Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Bangsa kita akan bangkit dan maju jika kondisi jiwanya sehat. Pepatah lama menyatakan: “mens sana in corpore sano”. Artinya: pikiran sehat ada dalam badan yang sehat! Nah, bagaimana jika yang tidak sehat justru tenaga kesehatan itu sendiri? Ini tentu sangat mengkhawatirkan masa depan bangsa. Tapi, begitulah kenyataannya.
Situs detik.com (16/4/2024) menyiarkan berita dengan judul: “Kemenkes RI: 3,3 Persen Calon Dokter Spesialis Depresi hingga Ingin Bunuh Diri.” Disebutkan, bahwa hasil survei skrining kesehatan jiwa peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) RS vertikal per Maret 2024 menunjukkan banyaknya calon dokter spesialis mengalami masalah mental.
Bahkan, 3,3 persen dokter PPDS yang menjalani skrining teridentifikasi ingin bunuh diri atau melukai diri sendiri. Angka tersebut didapatkan dari analisis kesehatan jiwa calon dokter spesialis di 28 RS vertikal pendidikan bagi 12.121 PPDS. Survei dilakukan Kementerian Kesehatan RI di 21, 22, dan 24 Maret 2024.
Jika dilihat lebih rinci, ada 2.716 PPDS yang mengalami gejala depresi, 1.977 di antaranya mengalami depresi ringan, 486 depresi sedang, 178 orang mengeluh depresi sedang sampai berat, dan 75 orang mengalami depresi berat.
“Dalam 2 minggu terakhir, 3,3 persen PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun, 322 (2,7 persen) merasakan hal ini beberapa hari, 52 (0,4 persen) merasakan ini lebih dari separuh waktu, dan 25 (0,2 persen) merasakan ini hampir setiap hari,” demikian konfirmasi Direktur Jenderal Pelayanan Kementerian Kesehatan RI Azhar Jaya saat dihubungi detikcom Selasa (16/4/2024).
Program studi yang melaporkan calon dokter spesialis dengan gejala depresi terbanyak teridentifikasi di lima program studi berikut: Ilmu Penyakit Mulut (53,1 persen), Ilmu Kesehatan Anak (41,3 persen), Bedah Plastik (39,8 persen), Anestesiologi (31,6 persen), Bedah Mulut (28,8 persen).
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik dr Siti Nadia Tarmizi menyebut survei skrining kesehatan jiwa baru mulai diberlakukan tahun ini, seiring dengan pencatatan kasus bullying yang semula dilaporkan. Pihaknya menilai pencatatan ini juga demi memastikan kualitas tenaga kesehatan yang nantinya bekerja dipastikan optimal menangani pasien dan tidak sedang dalam fase depresi.
Meski regulasi bullying di lingkup PPDS semula telah diberlakukan, yakni surat teguran hingga sanksi pencabutan status RS sebagai tempat pembelajaran peserta didik, dr Nadia menyebut masih terdapat sejumlah laporan perundungan yang dilaporkan.
“Iya survei dilakukan karena masih ada laporan terkait perundungan, walau sudah ada aturannya, ini skrining awal selain utnuk peserta pendidikan tetapi juga yang utama adalah patient safety,” terang dr Nadia kepada detikcom. (***).
Begitulah berita dari detik.com. Berita ini perlu kita perhatikan dengan serius. Para dokter itu adalah manusia-manusia yang bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatan masyarakat kita. Tentu, sangat mengkhawatirkan, jika orang-orang yang diharapkan untuk memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat, justru memiliki kondisi jiwa yang tidak sehat.
Apalagi, ini menimpa para calon dokter spesialis yang dipandang sebagai tenaga-tenaga ahli di bidang kesehatan. Tentu ada yang perlu diperbaiki dalam pendidikan dokter spesialis, sehingga begitu banyak permasalahan yang dibongkar oleh Kementerian Kesehatan sendiri.
Selama ini, menjadi dokter spesialis merupakan impian bagi banyak dokter. Sebab, peluang-peluang karir di dunia kedokteran semakin terbuka. Begitu juga peluang untuk meraih pendapatan yang lebih besar.
Karena itu, masyarakat sangat memerlukan dokter spesialis dalam jumlah yang mencukupi.
Sebagai warga masyarakat dan konsumen bidang kesehatan, beberapa kali saya dan keluarga merasakan tidak mudahnya mendapatkan jasa dokter spesialis. Kadang, antrean begitu panjang dan sempitnya waktu untuk mendapatkan konsultasi yang memadai. Wajarlah jika kita berpikir, sebaiknya pendidikan dokter spesialis jangan dipersulit. Bukan pula terlalu dimudahkan.
Tetapi, yang lebih diperlukan adalah perombakan secara mendasar falsafah dan tujuan pendidikan kedokteran kita. Pendidikan dokter perlu diletakkan di bawah payung pendidikan nasional, yaitu bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Bahkan, karena ini menyangkut kesehatan dan nyawa manusia, maka penerapan pendidikan berbasis iman, taqwa, dan akhlak mulia ini perlu lebih diperketat. Dalam beberapa kali acara dialog dengan pimpinan beberapa Fakultas Kedokteran Universitas Islam, saya mengusulkan agar diterapkan tes akhlak yang ketat untuk calon mahasiswa kedokteran. Tes akhlak mulia harus dijadikan sebagai syarat utama untuk memasuki pendidikan kedokteran.
Dokter yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia tidak mungkin melakukan penindasan dan pemerasan terhadap para yuniornya yang sedang berjuang meraih ilmu dan ketrampilan yang diperlukan masyarakat. Tidak mungkin dokter spesialis senior takut disaingi yuniornya dalam urusan pendapatan, jika ia meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah.
Karena itu, kita berharap, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan mau melakukan perbaikan kedokteran yang lebih mendasar dan menyeluruh. InsyaAllah, masih banyak kesempatan, asal ada kemauan. Wallahu A’lam bish-shawab.
Admin: Kominfo DDII Jatim
SS