Oleh: Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com,Depok- Sebagai mu’jizat Nabi Terakhir, maka al-Quran selalu menjadi sasaran kebencian dari berbagai musuh Islam, baik serangan kaum kuffar atau kaum munafik. Rasulullah saw mengingatkan, bahwa termasuk hal yang beliau khawatirkan adalah saat orang-orang munafik sudah berhujjah dengan al-Quran.
Kaum kuffar tak henti-hentinya menyerang al-Quran dengan barbagai cara. Begitu juga orang-orang munafik. Misalnya, tudingan bahwa al-Quran adalah hasil jiplakan dari orang non-Muslim, terutama dari Yahudi-Nasrani. Bahwa Nabi Muhammad saw belajar kepada tokoh Nasrani di Mekkah.
Tuduhan itu sudah disebutkan dan dibantah dalam al-Quran: “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal, bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya, adalah bahasa ‘Ajam. Sedangkan al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. (‘Arabiyyun mubin).” (QS 16:103).
Jika dicermati, Al-Quran memang banyak menyerap istilah yang sama dengan istilah-istilah yang digunakan agama-agama sebelumnya, bahkan istilah dalam tradisi Arab Quraish. Shaum (puasa), misalnya, jelas-jelas ditegaskan dalam al-Quran (QS 2:183) merupakan kewajiban yang dibebankan kepada kaum Muslim dan umat sebelumnya.
Tapi, konsep puasa dalam Islam, lain dengan konsep pada umat nabi sebelumnya. Begitu juga salat, haji, nikah, dan sebagainya. Bahkan, sebutan “Allah” telah dikenal oleh kaum Quraish, tetapi, konsep “Allah” dalam al-Quran sangat berbeda dengan konsep kaum jahiliyah Quraish. Istilah “haji” sudah dikenal sebelum Islam. Namun, istilah haji dalam Islam berbeda maknanya dengan “haji” sebelum Islam.
Begitu juga nama-nama para Nabi. Ibrahim, Dawud, Isa, dan para Nabi lainnya, a.s., dalam konsep al-Quran berbeda dengan konsep nabi-nabi dalam Bible dan Taurat (yang sekarang). Misal, Al-Quran menggambarkan Nabi Daud a.s. sebagai sosok yang saleh dan kuat. Berbeda, dengan Bible (2 Samuel 11:2-27) yang menggambarkan Daud sebagai sosok yang buruk moralnya.
Selain merebut dan menzinahi istri pembantunya sendiri (Batsyeba binti Eliam), Daud juga menjebak suami si perempuan (Uria) agar terbunuh di medan perang. Sedangkan al-Quran menyatakan: “Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan, dan ingatlah hamba Kami, Daud, yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah.” (QS 38:17)
Konsep Islam tentang “Isa” juga berbeda dengan konsep “Jesus” dalam Kristen, meskipun keduanya merujuk kepada figur yang sama. Bahkan, jika ada yang menyebut agama Islam, Kristen, dan Yahudi adalah rumpun “Abrahamic faith”, maka konsep Ibrahim dalam Islam jelas berbeda dengan konsep Ibrahim dalam Yahudi dan Kristen. Al-Quran dengan tegas menyebut: “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).
Jadi, jika ditemukan banyak istilah atau terminologi dalam al-Quran yang sama dan identik dengan istilah dalam Bible atau tradisi sebelum Islam, bukanlah berarti al-Quran menjiplak dari Kitab agama lain. Sebab, salah satu fungsi al-Quran adalah sebagai “parameter” dan korektor” terhadap penyimpangan terhadap Kitab sebelumnya. Al-Quran banyak mengingatkan terjadinya penyimpangan dan perubahan pada Kitab para Nabi itu (QS 4:46, 2:75, 2:79).
Tuduhan bahwa al-Quran adalah karya Nabi Muhammad dan merupakan jiplakan kitab-kitab sebelumnya, misalnya, bisa disimak pada buku karya Samuel M. Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, yang berjudul “Islam: A Challenge to Faith” (terbit pertama tahun 1907). Di sini, Zwemmer memberikan resep untuk “menaklukkan” dunia Islam. Zwemmer menyebut bukunya sebagai “studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian Missions”.
Dalam bukunya ini, Zwemmer menulis, unsur-unsur yang dipimjam oleh Islam dari berbagai agama dan tradisi sebelumnya, seperti Sabeanism, Arabian Idolatry, Zoroastrianism, Buddhism, Judaism, dan Christianity. Termasuk yang dipinjam dari Christianity, menurut Zwemmer, adalah konsep puasa Ramadhan, cerita tentang Ashabul kahfi, Lukman, Iskandar Zulkarnaen, dan sebagainya. Tentang al-Quran ini, Zwemmer menyatakan: (1) penuh dengan kesalahan sejarah (2) banyak mengandung cerita fiktif yang tidak normal, (3) mengajarkan hal yang salah tentang kosmogoni (4) mengabadikan perbudakan, poligami, perceraian, intoleransi keberagamaan, pengasingan dan degradasi wanita.
Di akhir penjelasannya tentang al-Quran, Zwemmer mencatat: “In this respect the Koran is inferior to the sacred books of ancient Egypt, India, and China, though, unlike them, it is monotheistic. It can not be compared with the Old or the New Testament.” (1985:91).
Semangat seperti Samuel Zwemmer dalam usaha meruntuhkan kebenaran sama sekali tidak menggoyahkan keyakinan kaum Muslim terhadap al-Quran. Sejak awal diturunkan, al-Quran telah diserang. Tetapi, semua serangan itu berhasil dimentahkan oleh para ulama Islam. Ribuan sarjana al-Quran sudah menggoreskan pena untuk menjawab semua tuduhan dan pelecahan terhadap al-Quran, baik yang dilakukan kaum orientalis, misionaris, kaum munafik, dan sebagainya.
Jika para penyerang al-Quran profesional telah diruntuhkan argumentasinya, maka umat Islam Indonesia tidak terlalu perlu untuk melayani pelecehan al-Quran oleh orang-orang yang sama sekali tidak berkompeten. Biasanya, orang-orang ini merasa paham al-Quran, padahal ilmunya belum memadai.
Sungguh, kita yakin, bahwa Allah adalah yang menurunkan al-Quran, dan Allah pula yang menjaganya. (QS 15:9). (Depok, 6 November 2021).
Ed. Sudono Syueb