Oleh: Ust. Hidayatullah
Staf Bidang Organisasi DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تَنْذِرُوا، فإنَّ النَّذْرَ لا يُغْنِي مِنَ القَدَرِ شيئًا، وإنَّما يُسْتَخْرَجُ به مِنَ البَخِيلِ. رواه مسلم
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian bernadzar, karena nadzar tidak sedikitpun dapat merubah takdir. Hanya saja nadzar itu untuk mengeluarkan sesuatu dari orang bakhil”. (HR. Muslim)
Definisi nadzar
Nadzar dari akar kata nadzara yandzuru au yandziru nadzran di maknai dengan aujaba ‘alaa nafsih, yakni mewajibkan atas dirinya sendiri. Juga dimaknai dengan Akhadza ‘alaa nafsihi ‘ahdan yakni mengambil perjanjian atas dirinya sendiri. Juga ta’ahhada wa aqsama ‘alal iltizaami au almuhaafadhatu ‘ala yakni berjanji atau bersumpah atas suatu kemauan atau menjaga atas (sesuatu itu).
Hukum Nadzar
Beberapa ulama’ memberikan hukum makruh pada prilaku nadzar ini. Hal ini disandarkan sebagaimana yang diisyaratkan hadits di atas, bahwa nadzar tidak dapat mengubah apa-apa termasuk takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-Nya. Sehingga dalam hadits di atas Rasulullah melarangnya, walaupun larangan ini tidak sampai pada taraf hukum haram, sehingga sah-sah saja seseorang itu bernadzar. Karena bernadzar merupakan bentuk pemaksaan seseorang terhadap dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu.
Nadzar dengan sesuatu yang melanggar syari’ah jelas sangat dilarang dan bahkan haram untuk dipenuhinya dan harus mengganti dengan kafarat. Dan sebaliknya jika nadzar tersebut berupa sesuatu yang telah ditetapkan baik menurut syara’, maka wajib ditunaikan, sehingga jika ditinggalkan atau tidak ditunaikan maka akan berdosa dan beban nadzarnya akan terus ada sepanjang ia masih hidup di dunia ini.
Maka nadzar tidak ada hubungannya dengan perubahan takdir pada diri kita. kita bernadzar atau tidak sesungguhnya tidak akan mengubah takdir sehingga kemudian kita berhasil sesuai dengan keinginan diri kita, sebagaimana penjelasan hadits di atas. Keseriusan dan kesungguhan serta doa kepada-Nya lah yang dapat menjadi wasilah atau sarana atau perantara sehingga terkabulnya harapan kita tersebut dan bukan karena faktor nadzarnya itu.
Kafarat nadzar
Sedangkan bagi yang tidak mampu menunaikan nadzarnya, kafarah baginya adalah sama dengan kafarah sumpah. Sebagaimana tertera dalam hadits “Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah.” [HR Muslim].
Maka bagi yang tidak mampu menunaikan nadzarnya kaffaratnya sebagaimana firman Allah:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”. [QS. Al Maidah/5: 89].
Nadzar yang belum terlaksana dan orangnya telah meninggal maka ahli warisnya diperkenankan untuk menunaikan ndzarnya tersebut, sebagaimana hadits riwayat Abu Daud: Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,”Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya.” Maka Rasulullah SAW bersabda,Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya.
Dengan demikian beban nadzar tersebut masih melekat dan dapat ditunaikan oleh ahli warisnya. Sedangkan jika tanpa adanya sebab nadzar atau lainnya, maka ada perbedaan pendapat (ikhtilaf), apakah amalan seseorang dapat atau tidak dapat dilimpahkan untuk orang lain. Sementara dalam hadits di atas sangat kasuistik dalam masalah ini.
Hati-hati dengan nadzar
Bagaimanapun nadzar merupakan sikap memaksakan diri untuk berbuat sesuatu. Maka janganlah sesuatu yang telah kita ikrarkan kemudian kita ingkari.
۞وَمِنۡهُم مَّنۡ عَٰهَدَ ٱللَّهَ لَئِنۡ ءَاتَىٰنَا مِن فَضۡلِهِۦ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٧٥ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُم مِّن فَضۡلِهِۦ بَخِلُواْ بِهِۦ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعۡرِضُونَ ٧٦ فَأَعۡقَبَهُمۡ نِفَاقٗا فِي قُلُوبِهِمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ يَلۡقَوۡنَهُۥ بِمَآ أَخۡلَفُواْ ٱللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ٧٧
“Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karuniaNya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih’. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” [At-Taubah/9:75-77].
Berhati-hatilah terhadap nadzar, sumpah atau ikrar yang kita lakukan. Jangan sampai kita mudah mengucapkan kata-kata tersebut sebelum kita berpikir masak-masak. Karena semua itu membawa akibat dan tanggung jawab dengan resikonya masing-masing yang harus kita terima. Bahkan memang setiap apa yang keluar dari lisan kita berupa ucapan, akan selalu dimintai pertangggung jawabannya. Maka tentu hanya kebenaran yang telah jelas pijakannya sajalah yang mestinya kita ucapkan atau sampaikan, karena kebenaran memang telah jelas (bayyin) dan kebatilan juga telah jelas.
Ikrar yang terutama adalah loyalitas atau kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni setia pada kebenaran, itulah ikrar dua kalimat syahadat. Maka komitmen itu harus selalu kita jaga demi keselamatan hidup di dunia sampai di akhirat nantinya. Instrumen berupa harta, kemampuan dan lainnya kita serahkan secara totalitas untuk kepentingan addin ini demi izzul islam wal muslimin, kemuliaan islam dan kaum muslimin. (SS/Humas DDII Jatim)