CHILDFREE, APAKAH PILIHAN BERADAB?

CHILDFREE, APAKAH PILIHAN BERADAB?

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat

dewandakwahjatim.com – Beberapa hari ini ada sejumlah pertanyaan – dalam forum kuliah atau media sosial – tentang topik childfree. Topik ini menghangat setelah beberapa selebritis menyampaikan secara terbuka sikapnya. Ada pasangan suami-istri yang memutuskan menjadi pasangan childfree.
Artinya, mereka memutuskan untuk tidak akan mempunyai anak. Meskipun secara medis, pasangan itu dimungkinkan untuk mempunyai anak.

Ada lagi selebriti yang menyatakan, bahwa dengan tidak mempunyai anak, maka ia merasa telah membantu dunia yang sudah kelebihan populasi. Katanya, sekarang sudah terlalu banyak manusia yang tinggal di planet bumi ini.

Bagaimana kita memandang fenomena childfree? Seorang praktisi pendidikan, Adriano Rusfi, berpendapat, bahwa dalam pandangan Islam, sudah tentu tidak ada istilah childfree atau menolak berketurunan. Apalagi pada pasangan yang sudah menikah. Dalam Islam, salah satu tujuan perkawinan memang mempunyai anak.

Dalam Islam, menurut Adriano Rusfi, tidak mendayagunakan fungsi tubuh adalah jahil. Sedangkan mendayagunakan fungsi tubuh secara berlebihan adalah zalim. Keduanya sama-sama bentuk dosa. Rasulullah saw telah bersabda agar kita “berbanyak-banyak” atau “berketurunan”. (Lihat: https://salmanitb.com/2021/08/04/bolehkah-muslim-ikut-tren-childfree/).


Pada tahun 2010, saat berkunjung ke Inggris, saya banyak ditemani oleh seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil doktor di University College of London (UCL). Suatu saat, ia mengajak beberapa anaknya yang masih kecil dalam acara di London. Menurutnya, ada teman-teman kuliahnya di UCL yang heran melihat ia ke kampus dengan membawa sejumlah anak. “Apa itu tidak merepotkan?” tanya mereka, seperti ditirukan oleh mahasiswa Indonesia tersebut.

Tentu saja, di sejumlah negara Barat, fenomena perempuan tidak mau punya anak sudah menjadi hal biasa. Mereka punya prinsip “kedaulatan alat reproduksi”. Perempuan itu sendiri – bukan suami atau orang lain — yang berhak memutuskan apakah ia mau punya anak atau tidak.

Dalam sistem keluarga di Barat, suami dan istri punya kedudukan setara. Tidak boleh suami memaksakan keinginannya untuk punya anak kepada istrinya. Tidak ada konsep “istri harus taat suami” dalam rumah tangga mereka. Punya anak atau tidak adalah hasil kesepakatan. Jika anak dianggap merepotkan karir atau kehidupan sang istri, maka lebih baik tidak punya anak.

Sistem keluarga dan sosial seperti ini telah memunculkan krisis penduduk di sejumlah negara di Barat dan negara-negara modern lainnya. Tahun 2012 lalu, Jerman mengkhawatirkan rendahnya angka pertumbuhan penduduknya. Menurut data statistik, angka kelahiran bayi di negara tersebut menempati angka terendah sepanjang sejarah. Rendahnya angka kelahiran di negara tersebut menimbulkan kekhawatiran persoalan populasi negara tersebut di masa depan.

Data Kantor Statistik Federal Jerman di Wiesbaden mengungkap pada tahun 2011 terdapat 663.000 bayi yang dilahirkan di negara tersebut. Hal ini berarti, menurun sebanyak 15.000 kelahiran lebih sedikit dari angka tahun lalu, atau turun 2,2 persen. Sebagai perbandingan, ada sekitar 1,4 juta bayi yang dilahirkan di Jerman pada 1964. Setelah itu, tingkat kelahiran bayi terus mengalami penurunan.

Sejak 1972, angka kematian telah melebihi jumlah dari angka kelahiran bayi. Sementara jarak antara perbandingan angka kematian dan angka kelahiran juga meningkat selama beberapa tahun terakhir, ketika jumlah kematian pada 2011 mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7 persen sehingga mencapai 852.000.
Dalam skenario tersebut, angka rata-rata kematian akan meningkat sebagai akibat dari masyarakat yang semakin tua. Statistik menunjukkan, warga Jerman tidak hanya cenderung untuk memiliki sedikit anak, namun juga kurang berminat untuk menikah. Hal tersebut diperlihatkan dengan penurunan angka pernikahan yang terjadi dari tahun ke tahun sebesar 1,1 persen. Tercatat hanya ada 378.000 pasangan yang menikah pada 2011. (https://www.beritasatu.com/dunia/57757/angka-kelahiran-rendah-jerman-khawatirkan-populasi).


Sebenarnya soal menikah dan memiliki anak sudah diletakkan secara adil dalam Islam. Jika seorang memiliki worldview (pandangan hidup) yang benar, maka seorang akan mampu memahami dan menempatkan masalah ini secara adil dan beradab.

Perintah Nabi untuk menikah diberikan kepada para pemuda yang sudah “mampu”. Jika tidak mampu, ya berpuasalah. Rasulullah saw menyebut nikah adalah sunnah beliau dan siapa yang membenci sunnah beliau maka ia bukan termasuk golongan Nabi. Menikah juga satu bentuk ibadah.
Tetapi, tidak setiap orang wajib menikah. Jika ia terjatuh dalam zina, karena tidak menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Ada ulama – meskipun sangat kecil jumlahnya – yang memilih untuk tidak menikah dan menyibukkan diri dalam aktivitas keilmuan dan perjuangan.

Begitu juga soal anak. Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa ia senang memiliki anak (QS 3:14). Maka, merupakan sikap yang adil dan beradab, sesuai dengan fitrah manusia, jika suami-istri ingin punya anak. Tidak perlu khawatir soal rizki anak, sebab Allah sudah menjamin rizki anak-anak itu. Dalam praktiknya, jika orang tuanya tidak mampu, maka mereka wajib dibantu oleh saudara atau anak-anak itu menjadi tanggung jawab negara.
Anak-anak manusia itu harta yang sangat berharga. Anak manusia lebih berharga daripada anak kambing atau anak babi. Logisnya, manusia didorong untuk punya banyak anak. Tetapi, dengan syarat, orang tua harus bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Karena itulah, tugas orang tua adalah mencari ilmu agar bisa mendidik anak dengan baik. Sebab, anak-anak yang salah didik, bisa lebih rendah nilainya dan lebih merusak masyarakat daripada anak kambing atau anak babi.

Jadi, soal childfree perlu diletakkan pada tempatnya, dilihat secara adil dan beradab. Jika ada satu penyakit atau kondisi tertentu, baik saja mengambil keputusan childfree. Kata kuncinya: bertanya kepada ahlinya!

Bagi yang mampu memiliki anak dan mampu mendidik dengan baik, maka beranaklah sebanyak-banyaknya. Itu perintah Nabi. Jika belum mampu mendidik, maka belajarlah dengan benar! Carilah ilmu yang benar!
Keputusan suami istri untuk childfree – yang tidak adil dan beradab — akan berakibat pada diri mereka sendiri. Yang rugi mereka sendiri! Tuhan tidak rugi apa-apa. Begitu juga masyarakat dan negara juga tidak rugi apa-apa.
Jika orang zalim tidak mau punya anak, dan tidak mau menerima nasehat yang baik, maka orang-orang baik seharusnya memperbanyak anak. Begitu sederhana solusinya! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 21 Agustus 2021).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *