sehingga memberikan pemimpin terbaik. Aamiin. (Depok, 6 Mei 2023).
Admin: Sudono Syueb