Oleh: Muhammad Hidayatullah, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Studi al-Qur’an (PSQ) Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata:
عَنْ أَبي مُوسَى الأشْعَرِيِّ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلانِ مِنْ بَنِي عَمِّي، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّا وَاللَّهِ لا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ، وَلا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.
“Aku menemui Nabi bersama dua orang anak pamanku. Salah satu dari mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, berilah kami jabatan atas sebagian kewenangan yang Allah berikan kepadamu.’ Yang lain pun berkata hal serupa. Maka Rasulullah menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, dan juga kepada seseorang yang berambisi mendapatkannya.’” (HR. Muslim, no. 1733. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Muhammad bin Al-‘Ala, dari Abu Usamah, dari Buraid bin Abdullah, dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al-Asy’ari)
Makna Harasha dan Implikasinya
Kata harasha berasal dari يحرص (yahrishu), yang bermakna memiliki keinginan yang kuat atau ambisi besar. Dalam bahasa lain, hal ini disebut طمع (thoma’), yang berarti tamak atau loba. Sifat ini bisa bernilai positif atau negatif tergantung pada konteksnya.
Jika seseorang memiliki keinginan yang kuat terhadap kebaikan, maka hal itu sangat dianjurkan. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجِزْ”
“Bersemangatlah terhadap hal yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah merasa lemah.” (HR. Muslim, no. 2664. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Yahya bin Yahya, dari Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir bin Abdullah)
Namun, jika ambisi ini berkaitan dengan sesuatu yang negatif atau duniawi yang tidak baik, maka hal itu sangat dilarang. Dalam istilah lain, hal ini disebut sebagai رَغِبَ رَغْبَةً مَذْمُومَةً (raghiba raghbatan madzmuumatam), yaitu berharap dengan harapan yang tidak baik.
Sifat Harisha Rasulullah
Sifat hariish ini juga dimiliki oleh Rasulullah ﷺ, sebagaimana tergambar dalam firman Allah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, (hariish) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Rasulullah memiliki harapan yang besar agar seluruh umatnya selamat di dunia dan akhirat. Dengan penuh kasih sayang, beliau membimbing umatnya agar tidak tersesat dan tetap berada di jalan yang lurus.
Namun, semua itu kembali kepada umatnya sendiri, apakah mereka mau mengikuti ajaran yang beliau sampaikan atau tidak. Jika seseorang berkenan mengikuti ajaran Rasulullah, maka ia akan memperoleh keselamatan. Sebaliknya, jika menolaknya, maka ia akan celaka.
Jabatan dan Bahayanya
Hadis di awal menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ tidak memberikan jabatan kepada orang yang memintanya atau yang berambisi mendapatkannya. Hal ini memiliki hikmah besar, karena orang yang terlalu menginginkan jabatan cenderung memiliki niat tersembunyi yang tidak murni untuk kemaslahatan umat.
Ketika seseorang meminta jabatan, ada kecenderungan bahwa ia akan lebih mementingkan ambisi pribadinya daripada kepentingan orang banyak. Akibatnya, kebijakan yang dibuat tidak lagi berpihak kepada rakyat, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Selain itu, ambisi yang terlalu besar terhadap jabatan juga dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Demi meraih kekuasaan, seseorang bisa saja menghalalkan segala cara, termasuk melakukan praktik-praktik kotor seperti politik uang (money politics). Ini adalah fenomena yang sering kita lihat di berbagai negara—bagaimana seseorang rela menggelontorkan dana besar hanya demi mendapatkan posisi tertentu.
Padahal, dalam Islam, praktik seperti ini termasuk dalam kategori الرشوة (rishwah), yaitu suap, yang hukumnya haram. Rasulullah ﷺ bersabda:
“لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ”
“Rasulullah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap dalam urusan hukum.” (HR. Abu Dawud, no. 3580; At-Tirmidzi, no. 1337; Ibnu Majah, no. 2313. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, dari Rasulullah ﷺ)
Oleh karena itu, perang melawan politik uang harus terus dikumandangkan. Jika dibiarkan, praktik ini akan menghancurkan bangsa. Para kapitalis yang memiliki modal besar akan dengan mudah membeli jabatan, sehingga mereka bisa mengendalikan kebijakan yang menguntungkan diri mereka sendiri, tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat.
Ambisi yang besar terhadap kebaikan adalah sesuatu yang dianjurkan, tetapi ambisi terhadap jabatan yang didasari kepentingan pribadi adalah sesuatu yang berbahaya. Islam menekankan bahwa jabatan bukanlah sesuatu yang bisa diminta, tetapi sebuah amanah yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar layak dan mampu memikulnya.
Sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam memilih pemimpin dan tidak tergiur oleh janji-janji manis yang sering kali hanya merupakan alat politik untuk meraih kekuasaan. Kita juga harus berani melawan politik uang dan segala bentuk kecurangan dalam pemilihan pemimpin, karena hal itu hanya akan membawa kehancuran bagi bangsa.
Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari hadis Rasulullah ﷺ ini dan selalu berusaha untuk mengutamakan kepentingan bersama daripada ambisi pribadi. Na’udzubillah, semoga kita terhindar dari praktik-praktik yang dapat merusak keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Sudono