PERMENDIKBUD 30: MAU TUNDUK KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA ATAU TIDAK?

Oleh: Dr. Adian Husaini *(www.adianhusaini.id)

Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok - Bagi orang muslim yang sudah bersyahadat, maka pasti mereka meyakini, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya.  Orang muslim pasti tidak berani bersikap seperti Iblis, yang tahu siapa Tuhan Yang Maha Kuasa, tetapi tidak mau mentaati-Nya, karena kesombongannya.

Segala macam kejahatan seksual adalah perbuatan yang dimurkai Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Baik kejahatan seksual itu dilakukan dengan pemaksaan atau dilakukan dengan saling persetujuan pelakunya. Jika dosen dan mahasiswinya berzina, maka itu adalah kejahatan seksual. Apalagi, jika dosen memperkosa mahasiswinya. Ini kejahatan seksual yang lebih jahat lagi!
Yang dikritisi oleh MUI, Muhammadiyah, Ormas-ormas Islam pada Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021, adalah ketentuan bahwa kriteria kekerasan seksual itu hanyalah jika korban tidak setuju! Jika kegiatan seksualitas itu dilakukan saling setuju, maka itu boleh-boleh saja, dan pimpinan kampus tidak perlu melarang atau memberikan sanksi hukum. 

Apa artinya ketentuan itu? Itu sama saja dengan menyatakan, bahwa perzinahan di kampus bukan perkara penting untuk ditanggulangi! Meskipun perzinahan itu telah terjadi secara masal. Sebab, pelakunya suka sama suka, dan sama-sama belum menikah, sehingga itu dianggap bukan ancaman bagi pendidikan, yang katanya mau membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Para pezina jelas bukan manusia bertaqwa dan berakhak mulia! Itu kalau mengacu kepada tuntunan Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara itu, yang menjadi perhatian para aktivis feminis liberal adalah ”kekerasan seksual”, karena korbannya menderita, secara fisik dan mental. Cara pandang inilah yang dipakai sebagai dasar penetapan Permendikbud 30 tersebut. Apa pun pandangan dan masukan MUI, Muhammadiyah, Ormas-ormas Islam, dianggap tidak ada, bahkan dilecehkan. 

Karena itulah, dalam cuitannya, Ketua MUI, Dr. KH Cholil Nafis menyatakan: ”Hasil Ijtima Ulama MUI Pusat memutuskan menolak Permendikbud 30 tahun 2021 tentang kekerasan seksual, dan meminta dibatalkan atau direvisi, khususnya pasal 5 ayat 2 dan 3. Ini suara kami, umat muslim, dan tanggung jawab kami kepada bangsa dan negara serta kepada Allah SWT.”

Tampaknya Kiai Cholil Nafis sudah sampai pada batas kepasrahan kepada Allah SWT. Biarlah para pejabat dan pendukung-pendukungnya itu berhadapan dengan Allah SWT. Tugas ulama hanyalah mengingatkan. Ulama tidak bisa memaksakan, karena yang punya kuasa yang pejabat pemerint
Dan memang akar masalahnya adalah: apakah manusia itu mau diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa atau tidak? Jika pak menteri dan para rektor mau tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka keluarkan saja Peraturan Menteri tentang penanggulangan Perzinahan dan Kekerasan Seksual! Bukan hanya kekerasan seksual dengan arti, tanpa persetujuan korban. 

                    ***

Dalam soal Permendikbud 30 tahun 2021, para ulama dan tokoh Islam hanyalah melaksanakan kewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bil ma’ruf wan-nahyu ‘anil munkar).  Jika pemerintah tidak mau mendengar, ya itu tanggung jawab mereka.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, sangat menekankan kewajiban aktivitas ini bagi kaum Muslimin. Menurutnya, kegiatan ini bersifat fardhu kifayah. Artinya, harus ada sekelompok orang dari kalangan umat Islam, yang serius menekuni aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. “Dan harus ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-khair dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104
Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam akan beruntung atau meraih kemenangan jika melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Logika sebaliknya, mereka akan kalah dan terpuruk jika meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, amar ma’ruf nahi munkar merupakan ciri khas masyarakat mukmin. “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lainnya. Mereka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan menegakkan shalat.” (QS at-Taubah: 71).


Orang-orang mukmin juga disebut oleh Allah sebagai umat yang terbaik karena aktivitas mereka yang selalu aktif dalam menegakkan al-ma’ruf dan melawan kemunkaran. “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran.” (QS Ali Imran: 110).
Di masa lalu, kaum Bani Israil juga dihukum oleh Allah karena meninggalkan aktivitas pemberantasan kemunkaran. “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amatlah buruk apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah:78-79).


Imam al-Ghazali menjelaskan, bahwa cukuplah bagi Allah untuk menjatuhkan laknatnya karena mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Secara khusus Allah mengecam para pemuka agama yang tidak mencegah perbuatan munkar. “Mengapa orang-orang alim dan pemuka-pemuka agama mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan dusta dan memakan yang haram? Sungguh amat buruklah apa yang mereka perbuat.” (QS Al-Maidah: 63).


Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw diriwayatkan bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT tidak mengazab orang-orang tertentu karena dosa-dosa orang kebanyakan, sampai orang-orang tertentu tadi melihat kemunkaran di depan mereka, sedangkan mereka mampu untuk mencegahnya, tetapi mereka tidak mencegahnya.” (HR Ahmad).
Al-Ghazali menyebutkan sejumlah sabda Rasulullah saw yang menyebutkan, bahwa Allah akan mengazab suatu kaum karena mereka membiarkan kemunkaran merajalela, sedangkan orang-orang yang baik mendiamkan saja dan tidak berusaha mencegah kemunkaran. Huzaifah Ibn Yaman r.a. pernah ditanya tentang orang yang (pada hekakatnya) sudah mati, ketika dia masih hidup, yaitu: “Orang yang tidak berusaha mencegah kemunkaran dengan tangannya, atau dengan lisannya, dan juga dengan hatinya.” Merujuk kepada pendapat Huzaifah r.a. tersebut, bisa dikatakan, itulah manusia-manusia sejenis mayat hidup, yang sudah tidak peduli lagi dengan amalan amar ma’ruf nahi munkar. Dia tidak peduli dengan urusan kebenaran dan kebatilan atau kemunkaran. Hidupnya hanya diabdikan untuk mengejar kesenangan dan kebanggaan duniawi; sibuk mengejar pangkat, golongan, dan memuaskan hawa nafsu.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bazzar dan At-Thabrani (dengan sanad yang dhaif), al-Ghazali juga mengutip riwayat dari Ibn Abbas yang menyatakan, bahwa Rasulullah pernah ditanya, mengapa suatu kampung dibinasakan sedangkan di tengah-tengah mereka ada orang-orang shaleh?” Rasulullah saw menjawab, itu terjadi karena orang-orang shaleh tersebut memandang enteng dan berdiam diri terhadap berbagai tindak kejahatan dan kedurhakaan kepada Allah.”

Perzinahan adalah kejahatan seksual yang sangat dimurkai Allah SWT. Melegalkan perzinahan, merupakan kemungkaran yang lebih besar lagi.

Karena itu, tidak mungkin para ulama pewaris nabi, berdiam diri. Setidaknya mereka sudah menyampaikan kebenaran. (Depok, 12 November 2021

Ad: Sudono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *