Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id), Ketua Umum Dewan Da’wah
Dewandakwahjatim.com, Surabaya - Pada 1 Syawal 1446 Hijriah (31/3/2025) saya mendapat kesempatan menyampaikan khutbah Idul Fithri di Jakarta Islamic Centre (JIC). Shalat Id hari itu – menurut pengurus JIC – dihadiri sekitar 10.000 jamaah. Shalat masih dilakukan di balai pertemuan karena ruang utama masjid belum direnovasi, setelah peristiwa kebakaran, tahun 2022 lalu.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya kembali mengajak umat Islam untuk benar-benar memahami makna taqwa dan beruntungnya manusia serta bangsa yang bertaqwa. Orang yang taqwa pasti mulia. Bangsa yang bertaqwa, pasti diberkahi. Itu janji Allah.
Masalahnya, kita hidup di zaman yang tidak menjadikan taqwa sebagai indikator terpenting kemajuan dan kemuliaan. Kita sedang dijajah oleh peradaban yang memuja aspek-aspek duniawi dan materi secara berlebihan. Akibatnya, taqwa banyak ditulis, dikaji, dan dipidatokan.
Kita hidup di zaman kekacauan ilmu dan kerusakan bahasa. Akibatnya, kata taqwa tidak dipahami dengan betul, apaladi diamalkan. Pemimpin dianggap sukses – harusnya – karena sukses meningkatkan ketaqwaan masyarakat. Itu yang utama. Ringkasnya, masyarakat dan bangsa Indonesia akan menjadi unggul dan mulia, jika berhasil meningkatkan ketaqwaan.
Nah, terkait dengan tujuan pembangunan bangsa yang mulia itu, sangatlah menarik jika kita kembali melihat sejarah berdirinya JIC dan harapan-harapan kedepannya. Menurut situs resmi JIC (https://islamic-center.or.id/sejarah-berdirinya-jakarta-islamic-centre/), Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre) adalah sebuah lembaga yang berdiri di eks Lokasi Resosialisasi (Lokres) Kramat Tunggak, Tanjung Priuk, Jakarta Utara.
Lokres Kramat Tunggak adalah nama sebuah Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak. Areal tersebut menempati lahan seluas 109.435 m2 yang terdiri dari sembilan Rukun Tetangga (RT).
Kemashuran Kramat Tunggak (Kramtung) tidak saja terkenal di Indonesia, namun juga terkenal hingga ke seluruh Asia Tenggara. Sayangnya, Kramtung terkenal sebagai “pusat jajan” terbesar bagi kaum hidung belang.
Pada awal pembukaannya tahun 1970-an, terdapat 300 orang WTS (Wanita Tuna Susila) dengan 76 orang germo. Jumlah ini terus bertambah. Menjelang akhir ditutupnya Lokres Kramtung tahun 1999, jumlahnya mencapai 1.615 orang WTS di bawah asuhan 258 orang germo/mucikari. Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar.
Artinya, lokalisasi ini tumbuh dan berkembang dengan pesat yang akhirnya menimbulkan masalah baru pada masyarakat di lingkungan sekitarnya dan sekaligus citra Jakarta yang tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya sebagai sebuah kultur Betawi yang sangat identik sebagai komunitas Islam yang terbuka, bersemangat multikultur, toleran dan sangat mencintai Islam sebagai identitas utama kebudayaan mereka.
Hasil penelitian Dinas Sosial DKI Jakarta bersama Universitas Indonesia, tahun 1997,
direkomendasikan agar Lokres Kramtung ditutup. Pada tahun 1998, Gubernur Sutiyoso mengeluarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 495/1998 tentang penutupan panti sosial tersebut selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Dan pada 31 Desember 1999, Lokres Kramat Tunggak secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998.
Banyak usulan pengguaan lokasi bekas Kramtung. Ada yang mengusulkan pembangunan pusat perdagangan (mall), perkantoran dan lain sebagainya. Namun Gubernur Sutiyoso memiliki ide lain yaitu membangun Islamic Centre. Tahun 2003, dikeluarkan SK Gubernur KDKI No. 99/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre).
“Namun selanjutnya, kehadiran JIC tidak sekedar hanya mengubah tanah hitam menjadi putih, atau hanya sebuah masjid saja, melainkan lebih dari itu JIC diharapkan menjadi salah satu simpul pusat peradaban Islam di Indonesia dan Asia Tenggara yang menjadi simbol kebangkitan Islam di Asia dan Dunia. Ciri peradaban yang dimaksud adalah dengan adanya kelengkapan fasilitasi fungsi-fungsi kemakmuran masjid yang terdiri dari fungsi peribadatan, fungsi kediklatan dan fungsi pedagangan/bisnis,” begitu ditulis dalam situs resmi JIC.
Nah, begitulah perjuangan umat Islam Indonesia – khususnya Gubernur Sutiyoso – dalam mewujudkan JIC. Menggusur Lokalisasi raksasa seperti Kramtung bukan hal mudah. Tentu kita menyambut baik dan berharap JIC dapat mewujudkan cita-cita mulia: menjadi simbol kebangkitan Islam di Asia dan Dunia.
Disamping aspek bangunannya yang sangat megah, yang lebih perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh Pemda DKI Jakarta adalah membangun manusianya yang unggul. Artinya, JIC harus menjadi pusat pendidikan dan peradaban kelas dunia. Itu semua hanya dilaksanakan jika JIC dikelola oleh manusia-manusia unggul. Yakni, manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Kita doakan harapan masa depan itu bisa diwujudkan. (Depok, 1 April 2025).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Sudono Syueb