Artikel ke-1.326
Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjatim.com, Depok - Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyerukan agar orang-orang baik mau terjun ke dunia politik. Menurut Bakal Calon Presiden dari Partai Nasdem ini, Indonesia sedang bermasalah jika orang baik masuk politik dipermasalahkan. Tetapi, sebaliknya, jika orang bermasalah masuk politik tidak dipermasalahkan. Hal itu disampaikan oleh Anies Baswedan di Jakarta, (17/10/2022).
Anies tidak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan ”masuk politik”. Tapi, secara umum, kita pahami, bahwa ”terjun ke politik” itu artinya aktif bergabung dengan partai politik untuk meraih kekuasaan. Sebagai negara demokrasi, Indonesia memang menganut sistem kepartaian, untuk meraih kekuasaan.
Kondisi Indonesia tentu berbeda dengan negara kerajaan seperti Saudi Arabia. Dalam sistem kerajaan kekuasaan tidak dibagikan secara terbuka, tetapi diatur oleh raja dan diwariskan kepada keturunannya. Di Arab Saudi, dan negara kerajaan lainnya, tidak ada pemilu untuk memilih raja.
”Kekuasaan” adalah hal penting untuk mengatur kehidupan masyarakat dan negara untuk meraih tujuannya. Berjuang meraih kekuasaan adalah hal baik. Rasulullah dan para khulafaur Rasyidun, adalah para pemimpin dan pemegang kekuasaan. Para ulama kita, tahun 1945, sepakat mendirikan Partai Islam Masyumi, untuk menyambut Maklumat Pemerintah agar rakyat Indonesia mendirikan partai politik.
Jadi, politik itu tidak haram, dan tidak kotor. Yang kotor adalah hati manusianya karena serakah dunia. Yang kotor adalah caranya, karena menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Jangankan teman, terkadang demi meraih kuasa, saudara sendiri pun disingkirkan.
Karena itu, seruan Anies Baswedan itu perlu dipahami dengan betul dan hati-hati. Yang perlu terjun ke politik bukan hanya orang baik dan tidak bermasalah, tetapi juga wajib memahami cara berpolitik yang benar, agar berpolitik menjadi ibadah bagi dirinya.
Jangan berpolitik secara sekular! Dalam pandangan alam sekular, politik dianggap sekedar seni untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, dengan segala cara. Politik sekular bebas dari moralitas. Yang penting kekuasaan. Demi meraih kuasa, tipu sana tipu sini, bukan soal lagi. Bahkan, jika perlu, teror pun digunakan, demi kekuasaan. Pertahankan dan rebut kekuasaan, dengan cara apa pun!
Itulah politik bebas nilai, sebuah bentuk politik yang secara sistematis diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia.
Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai “amoral”. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah “survival” (mempertahankan kekuasaan).
Kata Machiavelli, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror.” Ditulis dalam The Prince: “It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
Jadi, menurut Machiavelli, politik adalah semata-mata urusan kekuasaan. Sebab, kekuasaan adalah hal terpenting dalam kehidupan. Apa yang dilakukan Machiaveli yang kemudian disebut sebagai “politik modern” tentu saja tak lepas dari arus besar renaissance (kelahiran kembali) masyarakat Eropa, yang selama hamper 1.000 tahun hidup di bawah sistem politik teokrasi (kekuasaan Tuhan). Tuhan – melalui wakilnya di bumi – mendominasi segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pemerintahan dianggap tidak sah, jika tidak disahkan oleh wakil Tuhan.
Pengalaman bangsa Barat terhadap hegemoni sistem teokrasi mengharuskan dilakukannya sekularisasi di Barat. Tetapi, politik Islam tidak mengalami hal semacam itu. Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi Inquisisi. Bernard Lewis, professor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah mereka.
Bahkan, kata Bernard Lewis, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi sekular tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen di Barat. “From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction,” tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).
Sebagai negeri muslim terbesar di dunia, Indonesia perlu mengembangkan budaya politik yang berdasar atas nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, seharusnya, politik sekular dan liberal, apalagi politik ‘machiavellis’ harusnya tidak dikembangkan di Indonesia.
Tradisi politik di Indonesia sepatutnya mendasarkan diri kepada nilai-nilai dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) bukan sekedar mengakui “ada-Nya”, tetapi juga harus mengakui kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa. Yakni, kerelaan manusia untuk diatur oleh Allah SWT.
Karena itulah, berpolitik dalam Islam adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Di antara tujuh golongan yang akan mendapatkan perlindungan di Hari Akhir, adalah pemimpin (imam) yang adil. Pemimpin dengan kekuasaan di tangannya berpeluang mendapatkan pahala yang besar.
Inilah pemimpin yang memiliki Visi Akhirat; yakni pemimpin yang sadar betul bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah yang akan
dipertanggungjawabkan di Akhirat kelak. Karena itu, jika mau terjun ke politik dan menjadi politisi, maka jadilah politisi yang baik, yang memandang kekuasaan sebagai amanah dari Allah yang akan dipertanggungjawabkan.
Menjadi pemimpin bukan untuk berbangga-bangga, apalagi untuk menindas dan menzalimi rakyat. Terjun ke politik perlu persiapan jiwa raga dan ilmu yang mumpuni. Bukan hanya cara meraih kekuasaan harus baik, yang lebih penting adalah setelah meraih kekuasaan, ia pun harus memahami makna “adil” sebagai pemimpin.
Misalnya, jangan sampai mengeluarkan anggaran negara secara tidak adil. Di tengah masih banyak rakyat yang kesulitan makan, pendidikan, dan pengobatan, anggaran negara dikucurkan untuk biaya studi banding yang tidak begitu penting atau digunakan untuk biaya makan-minum pejabat. Ini tidak adil.
Jadi, sangatlah merugi jika politik hanya berhenti kepada dimensi duniawi saja. Jargon, “Kekuasaan untuk kekuasaan”, adalah jargon sekular. Dalam pandangan Islam, “Politik adalah untuk ibadah”; Politik bukan hanya sekedar berebut kekuasaan. Kekuasaan itu amanah, dan amanah itu sangat berat tanggung jawabnya. Walllahu A’lam bish-shawab. (Depok, 18 Oktober 2022).