SALING MENGINGATKAN DENGAN ADAB DAN HIKMAH

Oleh : Ust. Nur Adi Septanto, Anggota
Bidang Pembinaan Dai, KUB dan Dakwah Khusus DDII Jatim dan Humas Pesantren PERSIS Bangil

Dewandakwahjatim.com, Bangil – Menjadi seorang da’i bukan sekadar pandai berbicara di mimbar. Ia adalah sosok yang memikul amanah besar — menyampaikan risalah Allah, membina umat, dan memakmurkan masjid.


Namun di balik keilmuan dan tanggung jawab itu, seorang da’i tetaplah manusia. Tidak terlepas dari khilaf dan dosa. Maka dalam lingkaran dakwah, saling mengingatkan bukan hanya penting, tetapi juga harus dijaga adab dan hikmahnya.

  1. Da’i Adalah Manusia yang Tak Luput dari Khilaf
    Setiap manusia memiliki potensi salah. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda
    :

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi
no. 2499)

Seorang da’i yang berdakwah dengan niat tulus tidak menjamin dirinya sempurna.
Terkadang ada kekeliruan dalam ucapan, penafsiran, atau keputusan. Karena itu, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah bagian dari tanggung jawab sesama pendakwah.

  1. Prinsip Tabayyun Sebelum Menegur
    Dalam menghadapi isu atau kesalahan yang terdengar tentang seorang da’i, hendaknya tidak terburu-buru menilai apalagi menegur di ruang publik sebelum memahami duduk perkara yang sebenarnya.

Allah Ta‘ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini menjadi fondasi utama dalam adab menegur, terutama di zaman media sosial yang serba cepat menyebarkan kabar.
Fakta sepotong jangan langsung ditelan bulat-bulat, lalu dimuntahkan dalam bentuk teguran keras tanpa tabayyun.
Sebab teguran tanpa ilmu dan klarifikasi bisa melahirkan fitnah baru, sementara kebenaran yang utuh bisa jadi tidak seperti asumsi yang dibangun.

  1. Menegur dengan Rahmah, Bukan dengan Celaan
    Ketika sudah jelas adanya kekeliruan, cara menegur pun harus berlandaskan kasih sayang dan kehormatan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim no. 2699)

Imam Asy-Syafi’i رحمه الله berkata:

Barangsiapa menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar telah menasihatinya dan memperindahnya.
Namun barangsiapa menasihatinya di depan umum, maka ia telah mencelanya dan mempermalukannya.

  1. Mengakui Kesalahan dan Memohon Ampunan
    Ketika kesalahan memang nyata, sikap terbaik bagi seorang da’i adalah berani mengakui dan memperbaikinya.
    Sebab pengakuan dan taubat bukan tanda kelemahan, melainkan bukti keikhlasan dan ketakwaan
    .

Allah berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosanya.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 135)

Dengan demikian, seorang da’i yang bersalah dan segera memperbaiki diri adalah da’i yang sedang dididik Allah menuju derajat yang lebih tinggi.

  1. Menjaga Ukhuwah di Tengah Perbedaan
    Saling mengingatkan adalah bukti kasih sayang sesama mukmin, bukan permusuhan.
    Allah Ta‘ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Mā’idah [5]: 2)

Jika nasihat dilakukan dengan adab dan ketulusan, maka ukhuwah akan semakin kuat.
Sebaliknya, jika teguran dibumbui emosi dan kebencian, maka dakwah justru tercederai oleh konflik internal yang tidak perlu.

  1. Penutup: Menasihati dengan Cinta, Menerima dengan Lapang
    Saling menasihati dalam kebaikan adalah bagian dari ciri umat terbaik.
    Namun hendaknya nasihat disampaikan dengan cinta dan kejujuran, serta diterima dengan lapang dada dan rendah hati.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.”
Kami bertanya, “Untuk siapa?”
Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan seluruh kaum Muslimin.”
(HR. Muslim no. 55)

🌿 Hikmah Penutup
Setiap da’i adalah manusia yang sedang berjuang menegakkan cahaya di tengah gelapnya zaman.
Terkadang cahayanya redup karena kelelahan, terkadang tergelincir karena khilaf.
Di saat itulah, da’i lain hadir bukan untuk memadamkan cahaya saudaranya, tetapi untuk membantu menyalakannya kembali.

Maka mari saling menasihati dengan ilmu, dengan adab, dan dengan kasih.
Agar dakwah tetap hidup dengan hikmah, dan para da’i tetap bersatu dalam ridha Allah Ta‘ala.

Apakah Anda ingin versi ini saya ubah menjadi artikel buletin masjid (1 halaman A4, siap untuk dibagikan ke jamaah dan dai)? Saya bisa bantu menyesuaikan formatnya. da’i bukan sekadar pandai berbicara di mimbar. Ia adalah sosok yang memikul amanah besar — menyampaikan risalah Allah, membina umat, dan memakmurkan masjid.
Namun di balik keilmuan dan tanggung jawab itu, seorang da’i tetaplah manusia. Tidak terlepas dari khilaf dan dosa. Maka dalam lingkaran dakwah, saling mengingatkan bukan hanya penting, tetapi juga harus dijaga adab dan hikmahnya.

Da’i Adalah Manusia yang Tak Luput dari Khilaf

Setiap manusia memiliki potensi salah. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi no. 2499)

Seorang da’i yang berdakwah dengan niat tulus tidak menjamin dirinya sempurna.
Terkadang ada kekeliruan dalam ucapan, penafsiran, atau keputusan. Karena itu, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah bagian dari tanggung jawab sesama pendakwah.

Prinsip Tabayyun Sebelum Menegur

Dalam menghadapi isu atau kesalahan yang terdengar tentang seorang da’i, hendaknya tidak terburu-buru menilai apalagi menegur di ruang publik sebelum memahami duduk perkara yang sebenarnya.

Allah Ta‘ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.” (QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini menjadi fondasi utama dalam adab menegur, terutama di zaman media sosial yang serba cepat menyebarkan kabar.
Fakta sepotong jangan langsung ditelan bulat-bulat, lalu dimuntahkan dalam bentuk teguran keras tanpa tabayyun.
Sebab teguran tanpa ilmu dan klarifikasi bisa melahirkan fitnah baru, sementara kebenaran yang utuh bisa jadi tidak seperti asumsi yang dibangun.

Menegur dengan Rahmah, Bukan dengan Celaan

Ketika sudah jelas adanya kekeliruan, cara menegur pun harus berlandaskan kasih sayang dan kehormatan.

Admin: Kominfo DDII Jatim

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *