Sadar: Aktivasi Ṣadr, Eling dalam Batin

Oleh Muhammad Hidayatulloh, Ketua Bidang PSQ DDII Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Kata sadar yang kita ucapkan sehari-hari mungkin tampak biasa. Tapi bila ditarik ke akar bahasanya, ia bersambung dengan kata Qur’ani yang sakral: ṣadr (صدر). Ṣadr bukan sekadar dada biologis, ia adalah ruang batin, samudra sunyi tempat seluruh rahasia manusia disimpan.

Dari sinilah kata sadar menemukan makna terdalamnya: aktivasi ṣadr, saat ruang batin terbuka, lapang, dan terisi cahaya kesadaran.

Ṣadr: Lahan yang Menentukan

Allah berfirman:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلَامِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk, Dia lapangkan ṣadr-nya untuk (menerima) Islam.” (QS. Al-An‘ām: 125).

Di sini, ṣadr adalah lahan. Bila Allah melapangkannya, ia menjadi sawah yang subur, siap ditanami benih iman. Dari lahan inilah tumbuh kesadaran: menyadari siapa kita, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali.

Maka, sadar = saat ṣadr dilapangkan oleh cahaya Ilahi.

Sadar vs Lupa

Lawannya adalah ghaflah—lalai, lupa, tidak sadar.
Ṣadr yang sempit, gelap, penuh bisikan setan, akan menolak cahaya. Di sinilah lahir kesempitan hidup, kecemasan, gelisah, bahkan keras kepala menolak kebenaran.

Sadar berarti bangun dari kelalaian. Ia bukan sekadar membuka mata, tapi membuka batin. Ia bukan sekadar “tidak pingsan”, tapi eling: ingat Allah, ingat tujuan hidup, ingat akhirat.

Ṣadr: Arena Perang Kesadaran

Ṣadr adalah arena perang sunyi.

Di satu sisi ada cahaya Allah, hidayah, dzikir.

Di sisi lain ada bisikan setan, waswas, hawa nafsu.

Ketika ṣadr aktif, manusia bisa sadar, bisa menolak bisikan, bisa memilih jalan cahaya. Tapi ketika ṣadr mati rasa, manusia berjalan bagai zombie: hidup tapi tanpa kesadaran, sibuk tapi kosong, bergerak tapi tak tahu arah.

Sadar = Revolusi Batin

Maka sadar bukan hanya kata kerja pasif, tapi revolusi batin.

Sadar itu berani menoleh ke dalam, melihat isi ṣadr kita: apakah lapang atau sempit, bercahaya atau gelap?

Sadar itu berani melawan autopilot hidup, mengganti mode lalai dengan mode eling.

Sadar itu berani memilih: apakah ṣadr kita akan jadi taman cahaya atau sarang bisikan.

Sadar sebagai Jalan Pulang

Pada akhirnya, sadar adalah gerbang pulang kepada Allah. Ketika ṣadr kita lapang, kita bisa melihat jelas jalan menuju-Nya.

Sadar berarti kita kembali menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar tubuh yang bergerak, tapi jiwa yang eling.


Sadar berarti kita mengaktifkan ṣadr, ruang batin yang Allah titipkan untuk menjadi kompas hidup.
Dan sadar berarti kita siap menyambut hari ketika semua rahasia ṣadr dibongkar:
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ
“Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thāriq: 9).

Jadi, sadar = aktivasi ṣadr. Dari sekadar dada biologis, ia menjelma menjadi ruang spiritual tempat hidayah bersemayam, tempat rahasia tersimpan, tempat bisikan diuji. Dan ketika kita sadar, sebenarnya kita sedang membuka pintu itu, membiarkan cahaya Allah memenuhi seluruh ruang batin.

Admin: Komimfo DDII Jatim

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *