BELAJAR ISLAM JANGAN BERTAMBAH RAGU!

BELAJAR ISLAM JANGAN BERTAMBAH RAGU!

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum DDII Pusat (www.adianhusaini.id)

dewandakwahjatim.com – Tujuan belajar ilmu-ilmu keislaman (ulumuddin) adalah agar seorang menjadi bertambah yakin dengan Islam. Sebab, keyakinan adalah asas kebahagiaan hidup. Tanpa keyakinan, manusia akan terombang-ambing dalam hidupnya. Jiwanya tidak akan pernah mencapai ketenangan.
Karena itu, jika ada yang belajar Islam menjadi bertambah ragu akan kebenaran, maka waspadalah! Jangan-jangan, metode belajarnya salah. Atau, mungkin, guru dan materi ajarnya yang salah. Maklumlah, kita sedang hidup di zaman relativisme. Yang benar dan salah dianggap sama. Iman dan kekufuran disamakan kedudukannya. Tauhid dan syirik dianggap jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.
Hati-hatilah dengan pemikiran semacam itu. Sebagai contoh, tahun 2001, sebuah jurnal keagamaan menerbitkan laporan utama berjudul: “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Ditulis dalam Jurnal ini:

“Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.”
Di Jurnal yang sama, seorang guru besar dalam bidang pemikiran Islam juga menulis artikel berjudul : Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama. Di sini, ia menulis:
“Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah.


Itulah dua contoh pemikiran yang mengajak kaum muslimin untuk tidak meyakini kebenaran agamanya sendiri. Pemikiran seperti ini, selain jelas-jelas salah, juga aka merugikan pribadi muslim, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Sebab, keimanan adalah potensi terbesar untuk membuat perubahan positif pada diri seseorang.
Rasululllah saw menjamin, bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Jadi, tidak benar, jika iman kuat dan kokoh, maka orang itu akan merusak kerukunan umat beragama. Ini cara berpikir yang sangat keliru. Orang yang sempurna imannya, pasti tidak akan mau menzalimi atau merugikan orang lain, karena ia pasti takut akan ancaman siksa di akhirat.
Dalam artikelnya tentang Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja), di Jurnal Islamia Harian Republika (Februari 2012), Dr. Khalif Muammar, mennjelaskan, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal-Jamaah telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam.

Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.
Karena itu, menurut Dr. Khalif Muammar, ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Ini semua paham yang salah.
Menurut Dr. Khalif Muammar – Direktur Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization, Universiti Teknologi Malaysia — kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip Aswaja ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme yang banyak diadopsi oleh kaum liberal.
“Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al-I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip nal-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin nrelevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme),” demikian tulis Dr. Khalif.

Artikel yang ditulis oleh Dr. Khalif Muammar itu sangat penting untuk disimak, sebab saat ini umat Islam sedang menghadapi tantangan besar dalam bidang pemikiran yang belum pernah dihadapi pada masa-masa sebelumnya. Liberalisasi Islam bersumber dari pemikiran di luar Islam, khususnya dari Yahudi Liberal, yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Dalam artikelnya tersebut, Dr. Khalif Muammar memaparkan, bahwa Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal-Jama’ah terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis, (iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Kebenaran itu datangnya dari Allah. Maka, janganlah kita termasuk golongan yang ragu-ragu.
Kebenaran dari Allah itu telah disampaikan oleh para utusannya, dan kemudian dilanjutkan para ulama pewaris Nabi. Para Nabi dan para ulama yang mulia, senantiasa mengajak manusia kepada keimanan dan keyakinan. Jika ada yang mengajak kepada keraguan, maka tidak patut untuk diikuti.(sudono/ed)

(Yogya, 16 Maret 2021).

Dapatkan artikel-artikel lainnya di:
https://adianhusaini.id/category/artikel-terbaru

Pojok 1000 Artikel Pilihan: Wujudkan Komunitas Cerdas dan Bijak
Bantu share
Info berlangganan,
Kirim via WA/Telegram/Signal/BIP ke 0858 8293 0492
ketik: Daftar

Atau akses langsung ke: http://member.adianhusaini.id/register

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *