Kulminasi Ganda sampai Profetik

Oleh: Paman APiQ, Alumni ITB, Bandung. Asal Tulungagung dan kini tunggal di Bandung

Dewandakwahjatim.com, Bandung – Peradaban Barat mengalami kulminasi ganda: Plato sampai Hegel; dan Parmenides sampai Severino. Mereka perlu mencari solusi dari problem dua kulminasi ini. Sementara peradadaban Timur mengalami profetik dari ajaran para Nabi sampai kepada para wali. Para Nabi dan para wali saling menguatkan ajaran-ajaran mereka; demikianlah profetik. Sedangkan jalur kulminasi, pemikir masa kini mengkritik pemikir masa lalu; tiba gilirannya, pemikir masa kini juga menjadi sasaran kritik oleh pemikir masa depan. Mengapa demikian?

  1. Plato sampai Hegel
  2. Parmenides sampai Severino
  3. Ibnu Arabi dan Ibnu Rusyd
  4. Pragmatisme Profetik
  5. Diskusi

Jalur kulminasi pertama adalah dari Plato (429 – 347 SM) sampai memuncak di Hegel (1770 – 1831). Perjalanan dimulai dari bumi; yaitu manusia yang mampu berpikir ingin menggapai langit melalui pikirannya. Seperti kita tahu bahwa pikiran manusia tidak sempurna; selalu ada kritik dari pemikiran yang lebih baru. Sampai tiba puncaknya di Hegel bahwa semua kritik, semua kontradiksi, dirangkul oleh spirit absolut yang terbang ke langit. Kita mencapai kulminasi bersama Hegel.

Kulminasi kedua mulai dari Parmenides (abad 6 SM) sampai berpuncak di Severino (1929 – 2020). Perjalanan dimulai dari langit; hanya ada realitas Esa yaitu Wujud sejati. Kemudian Wujud ini bermanifestasi, atau tajalli, dalam realitas bumi. Tentu saja, realitas bumi sering terjadi perubahan; datang dan pergi; terjadi saling kritik. Puncaknya, Severino menyatakan tidak ada yang datang mau pun pergi. Wujud adalah abadi. Datang dan pergi itu hanya ilusi; sekedar penampakan belaka.

Di Timur, termasuk Indonesia, kita mengenal para wali misal Walisongo. Dan masih banyak wali-wali lain yang ajaran mereka saling menguatkan. Ibnu Arabi bertanya: mengapa para filsuf saling mengkritik sedangkan para wali saling menguatkan? Para wali adalah penerus para Nabi: profetik.

  1. Plato sampai Hegel

Dari Plato sampai Hegel terpisah jarak sekitar 2200 tahun. Umat manusia saling belajar, saling kritik secara rasional, untuk mencapai kulminasi. Ketika tiba di puncak kulminasi maka apa yang terjadi? Yang terjadi adalah kesadaran bahwa kulminasi rasional itu penting tetapi tidak cukup. Lalu, apa yang kita perlukan?

1.1 Kulminasi Hegel

SEP meringkas inti pemikiran Hegel dengan sangat baik:

“This epistemological account presented in the Phenomenology of how the very possibility of discursive/conceptual knowledge is based in an original identity of opposites or a subject-object unity/identity becomes metaphysical/ontological implications because of the conviction Hegel shares with the other post-Kantian idealists that knowledge is a real relation. By this he and his idealistic allies mean (a) that knowledge is a relation between real relata and (b) that knowledge is real only if the relata are real. This conviction puts constraints on how to conceive of this unity/identity when it comes to its content (in a metaphorically analogous way in which, say, in propositional logic a semantics puts constraints on the interpretation of its syntax). This unity/identity established as the basis of knowledge has to meet (at least) two conditions. First of all it has to be such that the subject-object split can be grounded in it and secondly it must allow for an interpretation according to which it is real or has being (Sein). These conditions function as constraints on how to conceive of subject-object-unity/identity because they specify what can count as an acceptable interpretation (a semantics) of an otherwise purely structural item (a syntactic feature). Without meeting these two conditions all we have by now (i.e., at the end of the Phenomenology) is a claim as to the grounding function of a unity/identity of subject and object structure (a syntactic item) that is still lacking an interpretation as to the content (the semantic element) of all the terms involved in that structure.


It is by providing an interpretation to the unity/identity structure that Hegel arrives at a defense of idealism in a non-oppositional sense. Put somewhat distant from his terminology but relying heavily on his own preliminary remarks on the question “With What must the Beginning of Science be made?” in the Science of Logic, his line of thought can be sketched roughly thus: the Phenomenology has demonstrated that knowledge can only be realized if it establishes a relation between real items. These items have to be structurally identical. Realized or “real” knowledge (wahres Wissen) in contradistinction to opinion/defective knowledge (what Hegel calls “false knowledge”) is a discursive/conceptual relation that can only be established by thinking. Hence if there is knowledge thinking must be real, must have being (Sein haben). Now, thinking is an objective, a real activity in the sense that it gives rise to determinations that constitute both the subject and the object. Because it is a discursive/conceptual activity its reality/objectivity implies that what is constituted by it, i.e., the subject and the object have to be conceived of as discursive/conceptual structures whose reality/being just consists in nothing else than their being thought—not their being the object of thought. Conceived of that way thinking not only fulfills the two conditions mentioned above (i.e., it grounds the subject-object divide and it is real, has being), it is at the same time the only candidate to satisfy them (because there is no other discursive/conceptual activity available). Therefore, in order to account for a discursive/conceptual model of reality one has to start from the identity of thinking and being or from the fact that only thinking is real.


From this argument as to the sole reality of thinking, it is easy to derive a new conception of idealism that is not subject to the objections mentioned above that Hegel raised against (what were, in his eyes) the one-sided attempts by his fellow post-Kantians, in particular Fichte and Schelling.”

“Pandangan epistemologis yang dikemukakan dalam Phenomenology menunjukkan bahwa kemungkinan pengetahuan diskursif atau konseptual bergantung pada adanya kesatuan antara subjek dan objek, atau identitas dari hal-hal yang tampaknya berlawanan. Pandangan ini lalu berkembang menjadi implikasi metafisis atau ontologis karena keyakinan Hegel—yang ia bagikan dengan para filsuf idealis pasca-Kant lainnya—bahwa pengetahuan adalah suatu relasi yang nyata.


Yang dimaksud dengan “relasi yang nyata” adalah dua hal:

Pengetahuan adalah hubungan antara dua hal nyata.
Pengetahuan hanya benar-benar ada jika hal-hal yang terlibat dalam hubungan itu juga nyata; termasuk hubungan itu sendiri harus nyata.
Keyakinan ini memberi batasan pada bagaimana kita bisa memahami kesatuan antara subjek dan objek, mirip seperti bagaimana dalam logika proposisional, makna (semantik) membatasi bagaimana simbol (sintaks) dapat ditafsirkan.

Kesatuan atau identitas subjek-objek yang menjadi dasar pengetahuan harus memenuhi dua syarat:


(1) Ia harus bisa ditafsirkan sebagai sesuatu yang nyata atau memiliki keberadaan (Sein).

(2) Ia harus dapat menjelaskan bagaimana perbedaan antara subjek dan objek bisa muncul darinya.

Kedua syarat ini menjadi batasan penting dalam memahami kesatuan subjek-objek karena keduanya menentukan apakah penafsiran tersebut dapat diterima. Jika kedua syarat ini tidak terpenuhi, maka yang kita miliki hanyalah sebuah klaim bahwa kesatuan itu menjadi dasar struktur pengetahuan, tanpa adanya isi atau makna yang menjelaskan bagaimana struktur tersebut bekerja.


Dengan memberikan penafsiran terhadap struktur kesatuan subjek-objek ini, Hegel sampai pada pembelaan terhadap idealisme dalam bentuk yang tidak bersifat oposisional (tidak memperlawankan subjek dan objek).

Meskipun agak berbeda dari istilah aslinya, dengan merujuk pada pendahuluan Hegel dalam Science of Logic (“Dengan Apa Ilmu Harus Dimulai?”), alur pemikirannya dapat diringkas sebagai berikut:

Phenomenology telah menunjukkan bahwa pengetahuan hanya bisa diwujudkan jika ada hubungan antara hal-hal yang nyata, dan hal-hal ini harus memiliki struktur yang sama atau identik. Pengetahuan yang sejati (wahres Wissen), berbeda dengan pendapat atau pengetahuan yang keliru (false knowledge), adalah hubungan diskursif/konseptual yang hanya bisa dibentuk melalui aktivitas berpikir.


Oleh karena itu, jika pengetahuan memang ada, maka berpikir haruslah sesuatu yang nyata—berpikir harus memiliki keberadaan (Sein haben).

Berpikir adalah aktivitas objektif yang nyata karena ia membentuk penentuan-penentuan (determinations) yang menjadi dasar bagi keberadaan subjek dan objek. Karena ia adalah aktivitas diskursif/konseptual, maka realitas dari subjek dan objek juga harus dipahami sebagai struktur diskursif/konseptual yang keberadaannya tidak lain adalah karena mereka dipikirkan—bukan sekadar menjadi objek dari pikiran.

Dengan cara memahami berpikir seperti ini, berpikir tidak hanya memenuhi dua syarat tadi (yakni, sebagai dasar perbedaan subjek-objek dan sebagai sesuatu yang nyata), tetapi juga menjadi satu-satunya hal yang bisa memenuhinya, karena tidak ada aktivitas diskursif/konseptual lain yang tersedia.


Oleh karena itu, untuk menjelaskan model realitas yang bersifat konseptual/diskursif, kita harus mulai dari identitas antara berpikir dan keberadaan—yaitu bahwa hanya berpikirlah yang benar-benar nyata.

Dari argumen ini mengenai kenyataan berpikir sebagai satu-satunya realitas, kita dapat menyusun suatu bentuk idealisme baru, yang tidak lagi rentan terhadap kritik yang sebelumnya Hegel tujukan kepada para idealis pasca-Kant lainnya, terutama Fichte dan Schelling, yang menurut Hegel masih satu sisi dan belum utuh.”

1.2 Kritik Kulminasi


Pippin menganalisis Hegel berdasar pemikiran Heidegger dalam buku The Culmination:

“Heidegger’s interpretation and critique of Hegel’s Science of Logic in his Identity and Difference was partly an attempt to explain why he thinks that project, which for many readers remains one of the most baffling and unusual texts in philosophy, actually successfully represents the core of the rationalist enterprise in philosophy and shows us its culmination. He means both that it is the most consistent and so successful realization of that “core”— a science of pure thinking that is a science of being— and by being that reveals what has always been “unthought,” what cannot be thought within that tradition, the meaning of Being, the most important issue in metaphysics and forever unavailable to any form of discursive rationality. One of the main issues was the idea of the finitude of pure thinking— or, in Hegel’s case, the denial of finitude for pure thinking (the beginning of the Logic is supposed to be presuppositionless). As emphasized before, throughout his various treatments Heidegger clearly does not mean by such an appeal to fi nitude and so to the limitations of pure thinking to open any doors to an empirical- psychological or neurological or historical materialist interpretation of that fi nitude. Th at is not the dependence and finitude he wants to illuminate. Heidegger clearly agrees with what Hegel would say: that even that sort of appeal must fall within Hegel’s attempted account of the conceptual moments of possible determinacy, cannot coherently be conceived “outside” it. (Materialism is a philosophical not an empirical claim; it is another moment of logos.) And they are all also simply further examples of the thoughtless assumption that the meaning of being is standing presence. Th is is the same claim Kant made about the pure concepts of understanding and the pure forms of intuition. Th ey are not subject to empirical disconfirmation, and our main contrast with Hegel was Heidegger’s Kant interpretation. Besides exploring the dimensions of any claim to articulate the role of pure thinking in the possible availability of beings, we did this in order to begin to discuss the issue always raised when he discusses German Idealism, finitude, and the priority of logic. Having seen the details of that interpretation, we can now raise further questions about Heidegger’s critique of Hegel.”


“Penafsiran dan kritik Heidegger terhadap karya Hegel Science of Logic, yang ia sampaikan dalam tulisannya Identity and Difference, sebagian merupakan upaya untuk menjelaskan mengapa ia berpandangan bahwa proyek Hegel tersebut—yang bagi banyak pembaca merupakan salah satu teks paling membingungkan dan tidak biasa dalam filsafat—sebenarnya justru secara berhasil mewakili inti dari proyek rasionalisme dalam filsafat, dan sekaligus menunjukkan titik puncaknya.

Menurut Heidegger, Science of Logic adalah bentuk realisasi yang paling konsisten dan berhasil dari inti proyek tersebut, yakni: sebuah ilmu tentang pemikiran murni yang sekaligus adalah ilmu tentang ada (being). Dan justru karena itulah, karya tersebut sekaligus juga memperlihatkan kepada kita apa yang selama ini belum pernah dipikirkan (yang “tak terpikirkan”) dalam tradisi itu—yakni makna Being itu sendiri, persoalan paling mendasar dalam metafisika, yang tetap tidak bisa dijangkau oleh bentuk rasionalitas diskursif apa pun.


Salah satu isu utama yang dibahas adalah soal keterbatasan (finitas) dari pemikiran murni—atau dalam kasus Hegel, penolakan terhadap keterbatasan tersebut. Hegel memulai Logic dengan klaim bahwa pemikirannya tidak memiliki prasangka atau asumsi awal (presuppositionless). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Heidegger tidak bermaksud, melalui penekanannya pada keterbatasan pemikiran murni, untuk membuka ruang bagi pendekatan empiris seperti psikologi, neurologi, atau materialisme historis. Bukan jenis keterbatasan itu yang ingin ia soroti.

Heidegger justru setuju dengan Hegel bahwa pendekatan-pendekatan tersebut pun, jika mau dikaji secara filosofis, tetap harus berada dalam kerangka pemikiran konseptual yang dibangun Hegel. Pendekatan tersebut tidak bisa secara koheren dipahami sebagai sesuatu yang berada “di luar” kerangka itu. (Materialisme sendiri, dalam pandangan ini, bukan klaim empiris, melainkan klaim filosofis; ia hanyalah salah satu momen lain dari logos).


Menurut Heidegger, semua pendekatan yang disebutkan di atas hanya menunjukkan asumsi yang tidak dipertanyakan bahwa makna being adalah “kehadiran” atau “keberadaan yang berdiri tetap” (standing presence). Ini sama seperti yang dikritik oleh Kant terhadap konsep-konsep murni dari pemahaman dan bentuk-bentuk intuisi murni: mereka tidak tunduk pada penolakan melalui data empiris. Perbedaan utama antara Hegel dan Heidegger dalam hal ini terletak pada bagaimana Heidegger menafsirkan Kant.

Dalam upaya memahami bagaimana pemikiran murni berperan dalam membuat being dapat dipahami, Heidegger ingin memperjelas persoalan-persoalan yang selalu muncul ketika ia membahas Idealism Jerman, keterbatasan (finitas), dan prioritas logika. Setelah memahami rincian dari penafsiran Heidegger terhadap Hegel, kini kita bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut mengenai kritik Heidegger terhadap Hegel.”

  1. Parmenides sampai Severino

Parmenides adalah orang bijak yang sudah sangat tua ketika Socrates yang sangat muda menemuinya. Terbentang waktu sekitar 2500 tahun dari Parmenides sampai Severino. Sejatinya, Parmenides selalu bertahan di posisi kulminasi dengan keyakinan bahwa hanya Wujud Sejati Esa yang Maha Abadi. Tetapi Plato, dan Aristo, menunjukkan beragam keragaman nyata di bumi ini. Murid Parmenides tidak mudah merespon tantangan Plato. Sampai akhirnya, Severino menjawab semua problem Plato di abad 20 dengan tuntas. Apa yang ditemukan di puncak kulminasi? Kulminasi rasional memang tidak cukup meski kita membutuhkannya.

  1. Ibnu Arabi dan Ibnu Rusyd

Ibnu Arabi muda (1165 – 1240) bertemu dengan Ibnu Rusyd tua (1126 – 1998) yang bijak dan sudah sangat terkenal. Ibnu Rusyd adalah teman dari ayahnya Ibnu Arabi. Ibnu Rusyd mendengar bahwa Ibnu Arabi muda telah mengalami pencerahan ruhani; sehingga telah menemukan ilmu yang sempurna.

Ibnu Rusyd dengan nada gemetar bertanya, “Apakah jalan rasional bisa mengantar manusia kepada kesempurnaan?”
Ibnu Arabi menjawab, “Tidak bisa.”

Ibnu Rusyd merasa makin berat beban yang ada dalam dirinya yang sudah tua itu. Ibnu Arabi mendekatinya dan memeluknya, “Bisa mengantar kepada kesempurnaan bagi orang-orang tertentu.” Ibnu Rusyd tersenyum bahagia.
Arabi menempuh jalur profetik dengan mengikuti jalur hikmah para nabi dan para wali. Jalur profetik bukan saling mengkritik tetapi saling menguatkan. Profetik adalah mengutamakan hikmah kebijaksanaan. Pancasila menempatkan hikmah kebijaksanaan sebagai pemimpin di sila 4. Profetik adalah membela rakyat, menguatkan rakyat jelata secara ekonomi politik, menguatkan bersama hikmah kebijaksanaan.

  1. Pragmatisme Profetik

Profetik tidak pernah mencapai puncak kulminasi; atau profetik itu selalu kulminasi karena profetik terus-menerus bergerak melingkar. Pragmatisme profetik adalah salah satu pendekatan profetik yang bersifat pragmatis.

  1. Diskusi

Bagaimana menurut Anda?

Oleh:Paman APiQ

Paman APiQ Lahir di Tulungagung.
Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung

Sumber: WAG CANGKRUKAN: Forum Diskusi llmiah Lintas Universitas terkait lslam, Sciens dan Technology

Admin: Kominfo DDII Jatim

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *