Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Pada 10-14 Oktober 2021, saya berkesempatan mengunjungi provinsi Sumatera Barat (Sumbar), tanah kelahiran Mohammad Natsir dan banyak tokoh bangsa lainnya. Pada 10 Oktober 2021, dalam perjalanan Pekanbaru-Bukitttinggi, saya singgah di Kota Payakumbuh. Di sini, ada acara dialog dengan pimpinan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) kota Payakumpuh dan pimpinan Perguruan Raudhatul Jannah.
Perguruan ini didirikan oleh tokoh dan ulama Sumbar, Buya Thamrin Manan. Kabarnya, kini ada sekitar 2000 murid yang menjalani pendidikan di Perguruan ini. Dalam dialog dengan guru dan aktivis dakwah, saya menjelaskan konsep dasar pendidikan Islam dan tantangannya di era modern, khususnya dominasi paham sekulerisme yang sempit dalam pendidikan.
Maksudnya, paham yang bukan hanya menolak wahyu sebagai sumber lmu, tetapi juga paham yang memandang dan mendidik manusia agar menjadi seperti binatang. Kerjanya hanya untuk cari makan dan melampiaskan aneka syahwat.
Esoknya, pada 11 Oktober 2021, saya meresmikan Pesantren Mahasiswa “Marhamah” di Kota Bukittinggi. Pesantren ini didirikan oleh DDII dan bertujuan untuk mendidik para mahasiswa agar menjadi pejuang dakwah. Dalam kesempatan tersebut, saya menjelaskan pentingnya memahami tantangan pendidikan yang baru di era disrupsi.
Di zaman “serba internet atau zaman merebaknya kuliah daring”, jangan lagi menganggap pendidikan di Pesantren Mahasiswa sebagai pelengkap pendidikan di kampus-kampus formal. Tahun 1987, saya hadir dalam acara peresmian Pesantren Mahasiswa “Ulil Albab” Bogor. Saya termasuk santri angkatan pertama. Pesantren itu diresmikan langsung oleh Mohammad Natsir.
Sebagai mahasiswa IPB, saya merasa bahwa pendidikan yang utama adalah pendidikan di IPB. Sedangkan pendidikan di Pesantren Ulil Albab Bogor itu adalah pendidikan ekstra-kurikulernya. Artinya, menjadi pelengkap saja. Itu dulu! Itu terjadi di zaman ketika pendidikan masih sepenuhnya berlangsung secara tatap muka; tidak ada kuliah daring.
Tetapi, zaman sekarang sudah berbeda. Kini, MOOCs (Massive open online courses) sudah dimana-mana. Sebagian besar kuliah sudah berlangsung secara online. Pandemi mempercepat perubahan dan memaksa kita untuk bersiap memasuki zaman baru ini. Maka, di era seperti ini, justru pendidikan di Pesantren Mahasiswa itulah yang lebih utama. Jangan lagi menganggap kuliah di pesantren mahasiswa sebagai sambilan dan asal-asalan. Kurikulum dan para dosen yang mengajar di Pesantren pun harus yang terbaik.
Setelah peresmian Pesantren Marhamah, saya memberi kuliah singkat di Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aqabah. Ada sekitar 20 mahasiswa yang kuliah di ADI Aqabah ini. Kepada mereka saya menyampaikan agar mereka bersyukur dan bangga kuliah di kampus yang bertujuan melahirkan dai. Sebab, aktivitas dakwah dengan menjadi dai adalah kewajiban dan kemuliaan. Mudir (Kyai) di ADI Aqabah ini adalah seorang alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta.
Belum puas menyampaikan pemikiran di Kampus ADI Aqabah, saya sudah ditunggu di Universitas Mohammad Natsir (UMN), Bukittinggi untuk menyampaikan Kuliah Umum. Kampus ini berada di bawah Yayasan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina (YARSI) Sumatera Barat. Masih di tengah situasi pandemi Covid-19 Kuliah disampaikan secara terbatas untuk mahasiswa penerima beasiswa.
Kepada para mahasiswa, saya menyampaikan, bahwa menerima beasiswa dalam pendidikan itu hal yang patut disyukuri. Tapi, jika berkemampuan membayar, maka lebih baik membayar untuk pendidikan yang baik. Sebab, dengan membayar, berarti telah berinfaq di jalan Allah dan mendapatkan pahala jihad fi-sabililah. Maka, membayar biaya pendidikan adalah bentuk amal shaleh. Jika tidak berinfaq, padahal berkemampuan, maka yang rugi dirinya sendiri. Inilah cara berpikir yang berorientasi akhirat, bukan berorientasi dunia.
Juga, saya mengimbau para mahasiswa, agar mereka menjaga nama baik dan nama besar Mohammad Natsir. Jangan sampai menjadi mahasiswa UMN, tetapi keilmuan dan akhlaknya jauh dari keteladanan Mohammad Natsir. Sosok Mohammad Natsir adalah tokoh Islam dan tokoh bangsa yang dikagumi dunia internasional. Tentu ini bukan hanya menjadi tanggung jawab mahasiswa, melainkan juga tanggung jawab pimpinan dan para dosen yang tergabung di UMN.
Jangan sampai – andaikan masih hidup dan menyaksikan UMN — Mohammad Natsir kecewa dan tidak ridha namanya digunakan untuk UMN. Mohammad Natsir dikenal dengan konsep pendidikannya yang disebut sebagai “pendidikan integral”. Yakni, pendidikan berbasis Tauhid dan tujuannya adalah membentuk manusia seutuhnya.
Sosok Mohammad Natsir adalah contoh dari suatu produk pendidikan integral. Secara formal, Mohammad Natsir hanya menjalani pendidikan sekolah tingkat SMA. Tetapi, sejatinya Mohammad Natsir telah menjalani proses Pendidikan Tinggi yang terbaik. Ia berguru langsung dengan guru-guru terbaik, seperti Haji Agus Salim, A. Hassan, dan Syekh Ahmad Soorkati. Juga, ia terjun langsung ke tengah masyarakat sebagai guru pejuang, tanpa bayaran.
Di tengah-tengah dominasi pendidikan yang lebih berorientasi kepada kesuksesan duniawi, tidaklah mudah untuk mewujudkan misi mulia UMN dan Perguruan Tinggi Islam lainnya. Para pimpinan, dosen, dan mahasiswa harus berjuang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mewujudkan misinya yang mulia.
Melanjutkan safari dakwah di bumi kelahiran Mohammad Natsir, siang itu juga saya berkunjung ke Kota Padang Panjang.
Alhamdulillah, selain menikmati kuliner khas kota ini, saya berkesempatan mengunjungi dua Perguruan Islam yang umurnya sekitar 110 tahun dan 98 tahun, yaitu Perguruan Thawalib dan Diniyah Putri Padang Panjang.
Banyak hal khusus yang perlu kita catat dari dua Perguruan Islam ini. Perguruan Thawalib telah melahirkan sosok ulama seperti Buya Hamka dan sejumlah tokoh besar lainnya. Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang didirikan oleh Rahma el-Yunusiyah, ulama wanita pertama yang diberi gelar “Syaikhah” oleh Universitas al-Azhar Kairo. Di kedua Perguruan ini, saya diminta memberikan taushiyah kepada para santri. (Bersambung). (Padang, 14 Oktober 2021).
Ed. Sudono Syueb