Dakwah dan Donasi: Antara Idealisme dan Fakta

Oleh : Ust. Nur Adi Septanto, Anggota
Bidang Pembinaan Dai, KUB dan Dakwah Khusus DDII Jatim dan Humas Pesantren PERSIS Bangil

Dewandakwahjatim.com, Bangil – Dakwah adalah panggilan yang suci, tetapi dunia tempat dakwah berpijak tidak selalu sesuci niatnya. Di satu sisi, dakwah menuntun manusia menuju keikhlasan; di sisi lain, realitas zaman menyeretnya pada kebutuhan material yang tak bisa dihindarkan. Maka di sinilah letak ujian besar para da’i masa kini: bagaimana menjaga kemurnian niat di tengah derasnya arus kebutuhan dan sistem yang menuntut segalanya dengan angka.

Ketika Amal Saleh Bertemu Strategi Marketing

Fenomena dakwah menggalang donasi kini menjadi pemandangan lumrah di media sosial. Setiap pekan, kita menyaksikan video seorang ustadz, aktivis, atau lembaga da’wah yang memohon dukungan dana untuk pesantren, masjid, anak yatim, atau misi sosial umat. Secara prinsip, tidak ada yang keliru. Bahkan, Rasulullah ﷺ pun menerima bantuan dan hadiah dari sahabat untuk kepentingan da’wah.
Namun, yang menggelisahkan bukanlah pada niatnya, melainkan pada caranya.
Ketika dakwah mulai diatur dengan strategi marketing, ketika video sedekah harus dikemas dramatis, ketika angka donasi menjadi tolok ukur keberhasilan dakwah—di situlah muncul tanda tanya: masihkah ini da’wah yang berorientasi akhirat, atau sudah berubah menjadi kompetisi duniawi?

Apakah kebaikan harus ditampilkan agar dianggap nyata? Atau justru kebaikan sejati ialah yang tetap bekerja dalam senyap, tanpa perlu disorot kamera?
Antara Keperluan dan Ketergantungan
Dakwah tentu memerlukan biaya. Tidak semua da’i hidup dalam kenyamanan finansial. Ada masjid yang butuh renovasi, santri yang perlu makan, dan kegiatan sosial yang mesti berjalan. Tetapi di sisi lain, terlalu sering bergantung pada donasi justru dapat mengikis kemandirian da’wah itu sendiri.
Ketika lembaga da’wah lebih sibuk mencari sponsor ketimbang menyiapkan kader, ketika rapat lebih membahas target fundraising daripada target pembinaan umat, maka ruh da’wah mulai tergantikan oleh semangat proyek.

Dari idealisme “menyeru kepada kebaikan”, dakwah bergeser menjadi “mengelola pasar kebaikan”.
Dan pada titik itulah, da’wah bisa kehilangan wibawa spiritualnya.
Fitnah di Balik Amal yang Tergantung pada Uang
Tidak sedikit kisah getir tentang lembaga da’wah yang retak karena persoalan dana.

Donasi yang seharusnya menjadi sarana ukhuwah, justru menimbulkan fitnah.
Ada yang berselisih karena dana tidak transparan, ada yang tergoda memperkaya diri, bahkan ada yang menjadikan donasi sebagai alat politik.
Padahal Allah telah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu menjadikan sedekahmu batal karena menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264)

Makna ayat itu lebih dalam dari sekadar etika memberi. Ia mengajarkan bahwa amal saleh bisa rusak bukan karena sedikitnya jumlah, tapi karena cacatnya niat.
Menjaga Ruh Ikhlas di Tengah Dunia yang Materialistis
Zaman ini memaksa da’i untuk melek teknologi, kreatif, dan komunikatif. Namun, di tengah kebutuhan itu, satu hal tidak boleh tergadai: ikhlas lillāh.

Karena ikhlas tidak bisa ditukar dengan sponsor, tidak bisa dibayar dengan followers.
Dakwah harus tetap berjalan dengan prinsip “mengandalkan Allah, bukan mengandalkan manusia.” Sebab, ketika da’wah bergantung pada manusia, ia mudah kecewa; tapi ketika da’wah bergantung pada Allah, ia akan selalu tumbuh — bahkan dalam keterbatasan.

Menuju Kemandirian dan Keberkahan Da’wah

Kemandirian finansial bukan berarti menolak donasi, tetapi membangun sistem yang tidak membuat da’wah tergantung pada belas kasihan publik.
Kemandirian artinya menjadikan kerja keras, produktivitas, dan transparansi sebagai bagian dari ibadah.
Lembaga da’wah harus menumbuhkan ekonomi berbasis umat: koperasi, usaha halal, produk pendidikan, atau jaringan usaha sosial. Dengan begitu, da’wah tetap berdiri di atas kaki sendiri tanpa kehilangan kehormatannya.

Seperti pesan Umar bin Khattab ra:
“Aku lebih suka melihat seorang mukmin yang letih karena bekerja, daripada yang malas dengan alasan tawakal.”

Menyucikan Kembali Niat di Jalan Da’wah

Dakwah yang sejati tidak pernah kehilangan kesederhanaannya.
Ia bukan tentang jumlah donasi, melainkan tentang hati yang bergetar karena iman.
Ia bukan tentang siapa yang paling kaya memberi, tapi siapa yang paling tulus memberi.

Jika suatu hari dunia menilai keberhasilan dakwah dari angka dan pamor, maka biarlah Allah yang menilai dari air mata dan keikhlasan.

Karena sesungguhnya, bukan donasi yang menyelamatkan dakwah,
tetapi keikhlasan yang menyelamatkan para da’i.

Admin: Kominfo DDII Jatim

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *