Oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padang Makhsyar
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Di tengah kehidupan ulama hedonitik, pragmatis-materialistik. Ke empatnya adalah simbol keteladanan, kesederhanaan dan kesahajaan.
Para ulama berkata: Lihat adabnya sebelum ambil ilmunya.
Sayidah Aisyah ra memberitakan:
Ketika ditanya mengenai aktivitas Nabi Muhammad saw. di rumah, Sayyidah Aisyah ra menjawab bahwa beliau saw membantu pekerjaan keluarganya, termasuk menjahit pakaian dan menambal sandal.
^^^^
Jarak antara kita dan Nabi saw makin menjauh — keteladanan Nabi saw makin samar terdengar bahkan perlahan menghilang. Beberapa ada yang berhasil menggenggam sunah di gigi geraham, beberapa yang lain terlepas hilang kian menjauh.
Seorang teman sampai berfatwa minimalis: Sibukkan mulutmu dengan camilan. Agar mulutmu tersibukkan dari ghiba’,. Mungkin terdengar klise tapi antum yang sok alim tak perlu berkata apapun sebab jidad gosong dan celana cingkrang tidak menjaminmu menjadi orang baik, bagiku antum sama saja dengan yang lain bahkan tak lebih baik.
Kesahajaan bukan hanya pada soal harta — bahkan cara kita dalam menyembah Gusti Allah Yang Ahad. Nabi saw juga tak suka dengan cara menyembah yang berlebih-lebihan: ghuluw.
Makan dan minum tangan kiri adalah hal yang biasa dilakukan awam tapi tidak bagi ulama. Maka ulama tak boleh melanggar yang makruh meski diperbolehkan. Bahkan Imam Bukhari tidak mengambil hadits dari ulama yang bermain dengan membohongi kambing semata menjaga keterpercayaan (tsiqah) periwayatannya tetap terjaga. Apalagi ada yang mengaku ulama tapi bersuara keras, kasar dan buruk seperti suara keledai, Disinilah beratnya.
Kemudian berlaku kaidah : wira’i atau wara’. Menjaga diri dari hal-hal makruh. Jika makruh saja tak boleh apalagi yang haram. Cak Nun menulis bagus: Slilit Sang Kyai,
^^^
Tak ada halangan untuk menjadi kaya, sebab kaya adalah karunia, tapi memamerkan kekayaan di tengah kemelaratan adalah pengkhianatan terhadap sunah.
Tidak mengapa perut kenyang, tetapi kenyang ketika tetangga dalam keadaan lapar menjadi penyebab dicabutnya iman.
Abdurrahman bin Auf menangis ketika disajikan roti halus karena teringat kesengsaraan Mush’ab bin Umair, seorang sahabat yang meninggal tanpa memiliki kafan yang cukup dan lebih baik darinya, namun tanpa beban duniawi.
Tangisannya juga karena khawatir kebaikan dan pahala amal shalihnya justru disegerakan di dunia dalam bentuk kekayaan, sementara Rasulullah saw dan keluarganya wafat dalam keadaan belum pernah makan kenyang selama tiga hari berturut-turut.
^^^
Lantas apakah ulama tak boleh kaya ?
Kyai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah bernasehat bagus:
‘Bekerjalah sekeras-kerasnya. Kumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Pergunakan untuk keluargamu secukupnya. Sisanya buat perjuangan Islam .. ..’.
Ulama boleh bahkan dianjurkan kaya, tapi bukan untuk ditumpuk atau dipamerkan .. ‘.
Sumber: @nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyat
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Sudono Syueb