Dr. Slamet Muliono Redjosari
Anggota Bidang Pemikiran lslam DDII Jatim
Salah satu kenikmatan besar yang diberikan kepada kita adalah berkemampuan untuk berkurban dengan menyisihkan rejeki yang Allah berikan kepada untuk berrkurban. Allah telah mensyariatkan penyembelihan hewan korban bukan hanya untuk kaum muslimin yang hidup saat ini, tetapi telah diberlakukan pada umat sebelumnya. Perintah berkurban merupakan sarana untuk mentauhidkan Allah dan menunjukkan rendahnya seorang hamba, serta tingginya keagungan Allah di semua makhluk-Nya. Persembahan hewan kurban yang diperuntukkan kepada selain Allah bukan hanya penyimpangan nilai-nilai ketuhanan tetapi bertentangan dengan logika akal sehat.
Perintah Berkurban
Allah memerintahkan kita berkurban bukanlah suatu yang memberatkan. Dikatakan tidak memberatkan karena ibadah yang satu ini sudah diberlakukan pada umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, bagi penolak berkurban, dengan berbagai alasan, jelas bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah, sebagaimana firman-Nya :
Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (QS. Al-Hajj : 34)
Di dalam beribadah, dipersyaratkan untuk berbuat ikhlas. Berkurban merupakan bagian dari ibadah, sehingga keikhlasan sangat menentukan diterimanya suatu amal. Dalam berkurban bukan sembelihan hewan kurban yang sampai keada Allah, tetapi niat dan keikhlasan itulah yang memperoleh poin utama. Hal ini sebagaimana termaktub sebagaimana firman-Nya :
Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj : 37)
Pengagungan kepada Allah dengan mengikhlaskan diri saat melaksanakan kurban akan diganjar oleh Allah dengan balasan yang amat besar dan agung. Hal ini dibuktikan oleh janji Allah yang akan memberi kabar gembira bagi hamba yang melaksanakan syariat kurban dengan niat mengagungkan-Nya.
Oleh karena itu, Allah menyampaikan penolakan terhadap seorang hamba yang berkurban untuk kepentingan selain Allah. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kisah dua anak Nabi Adam yang melakukan penyembelihan dengan niat yang berbeda satu sama lain. Allah mengisahkan peristiwa agung itu sebagaimana firman-Nya :
Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah : 27)
Kisah dua anak Nabi Adam di atas menunjukkan bahwa amal yang didorong oleh keikhlasan dan pengagungan kepada Allah akan melahirkan sikap merendahkan dirinya dan mengagungkan Allah. Sementara berkurban yang didorong oleh kepentingan lain, akan melahirkan sikap dan perbuatan yang hina dan rendah. Hal ini dikisahkan Allah ketika menggambarkan seorang hamba yang tidak berniat ikhlas dalam berkurban, sehingga mendorong dirinya untuk melakukan pembunuhan. Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi. (QS. Al-Ma’idah : 30)
Allah menunjukkan kerugian yang berlipat-lipat bagi seseorang yang salah dalam melakukan peribadatan. Kisah Qabil yang menyembelih hewan kurban jelas mengeluarkan tenaga, biaya, dan menginginkan balasan keagungan. Tetapi karena niatnya yang salah, membuat dirinya terdorong untuk melakukan pembunuhan terhadap saudaranya (Habil). Sementara Habil memiliki jiwa yang ikhlas dan berkurban hanya didorong oleh niat ikhlas, maka tidak tak tergerak untuk melakukan kemaksiatan. Hal ini karena semata-mata didorong oleh ketakutan kepada Allah, sehingga terhindar dari dosa besar. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
“Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Ma’idah : 28)
Habil tak tergerak sedikitkan untuk merusak pahala yang telah dia korbankan. Harapan untuk memperoleh balasan keagungan dan kemuliaan di sisi Allah jelas tertanam begitu kuat dalam hatinya. Hal ini berbeda dengan apa yang dialami oleh saudaranya (Qabil) yang terdorong niat yang rendah, sehingga bukan hanya pahala yang hilang, tetapi hukuman dan siksaan berat, berupa neraka Jahanam, telah menantinya.
“Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zalim. (QS. Al-Ma’idah : 29)
Berkurban merupakan syariat yang telah diberlakukan pada umat terdahulu dan telah dicontohkan oleh nabi Muhammad dengan merujuk pada keteladanan Nabi Ibrahim. Keikhlasan dalam berkurban itulah yang membuat kedudukan Nabi Ibrahim mulia, bukan hanya di sisi Allah tetapi agung di mata manusia sepeninggal beliau.
Editor: Sudono Syueb