Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – ”Tragedi September” pada judul tulisan ini adalah Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada dua kejadian yang sangat memilukan. Pertama, pada 18 September 1948 di Madiun. Kedua, pada 30 September 1965 di Jakarta.
Atas dua peristiwa yang menyakitkan itu, kita tak boleh melupakannya. Kita mesti tetap mengingatnya, bahwa PKI sangat berbahaya. Bahwa, PKI menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Di titik ini, makin nyata bahwa belajar sejarah sangat penting.
Jalan Al-Qur’an
Posisi sejarah atau kisah, dalam Islam, termasuk utama. Oleh karena itu, rajinlah menyimak sejarah. Ambil pelajaran dari semua lembar sejarah. Terkait, ini pesan Al-Qur’an: ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS Yusuf [12]: 111).
Pahamilah segenap aspek kisah. Khusus di Al-Qur’an, sekitar sepertiga isinya tentang kisah (Fahmi Salim, Petunjuk Manusia Pilihan, 2025: xiii). Bahkan, Surat ke-28 Al-Qur’an bernama Al-Qashash (Kisah).
Di Al-Qur’an, ada kisah Rasul-Rasul Allah. Cermatilah ayat ini: ”Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud [11]: 120).
Di Al-Qur’an, antara lain, ada kisah Nabi Musa As yang teguh berdakwah dan Fir’aun penguasa yang zalim. Simaklah ayat ini: ”Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman” (QS Al-Qashash [28]: 3).
Juga, ada kisah golongan yang ingkar, antara lain kaum ’Ad. Cermatilah ayat ini: ”Dan itulah (kisah) kaum ’Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai Rasul-Rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran)” (QS Huud [11]: 59).
Apapun, sampai di Hari Akhir, di dunia selalu ada orang baik dan orang tak baik. Di dunia yang seperti itu, kita diminta untuk aktif berdakwah. Salah satunya, lewat titah di ayat ini: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Ali ’Imraan [3]: 104).
Hitam di 1948
”Jangan Lupakan Sejarah PKI Membantai Umat Islam”. Demikian, judul sebuah tulisan di www.republika.co.id edisi 30 September 2020. Di situ, disebutkan bahwa meletusnya peristiwa Madiun pada 18 September 1948 merupakan usaha untuk mewujudkan Negara Komunis Indonesia. Dengan berbagai aksi yang dilancarkan kepada rakyat Madiun, kemudian gerak pendukung PKI berhasil menduduki wilayah-wilayah di sekitar Madiun seperti Magetan, Ponorogo, dan beberapa daerah lainnya.
Kita perhatikan buku K.H. Imam Zarkasyi; Dari Gontor Merintis Pesantren Modern (2016: 143-150). Di situ, antara lain, digambarkan situasi Madiun pada 18 September 1948. Bahwa, sekitar pukul 02.00, api pemberontakan PKI mulai berkobar. Terjadilah banyak kekejaman. Banyak yang dibunuh dan tampaknya dengan cara disembelih. Ada pula yang disiksa, dicincang, disayat-sayat, ditembak jarak dekat, atau bentuk penganiayaan lainnya.
Siapa korbannya? Mereka adalah orang-orang yang tidak sehaluan dengan PKI. Korban-korbannya adalah para kiai, guru-guru pesantren, tokoh-tokoh Masyumi, Tentara Pelajar, pegawai yang setia kepada pemerintah pusat, dan sebagainya.
Aksi perusakan juga dilakukan PKI. Ratusan rumah dan beberapa gedung di Madiun dibakar. Sejumlah jembatan, rel kereta api, dan jalan raya dihancurkan.
Kita bersyukur, pemberontakan itu cepat dapat dipatahkan. Di Koran Sin Po edisi 6 Oktober 1948 ada catatan M. Natsir. Bahwa, kata Natsir-pemimpin asal Solok Sumatera Barat itu-, tragedi di Madiun tersebut adalah noda paling besar dalam sejarah Indonesia. Kekejaman orang-orang itu telah menginjak-injak moral dan Undang-Undang. Apapun, masih menurut Natsir, kebenaran dan keadilan akan menang meski untuk itu perlu pengorbanan yang tak kecil (https://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-4-akhir-dari-pemberontakan/).
Ungkapan Natsir bahwa kebenaran dan keadilan akan menang meski untuk itu perlu pengorbanan yang tak kecil adalah pesan dakwah yang kuat. Setidaknya, kita lalu menjadi ingat terhadap dua ayat berikut ini:
Pertama, ”Dan katakanlah: ’Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap’. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap’.” (QS Al-Israa’ [17]: 81). Kedua, ”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta-benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS At-Taubah [9]: 20).
Kelam di 1965
Setelah 1948, PKI kembali membikin tragedi pada 1965. Mari ikuti ulasan Hamka di buku Dari Hati ke Hati. Bahwa, gagal di 1948, PKI berusaha lagi hendak menghapus dan membasmi pengaruh Laa ilaaha illallaah – Allahu Akbar dengan mengadakan Gerakan 30 September 1965.
Kala itu, enam jenderal mereka bunuh secara keji. Istana mereka kuasai dan tempat-tempat penting mereka duduki. Namun, saat kelam itu tak berlangsung lama. Mereka berkuasa sejak pukul 03.00 tapi pada pukul 15.00 pada 1 Oktober 1965 gerakan mereka telah dipatahkan (Hamka, 2016: 239).
Siapa enam jenderal yang dibunuh secara zalim oleh PKI? Mereka adalah: 1).Jenderal Ahmad Yani. 2).Mayjen R. Suprapto. 3).Mayjen M.T. Haryono. 4).Mayjen S. Parman. 5).Brigjen D.I. Panjaitan. 6).Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Di samping itu, ada juga yang turut terbunuh yaitu Letnan Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal A.H. Nasution.
Bertumpu Iman
Pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, cepat bisa ditumpas. Pemberontakan PKI di Jakarta pada 1965, lebih cepat lagi penumpasannya. Apa sumber semangat dan kekuatan dari bangsa ini dalam menjalankan amanah seperti merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menumpas PKI?
Tentang ini, Hamka menulis: “Dengan iman Laa ilaaha illallaah, Sultan Agung Honyokrokusumo mendirikan Kerajaan Mataram, Sultan Hasanuddin mendirikan Kerajaan Banten, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam mendirikan Kerajaan Aceh. Allahu Akbar. Dengan kekuatan Laa ilaaha illallaah – Allahu Akbar inilah kita mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945. ….. Laa ilaaha illallaah – Allahu Akbar itulah yang membangkitkan jiwa Pahlawan 10 November 1945 di Surabaya” (2016: 238-239).
Perhatikan ungkapan Hamka di atas, yang intinya, kekuatan iman dapat menghantar kita meraih posisi yang mulia di hadapan Allah. ”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad [47]: 7).
Sebuah Kepastian
Kekejaman PKI kapanpun tak boleh kita abaikan. Misal, terutama di setiap September, tetap perlu kita ungkap pengkhianatan mereka saat memberontak pada 1948 dan 1965. Teruslah kita baca dan mengambil pesan dari sejarah.
Alhasil, sungguh bermanfaat jika kita juga membaca ulang catatan Natsir dan Hamka di seputar kisah mengapa bangsa ini selamat dari berbagai persoalan besar termasuk di saat menghadapi PKI. Dengan itu, kita bisa mengambil pelajaran. Bahwa, iman kepada Allah harus menjadi hal paling pokok dalam usaha menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. []
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Sudono Syueb