Diferensi Keagamaan dan Patologi Sosial

Oleh Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ma’had YTP Kertosono; penulis buku, “Konsep Teologi Ibn Taimiyah”).


Dewandakwahjatim.com, Kalimantan Selatan – Di masyarakat yang lagi patologis, “simbol” seolah menjadi identitas sesungguhnya (essence); sehingga simbol menjadi penanda “perbedaan” sosial (al-fash al-ijtima’iyyah, al-farq al-ijtima’iyyah, distinction of social). Kalau tidak memakai simbol kurang percaya diri, kalau tidak pakai “pengenal” identitas seolah tak dikenal dan tidak diakui identitasnya. Simbol seolah menjadi jaminan bahwa seseorang betul-betul sebagaimana yang ditampilkan. Pemakaian simbol mengimplikasikan “insentif” sosial, seperti grouping, pengelompokan, identifikasi, pengakuan jatidiri, dan tak lupa: “Siapa aku”. (Sopo sira, sopo ingsun, adi gung adi guna). Orang lalu menjadi krisis ke-aku-an, ke-pribadi-an, krisis percaya diri (tidak pede) kalau tidak pakai simbol. Dalam ibadah, kalau tidak pakai simbol tertentu, seolah ibadahnya ditolak Tuhan, Allah SwT. Kalau tidak pakai atribut tertentu, seolah-olah tidak religius, tidak agamis, tidak shalih, bukan orang “alim” tapi urakan. Simbol pun menjadi alat untuk merendahkan, mensubordinasi, dan bulliying yang lain, di-tahdzir sebagai bukan “sunnah”, padahal ikut Allah dan Rasulnya. di-tahdzir sebagai bukan santri, padahal mondok dan pintar baca kitab Kuning; di-tahdzir sebagai bukan tidak shalih, karena tidak pakai baju Taqwa, baju Koko, tidak pakai sarungan, padahal menutup aurat dan berpakaian sopan; di-tahdzir sebagai kurang Islami, karena tidak pakai cadar, padahal itu bukan kewajiban. Ngaji pun diberi simbol ngaji “sunnah” sebagai diferensi dengan kelompok lain yang tidak ngaji sunnah, padahal meng-kaji al-Qur’an, Sunnah Nabi, Sirah Nabi, fiqih Shahabi, fiqih Tabiin, fiqih para Imam Madzhab, dst. yang lain pun ikut-ikutan perang simbol dengan “membalas” diksi sebagai kelompok radikal-radikul, wahabi, Salafi, anti taqlid, dan seterusnya. Masyarakat tidak pede dengan budaya yang selama ini dipakai dan dijadikan adat-istiadat, seolah kurang agamis kalau tidak mengidentifikasi dengan identitas tertentu sebagai simbol grouping (jama’ah, jam’iyyah). Isbal pun dijadikan senjata untuk mentahdzir yang lain sebagai tidak ikut sunnah, padahal zaman Nabi, Abu Bakar juga izar-ya “melorot”. Yang di atas mata kaki pun lupa Hadits, “Man tasyabbaha bi qaum fa huwa min hum”, dikira celana cingkrang yang dipakai berbahan “jeans” (Italia: Genoa, asal-muasal pakaian Jeans) ala “Barat”, itu berasal dari Arab? Padahal dari negeri Romawi. Yang santri pun menggunakan Sarung sebagai senjata identitas, bahwa kaum sarungan adalah insan yang pandai dan faqih kitab Kuning, yang pakaian non santri hanya faham kitab Putih saja. Saling perang diksi untuk memenagkan perang diksi, logika sosial, memangnya itu esensi dari yang sebenarnya? Atau hanya itu simbolik saja biar untuk diketahui, bukan untuk “rebutan” ke-aku-an yang sebenarnya, ke-huwiyah-an yang sebenarnya, atau mahiyah yang sebenarnya?

Sangat esensial untuk ditelisik dari sisi falsafi dan manthiqi untuk mengurai (tahlili) keruwetan benang penghubung sebuah struktur agar ditemukan “akar”, “pokok” (ashl, asas, essence, foundation) yang sebenarnya, bukan ranting “penghias”-nya. Dalam ilmu Manthiq, suatu “konsep” (tashawwur) dianggap jelas batasannya, definisinya (hadd), manakala “Jami’” (inklusi, yang bisa masuk di dalamnya) dan “mani’” (ekslusi, yang “dilarang”, yang “tertolak” masuk di dalam) jelas (al-fashl). Jika diferensi (al-fashl) tidak dipakai dan hanya memakai aksiden, sifat, atau atribut (‘aradl), maka hanya disebut deskripsi (rasm), bukan definisi, bukan batasan (hadd).

Dalam Ilmu Manthiq, al-fashl adalah suatu sifat atau sekumpulan sifat yang membedakan suatu hakikat (esensi) dari hakikat-hakikat lain yang berada dalam satu jenis (jins) yang sama, sehingga membentuk bagian dari definisi utuh suatu konsep. Laki-laki dan perempuan berbeda, karena beda al-fashl-nya; mu’min dan kafir jelas perbedaannya, manakala al-fashl-nya jelas; Indonesia dan Malaysia wilayahnya jelas, manakala fashl (pembeda, pembatas)-nya jelas. Seorang dikatakan sebagai “penduduk” Indonesia, manakala “jelas” KTP-nya. Seorang dikatakan lulus sekolah atau universitas, manakala “fashl”-nya jelas, jelas lulusnya, jelas ijazah-nya (ijazah sebagai fashl, difensi); kalau tidak punya ijazah, maka tidak lulus sekolah atau universitas.

Doeloe, ada adagium tentang korupsi, “Kalau tidak ketangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bukan koruptor. Koruptor ialah manakala melakukan korupsi ketangkap KPK. Jikalau korupsi, lalu tidak ketahuan dan tidak ditangkap KPK, tidak disebut –oleh masyarakat, pendukung, penikmat— koruptor.” Jadi, formalitas tangkap tangan KPK, menjadi “definisi” (hadd) sebagai koruptor. Walau korup, namun tidak ditangkap KPK, belum di-define koruptor. Helah itu sebagai candaan, guyonan, omongan orang gardu, bincang para sopir tentang korupsi dan definisinya. Tetapi, semua tahu, bahwa yang namanya korupsi adalah memperoleh, mengambil, mendapat manfaat, atau memberi manfaat kepada yang lain dari kekayaan yang bukan haknya. Ibarat maling, tidak disebut maling kalau tidak ketangkap sebagai maling. Padahal masyarakat tahu bahwa orang dan perbuatannya maling. Seolah-olah, “Ketangkap tangan” menjadi fashl korupsi ataupun maling, padahal bukan.

Atribut, sifat, aksiden, ‘aradl, adalah suatu sifat yang dengannya tidak bisa menghilangkan esensi (haqiqah, mahiyah, huwiyah) sesuatu. ‘Aradl, atribut, sifat, adalah suatu “sifat” atau “kondisi” yang melekat pada unsur dasar (essence, Jauhar, mahiyah, huwiyah), seperti warna atau bentuk pada suatu benda, tetapi bukan esensi dari benda itu sendiri. “Putih” adalah “’aradl” pada “kapas”. Kapas tetap disebut kapas meski tidak berwarna putih, misalnya kapas yang diberi warna hijau, merah, kuning, atau watna lainnya. Esensi, hakikat, Jauhar Kapas tetap sebagai kapas meski tidak putih, karena putih hanya sifat, kondisi, atau ‘aradl saja, bukan hakikatnya. Manusia misalnya, diberi “sifat”, atribut, ‘aradl, bisa “bersuara” (shaut, voice, sound). Bila “aradl” tersebut dilekatkan kepada manusia, lalu hilang sifat bersuaranya, tidak meniadakan esensi manusia yang tidak bersuara, ia tetap disebut manusia meski tidak bersuara. Karena “suara” bukan esensi, hakikat, jauhar, mahiyah, huwiyah, manusia. Ia hanya “sifat” atau “kondisi” manusia saja. Contoh lain tentang definisi yang tidak memakai fashl, “Siapakah manusia?” Manusia adalah hewan bersuara, definisi tersebut hanya disebut “rasm” (gambaran) saja, karena suara bukan al-fashl. Inilah yang disebut dengan “deskripsi” (rasm) namun bukan “definisi” (hadd), karena “’aradl” tidak bisa “menjadi batas” yang membedakan antara manusia dengan yang bukan manusia, karena bianatang pun bisa bersuara. Berbeda dengan “fashl”, maka jika fashl tidak ada, maka jauhar, mahiyah, huwiyah-nya tidak ada. Contoh yang sering dikemukakan adalah “nathiq”. Manusia dibedakan dengan yang bukan manusia karena kemampuan “nathiq”-nya. Manakala “nathiq’-nya hilang, maka tidak disebut manusia lagi. Jika dengan “fashl” tersebut manusia yang hilang “nathiq”-nya tetap disebut manusia, maka “nathiq” bukan “fashl” lagi, harus dicari yang benar-benar fashl sebagai pembeda manusia. Jika fashl nathiq ada yang membantah, maka fashl tersebut belum mencapai “ijma’”, maka harus dicarikan “fashl” yang lain yang tidak ada lagi fashl setelahnya.

Misalnya, ada yang memberi tambahan definisi manusia nathiq, dengan nathiq abstraktif seperti kemampuan berfikir matematik. Hewan tidak bisa berfikir abstraktif dengan menambahkan satu tambah satu sama dengan dua, dst. Ada juga yang menambahkan, manusia adalah makhluk berbudaya, atau berperadaban. Manusia mampu menciptakan sistem berfikir, epistemologi, membikin rumus dan seterusnya, hewan tidak bisa, ia statis. Manusia mampu membangun rumah yang beragam, berbeda, megah, asri dan seterusnya. Manusia mampu membangun istana, bangunan pencakar langit, dst., hewan tidak mampu. Rayap misalnya, rumahnya dari doloe seperti itu itu saja, tidak berubah.

Fashl yang paling jelas dan tidak bisa dibantah adanya adalah beda antara laki-laki dengan perempuan, yaitu Mr. P dengan Mrs. V. Setiap yang punya P pasti laki-laki dan yang setiap punya V pasti perempuan. Seorang transgender pun jika ingin merubah status jenis kelaminnya, maka “alat vital”-nya harus dirubah, sehingga status kelaki-laki-annya atau keperempuaannya berganti. Itulah yang disebut “pembeda”, diferensi, al-fashl.

Untuk memudahkan pemahaman “atribut”, “’aradl” dengan esensi, hakikat, mahiyah, adalah cerita yang pernah disampaikan K.H. Zainuddin MZ, “Syaikh al-Azhar diundang untuk hadir ke istana raja Mesir. Datanglah Syaikh al-Azhar dengan pakaian yang biasa dia pakai. Sang raja tidak berkenan dengan pakaian sang syaikh. Akhirnya dikirimlah baju yang setandar Istana. Akhirnya datanglah sang syaikh ke Istana kerajaan, dengan membawa baju yang setandar istana tersebut. Saat sampai, sang syaikh masuk menghadap raja, namun tidak ngobrol sama sekali. Sang syaikh mengatakan, “Yang dibutuhkan raja adalah pakaiannya, bukan saya, karena itu saya bawakan baju ini dan ku kembalikan. Lalu dia pulang meninggalkan istana, tanpa dialog antar keduanya.” Baju adalah atribut, bagi Syakh al-Azhar, esensi adalah keilmuan, bukan baju.

Membuat definisi biar deferensif memang sulit, karena itu perlu megumpulkan sifat, ‘aradl, indikator, yang bisa menjadi “fashl”, distingsi, pembeda, sehingga tidak ada lagi sifat yang lebih kecil, atau paling bawah. Proses inilah yang disebut dengan “jami’” (جامع), mengumpulkan, mengakumulasi, mengidentifikasi semua sifat-sifat. Lalu sifat-sifat yang “tidak bisa masuk”, tertolak, dibuang, inilah yang disebut dengan “mani’” (مانع).

Dalam Ilmu Ushul al-Fiqh ada istilah “sabr wa taqsim” (السبر و التقسيم). “Al-Sabr” artinya membatasi sifat-sifat yang ada setelah “dikumpulkan” semua yang layak untuk dimasukkan sebagai ilat atau sifat sesuatu, menguji satu persatu, membuang yang tidak layak sebagai sifat atau ilat dan “menetapkan” satu yang layak sebagai satu-satunya sifat atau ilat. Sedang “al-Taqsim” adalah membagi-bagi, mengidentifikasi sesuatu yang menjadi sebab atau sifta sesuatu. Gus Baha’ sering mencontohkan dalam ceramahnya tetang Allah dan ciptaan-Nya dengan mengutip QS. Al-Thur/52: 35-36.

اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَۗ اَمْ خَلَقُوا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ بَلْ لَّا يُوْقِنُوْنَۗ

“Apakah mereka diciptakan bukan dari tiada ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)?

Ataukah mereka menciptakan langit dan bumi? Bahkan mereka sendiri tidak meyakini (apa yang mereka katakan.”

Kata Gus Baha’, “Layakkah manusia, atau lainnya dijadikan tuhan atau mengaku sebagai tuhan, sedangkan mereka sendiri diciptakan dari yang Ada. Gak mungkin sesuatu yang diciptakan diciptakan dari ketiadaan. Maujud ini ada karena adanya Sabab al-Wujud yang Wajib Ada sebelum adanya sesuatu, Yang Wujudnya tidak didahului sesuatu yang lain (Qidam), Dia Yang Awal yang tidak ada mendahuluinya. Dia ada dengan sendirinya (Qiyamuhu bi nafsiHi) yang tidak membutuhkan yang lain, baik diciptakan, diperanakkan, atau memerlukan penebusan yang lain. Jadi, gak pantas, sesuatu yang diciptakan mengaku sebagai Pencipta. Tidak pantas sesuatu yang masih butuh, masih tergantung kepada yang lain dijadikan tuhan.”

Atau yang mengaku sebagai tuhan, mampukah menciptakan langit dan bumi serta isinya yang tanpa tiang dan penyangga? Semuanya serba tidak meyakinkan logika, ilmu pengetahuan, dan fithrah kemanusiaan itu sendiri.

Jadi, sifat-sifat yang dikumpulkan, diidentifikasi, lalu diseleksi, yang layak masuk dimasukkan dan yang tidak layak, dikeluarkan, terkhir: Ditetapkan satu pilihan. Inilah yang disebut “al-Sabr wa al-Taqsim”. Ada juga yang membalik: “Al-Taqsim wa al-Sabr” (dipilah-pilah dahulu, baru ditetapkan satu yang pasti).

Dalam istilah yang lain juga digunakan istilah “Tanqih al manath” yaitu “membersihkan sifat-sifat yang dijadikan sandaran atas sebuah masalah sebagai ilatnya, dan menetapkan satu sebagai ilat atau sebab yang paling pokok (tahqiq al-manath: ilat yang sudah ditahqiq, sudah diseleksi), Tahqiq al-manath. Inilah yang disebut sebagai al-Shifah al-tsabitah al-fariqah al-fashilah, sifat permanen sebagai pembeda yang jelas.

Syahadat(ain)—selanjutnya disebut Syyahadat saja– adalah penyebab seseorang menjadi muslim. Syahadat juga menjadi pembeda (al-fashl) seorang muslim dan non muslim. Orang disebut muslim manakala telah bersyahadat, dan tidak disebut muslim manakala tidak pernah menyatakan Syahadat. Orang yang mengakui Ada-nya tuhan belum tentu disebut muslim manakala tidak meng-Esa-kan Allah, misalnya penganut politeisme, penyembah banyak tuhan, paganisme, penyembah patung. Yang mengEsa-kan Allah pun tidak disebut muslim manakala tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Dua-duanya menjadi kesatuan yang tidak boleh dipisah, karena mengingkari satu dari keduanya, masuk kategori non muslim. Sebagaimana QS. Al-Nisa’/4: 150-151:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَيُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّفَرِّقُوْا بَيْنَ اللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَّنَكْفُرُ بِبَعْضٍۙ وَّيُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَّخِذُوْا بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًاۙ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ حَقًّا ۚوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًا

“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah antara itu (keimanan atau kekufuran),

merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.”

Saat menafsirkan QS. Al-Baqarah/2: 62,

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.”

Prof. Hamka menyatakan, “Tanda betul tidaknya seseorang beragama adalah pasrah yang sebenarnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan apa yang datang dari Allah, baik perintah maupun larangan-Nya. Suatu keniscayaan (mulazimah) bagi yang mengaku parsrah kepada Allah untuk menerima kenabian Nabi Muhammad. Bila mengaku berislam kepada Allah, namun mengingkari adanya utusan yang dikirim Allah, berarti tidak pasrah sepenuhnya (khalishan li Allah) kepada Allah. Karena sikap “ingkar” tersebut, maka disebut “tidak pasrah” (non muslim), namun “inkar” (kufr) kepada Allah.

Prof. Hamka pun menambahkan, “Yang mengaku muslim pun, manakala masih dicampur dengan kesyirikan, berarti tidak parsah sepenuhnya kepada Allah. Syirik khafi seperti riya’, sifat ingin diperhatikan, dipuji, dan dihargai orang, masuk dalam kategori tidak pasrah. Yang muslim pun kalau tidak ikhlas juga tidak dapat apa-apa.

Beragama yang benar adalah beragama yang benar-benar tunduk, patuh, dan pasrah hanya kepada Allah. Konsekwensi dari sikap tersebut adalah menolak segala sesuatu yang menyebabkan ingkar, kufur, tidak tunduk, tidak patuh kepada Allah dan segala yang datang dari Allah, termasuk dalam beragama, bernabi, berkitab, berhari Akhir, dan seterusnya.

Imam Ahmad pernah berpendapat bahwa orang yang menanggalkan shalat dihukumi kafir, keluar dari Islam. Saat Imam Syafii datang ke Irak, sempat menanyakan pendapat tersebut kepada muridnya, “Kalau tarikus shalat kafir murtad, lalu taubatnya bagaimana?” Imam Ahmad Ahmad menjawab, “Shalat”. Imam Syafii balik bertanya, “Mengapa tidak syahadat, kalau keluar dari Islam, untuk taubat ialah mengucapkan syhahadat bukan shalat?” Imam Ahmad lalu sadar, bahwa “murtakib al-kabir” tidak keluar Islam, hanya “maksiat” yang termasuk dosa besar yang tidak menyebabkan pelakuanya kafir keluar Islam.

Imam al-Syafii, “Taubatnya orang yang tidak shalat adalah mengerjakan shalat, bukan syahadat. Kalau kafir keluar dari Agama, taubatnya harus syahadat.” Karena itu “tarikus shalat bukan kafir yang menyebabkan murtad, keluar dari agama Islam, ia hanya melakukan pelanggaran berat (murtakib al-kabirah) yang berkonsekwensi pada dosa besar.”

Kaum Khawarijlah yang berpendapat bahwa pendosa besar hukumnya kafir kharijul millah, sehingga wajib diperangi. Pelaksana dan penerima “Tahkim Daumatul Jandal” dihukumi kafir karena tidak mengikuti al-Qur’an, menerima tahkim atas kesepakatan perdamaian antara Aly dan Muawiyah. Padahal di dalam al-Qur’an, kaum pemeberontak (bugaht) wajib diperangi hingga kembali kepada kebenaran. Muawiyah sebagai pemberontak tidak boleh diterima tawaran perundingan damainya. Khawarij menolak perundingan damainya, sehingga hasilnya pun ditolak. Karena itu, tokoh teras Khawarij menetapkan para pemimpin kelompok politik kekhalifahan dinilai melakukan dosa besar yang harus dibunuh karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Khalifah Ali terbunuh oleh Ibn Muljam, sementara Mu’awiyah dan Amr ibn Ash selamat dari pembunuhan.

Kyai Dahlan pernah dikafirkan pengkritiknya, karena mendirikan sekolah mirip format Pendidikan Belanda yang notabe sebagai penjajah kape, alasannya sederhana: Menyerupai Pendidikan Belanda. Jawaban kyai Dahlan simple, tidak mbulet, tidak putar-putar, “Pak Kyai datang ke Jogja naik apa?” Si pengkritik menjawab, “Naik Kereta Api.” Kata Kyai Dahlan, “Lah, Kereta itu yang membuat Belanda, berarti kafir juga yang menggunakan buatan orang kafir.” Orang tersebut terdiam.

Cerita Kyai Dahlan, kritikus, dan tasyabbuh, adalah bagian dari kerancuan epistemik karena lemahnya analisa falsafi terhadap persoalan keagamaan dan lainnya, seolah yang Nampak di mata, secara lahiriah Adalah hakikat yang ada, esensi sesuatu itu sendiri. Form tidak menunjukkan hakikat itu sendiri. Ia hanya bagian dari keseluruhan gambar dari sebuah bentuk (Juz’u min kull), bukan hakikat dari sesuatu.

Hamka juga bercerita dalam bukunya “Ayahku” tentang sikap ayahnya, DR. Karim Amrullah terhadap perintah “Seikerei” Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia tahun 40-an, yaitu membungkukkan badan pada pagi hari ke arah Matahari terbit (Jepang) untuk menghormati Kaisar Tenno Heika. Bagi Haji Rasul, Seikerei mirip dengan “ruku’” dalam ajaran Islam, karena itu beliau menolaknya. Peristiwa tersebut terjadi saat rapat dengan pemerintah pendudukan Jepang di Jakarta. Atas kejadian tersebut Haji Rasul dimintai “tulisan” untuk disampaikan ke pemerinah Jepang sebagai bahan untuk menetapkan sebuah kebijakan ke penduduk Indonesia.

Antara Ruku’ dan Seikerei sulit ditemukan celah toleransinya, karena itu, Seikerei ditolak oleh DR. Karim Amrullah, karena ada unsur Sintoismenya. Ini benar-benar tasyabbuh yang tidak bisa ditolak definisinya, yang berbeda dengan sikap “sedikit menundukkan kepala” kepada orang lain, yang memang benar-benar ingin menghormati orang lain sebagai rasa penghormatan kepada sesama manusia.

Ini berbeda dengan tafsir salah seorang ulama’ Indonesia yang mengharamkan sedikit “menundukkan” kepala kepada orang lain, karena ditasyabbuhkan dengan “ruku’”, padahal orang Jawa atau lainnya, menundukkan kepala kepada orang lain jelas-jelas untuk “ta’zhim” (hormat), bukan tujuan untuk “ibadah”. Kalau tujuannya untuk ubudiyah, pasti salah, namun kalau hanya untuk ta’zhim, maka hukumnya Mubah (boleh) saja.

Ini sama dengan konsep “sujud” pada peristiwa kosmik antara Adam, Malaikat, dan Jin. Sujud pada ayat al-Baqarah dan lainnya, diberi makna penghormatan, bukan peribadatan. Jika makna sujud diartikan dengan sujud hakiki, maka benar Syaithan yang membangkan perintah Allah untuk sujud kepada Adam yang sama-sama ciptaan Allah. Yang berhak untuk disujudi Adalah Allah SwT., bukan Adam. Karena itu ada seorang cendekiawan muslim berkelakar, “Iblis benar tidak mau sujud kepada Adama, karena yang berhak disujudi hanya Allah. Tauhidnya Iblis Adalah tauhid yang murni.” Namun ingat, itu hanya kelakar untuk mengkritik kaum literaris.

Berdasarkan Hadits berikut,

وَعَنْ بُرَيْدَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .

“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian yang mengikat antara kita dan mereka adalah shalat, maka siapa saja yang meninggalkan shalat,” (HR. Tirmidzi; derajatnya: Hasan Shahih).

“Tarik al-Shalat” disebut “kafir”. Namun kafir yang menyebabkan “keluar” dari Islam (murtad) ataukah sebagi “murtakib al-kabirah” (pelaku dosa besar)? Di Indonesia, misalnya Ust. Sukino MTA, berpendapat bahwa “tarik al-Shalat” hukumnya kafir yang berkonsekwensi tidak saling menerima waris satu dengan yang lainnya.” Sedang Gus Baha’ berpendapat bahwa “tarik al-Shalat” tetap muslim, namun melakukan dosa besar “murtakib al-kabirah” yang tidak menyebabkan keluar dari Islam (murtad), sehingga dalam hal mawarits tetap berlaku hukum waris Islam.

Gus Baha’ melanjutkan, seperti dalam al-Qur’an pada ayat “kufur ni’mah”, juga disebut “kafartum”, namun orangnya tetap disebut muslim yang tidak keluar Islam. Jadi, “tarik al-Shalat”, “kufur ni’mah”, yang tidak mau zakat, tetap muslim, cuma masuk dalam kelompok “murtakib al-kabirah” (pelaku dosa besar). Bagi Gus Baha’, beda antara muslim dengan non muslim adalah Syahadat. Karena itu, dalam peristiwa “tarik al-Shalat” Imam Ahmad yang asalnya berpendapat sebagai kafir “kharij an al-millah” (keluar Agama), lalu berpendapat sebagai “murtakib al-kabirah” (pendosa besar) saja. Karena taubatnya orang yang meninggalkan shalat bukan syahadat kembali, namun cukup shalat lagi.

Yang pokok dalam hal Iman adalah Rukun Iman yang 6 (enam); sedang yang pokok dalam Islam adalah Rukun Islam yang 5 (lima). Semuanya sepakat, tidak ada yang ikhtilaf. lihyah panjang, qasyr al-syarib dibabat habis, tak berlihyah, syarib lebat, baju koko, baju jean, adalah “atribut” (‘aradl), bukan esensi, bukan mahiyah, bukan huwiyah. Orang masih mempertanyakan kaitannya dengan keislaman dan keimanan seseorang. Karena tidak ada jaminan bahwa lihyah panjang pasti Islamnya benar, dan yang tidak berlihyah Islamnya tidak benar. Tidak ada jaminan. Banyak pemain bola, seniman, penyanyi, dan profesi lainnya yang memelihara lihyah hingga panjang, dan syarib-nya dipangkas, tidak ada orang yang menyebutnya sebagai orang shalih, islamis, pengikut Sunnah. Bahkan ada seniman yang lihyah-nya panjang malah dituduh Yahudi.

Pengaku pengikut Sunnah pun, kadang pilih-pilih yang mau ditampilkan. Nabi itu berambut panjang, tetapi yang mengaku pengikut Sunnah, rambutnya malah dicukur pendek. Padahal para “pengikut” Sunnah mendefinisikan apa saja yang dilakukan Nabi, masuk kategori Sunnah dalam pengertian “nadb” (الندب), konsekwensinya, para seniman, rocker, dan anjal yang rambutnya panjang-panjang, juga pengikut Sunnah, karena memanjangkan rambut seperti nabi memanjangkan rambut?

Ramah (ada rasa kasih sayang kepada sesama) kepada orang lain, bermuka ceria, tidak muka masam, menebar salam (rasa aman kepada yang lain), berkata baik, mengajak kebaikan, meminimalisir keburukan, berkata benar kepada penguasa, adalah banyak diperintahkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, mengapa tidak menjadi topik pokok dalam kajian kelompok tertentu, justru ribut dalam masalah yang bersifat formalitas, bukan esensi.

Kepada yang lain yang bersifat furu’iyyah dan bukan bersifat ushuliyyah, disuarakan kencang-kencang dan lantang, namun demo mengkritik penguasa zhalim, yang jelas-jelas munkar, tidak pernah disuarakan, malah disuruh bersikap lemah lembut, dan “mendoakan” mereka. Sementara kepada yang lain, yang beda furu’iyyah bersuara lantang karena bisa menyesatkan (dlalalah) menurut mereka. Bukankah “asyidda’” itu kepada yang “kuffar”, penguasa zhalim pun “kafir” kepada prinsip keadilan, kan mungkar juga.

Orang Palestina yang jelas-jelas melakukan perlawanan (intifadlah) malah disuruh keluar dari tanah mereka dengan alasan “hijrah” karena perjuangan sudah tidak memungkinkan? Ijtihad yang khatha’ ini.

Kalau orang shaleh, pasti banyak mengerjakan sholat sunnah dan 5 yang wajib, pasti dikerjakan. Tak menjamin lihyah panjang dan cukur kumis selalu taat beragama.

Tak ada jaminan yang mengaku pengikut Sunnah pasti hafal al-Qur’an, namun yang hafal Qur’an, pasti dapat pahala Sunnah atas hafalan al-Qur’an dan bacaan yang dibacanya.

Tak ada jaminan bahwa yang tidak isbal itu pasti taat bergama, hafal Qur’an, khatam al-Qur’an tiap hari, tiga hari, satu pekan, dan seterusnya. Tak menjamin yang isbal pasti maksiat terus, tidak pernah baca al-Qur’an, tidak hafal al-Qur’an, tidak pernah shalat Sunnah Rawatib, tidak shalat Tahajjud, tidak puasa Senin-Kamis, dan lainnya.

Logika seperti di atas mirip dengan pernyataan, “Tidak ada jaminan bahwa santri pasti pandai baca Kitab Kuning, tetapi pasti orang yang pandai baca Kitab Gundul “alim” terhadap kitab-kitab Turats.”

Tidak ada jaminan bahwa orang yang pakai sarung adalah santri, namun kaum santri pasti berpakaian syar’iy.

Orang Jawa, Sumatera, Sulawesi, dll., yang pakai kopyah sebagai tanda muslim, tetapi tidak menjamin pasti shaleh, karena bandar judi pun ada yang pakai kopyah.

Tak ada jaminan bahwa yang berpakaian syar’iy berhati baik, berperilaku baik, dan kebaikan lainnya. Dan yang tidak berpakaian syar’iy pasti berperilaku penuh maksiat, penuh kemungkaran, tidak ada baiknya sama sekali. Nyatanya kata Hadits, “Ada pelacur masuk Surga karena memberi minum anjing yang haus. Dan ada yang masuk neraka karena mengurung kucing tanpa diberi makan dan minum.”

Banyak yang sibuk men-dlalalah-kan yang lain, mem-bid’ah-kan yang lain, lupa perasaan “ukhuwah islamiyyah” dan kemajemukan, namun lupa atau tidak berani mengkritik penguasa. Berani kepada tetangga, tidakberani kepada penguasa.

Ada juga yang sibuk wahaba-wahabi, radikal-radikul, keArab-Arab-an, jenggat-jenggot, lupa yang ushuli, aqidah ummat, sehingga banyak yang keluar Agama. Sibuk berteman dengan yang lain, lupa menyapa yang mengkritik keberagamaannya. “peka” terhadap kritik praktik keagamaan, tidak peka kalau ada pemurtadan.

Ada yang sibuk membuat Amal Usaha, lupa cara mendidik pengikut untuk mahir baca kitab turats, dan lupa membentengi AUM dan Muqarrarat Majelis Tarjihnya, yang penting Amal Usaha, hingga lupa mana yang anggota dan siapa yang mengisinya. Identitas banyak yang tinggal Tulisannya, penduduknya ternyata imigran gelap, baik baca Manaqib maupun yang sering baca “hafizhahullah”. Untung untuk urusan menjaga pemurtadadan, masih tetap kencang. Rumah tangga boleh bermasalah, tetapi menjaga aqidah saudara tetap jalan.

Rocky Gerung pernah menyatakan, “Ijazah adalah di antara tanda anda pernah bersekolah, tapi tidak menjadi tanda bahwa anda berfikir.” Berfikir tidak harus masuk ke gedung sekolah atau apapun termasuk tempat ritual. Nyatanya banyak yang menggunakan ijazah, agama, dan form lainnya, tidak pernah berfikir. Atribut sering digunakan untuk pembodohan, kamulflase, foya-foya, penyesatan, mendapatkan keuntungan finansial, jabatan, kenikmatan, dan insentif lainnya.

Berfikir adalah proses reasoning, bukan ngeblat, jiplak, copy, taqlid, dan sejenisnya. Anda copy, jiplak, taqlid, berarti anda sedang mencuri sesuatu milik yang lain. Ada desertasi yang dikerjakan orang lain, orang lain yang berfikir, bukan anda. Boleh jadi anda yang dapat ijazah, tetapi anda tidak melakukan resoning.” Jadi ijazah itu atribut, namun yang punya atribut belum tentu berfikir, apalagi yang atributnya palsu.

Al-Qur’an menjelaskan, Ada orang membawa permasalahan ke pengadilan, bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk mencaplok milik orang lain, kata Qur’an, “Wa tudlu biha ulal hukkam li ta’kulu amawal al-nas bi al-itsm” membawa ke pengadilan dalih untuk cari “makan”.

Banyak orang berkhutbah tentang kebenaran kata Qur’an, ada yang “Yasytaru bi ayat Allah tsamanan qalila” (jual ayat cari makan, kedudukan, pengaruh, dst) apalagi yang berkhutbah untuk mencari makan, tambah bobrok. Karena itu, jangan dikaitkan sesuatu yang sifatnya sebagai “’aradl” sebagai “jauhar”, “mahiyah”, “haqiqah” ataupun sebaliknya. Aksesoris dengan jism, Formalitas dengan esensi, jangan dicampur adukkan! Ada bedanya, ada diferensinya, ada fashl-nya.

Admin: Kominfo DDII Jatim

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *