Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Percaya atau tidak, sebenarnya Indonesia sedang mengalami ”darurat bahasa”! Inilah yang disebut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai ”de-Islamization of knowledge”. Itulah proses pemurtadan bahasa.
Prof. Al-Attas menjelaskannya sebagai berikut: ”Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning. This modern cultural phenomenon is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind of regression towards non-Islamic worldviews; it is what I call the deislamization of language.” (Prof. S.M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam).
Penjelasan Prof. al-Attas itu teramat berharga untuk dilupakan. Bahwa, saat ini sedang terjadi perusakan makna terhadap kata-kata penting dalam kamus dasar Islam. Kata-kata, seperti: Islam, ilmu, adab, hikmah, pendidikan, sukses, dan sebagainya telah dirusak dan diselewengkan dari makna yang seharusnya. Akibatnya, terjadilah kekacauan dalam pemikiran kaum muslim dan mereka terjebak ke dalam pandangan alam (worldview) yang bukan Islam.
Dalam kehidupan yang didominasi paham sekularisme, kata-kata penting dalam Islam itu dipaksakan maknanya hanya sebatas alam duniawi dan alam materi. Konsep dasar manusia, dalam pendidikan saat ini, dibatasi dalam dimensi materi saja. Manusia didefinisikan sebagai “kasta tertinggi dari bangsa kera (hominid)”.
Maka, konsep tentang kebutuhan dan kesuksesan manusia, dibatasi sebatas alam dunia dan alam materi saja. Misalnya, kata “produktif” dibatasi maknanya sekedar kerja menghasilkan uang. Kerja-kerja kebajikan dan amal sholeh tidak dianggap sebagai kerja produktif. Pendidikan dimaknai sekedar proses pemberian pengetahuan dan pelatihan untuk melahirkan pekerja, bukan untuk melahirkan manusia-manusia yang seutuhnya.
Siapakah yang paling berperan dalam memproduksi makna-makna tersebut? Jawabnya: Tak lain adalah Perguruan Tinggi. Para ilmuwan di Perguruan Tinggi itulah yang memproduksi makna-makna tersebut sehingga melahirkan sarjana-sarjana yang keliru cara berpikirnya. Berikutnya, kekeliruan dan kerancuan makna itu ditularkan kepada anak-anak – baik di rumah atau di sekolah.
Kondisi kerusakan bahasa ini sudah sangat serius dan kronis. Ini sudah darurat. Darurat bahasa. Sepatutnya ada gerakan masal dari para ulama dan ilmuwan muslim untuk mengatasi kondisi darurat ini. Dan itu harus dimulai dari institusi pendidikan Islam, baik keluarga, masjid, sekolah, pesantren atau kampus-kampus Islam.
Dampak dari kerusakan bahasa adalah kerusakan ilmu yang berujung kepada hilangnya adab dalam diri, keluarga, dan masyarakat. Itu ditandai dengan ketidaktahuan untuk memahami dan menyikapi segala sesuatu dengan benar dan tepat. Akibatnya, terjadinya sikap ekstrim dan tidak adil dalam memahami dan menyikapi masalah.
Jika salah dalam memahami problematika bangsa, maka akan salah pula dalam memberikan solusinya. Begitu juga, jika salah dalam memahami problematika pendidikan kita, maka akan salah pula dalam memberikan solusinya.
Dampak berikutnya adalah jebakan lingkaran setan kekacauan. Gonta-ganti presiden dan menteri pendidikan, masalah utamanya tidak terselesaikan. Trilyunan rupiah dikucurkan untuk perbaikan karakter, tetapi berujung kepada kegagalan. Padahal, sudah jelas, problem utama bangsa kita adalah kondisi jiwanya. Jiwa manusia Indonesia itulah yang harus diutamakan untuk dibersihkan terlebih dahulu.
Mohammad Natsir sudah lama mengingatkan, bahwa masalah yang sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia – dan umat Islam khususnya – adalah cinta dunia yang sangat berlebihan. Jika akar masalah itu tidak diatasi, maka krisis demi krisis akan terus membelit negeri kita. Sebab, cinta dunia adalah akar segala kerusakan (Hubbud dunya ra’su kulli khathiatin).
Kita patut bersyukur banyak mahasiswa kita memiliki kepedulian besar terhadap problematika bangsa, sehingga mereka rela turun ke jalan. Mereka tergerak untuk berjuang memperbaiki kondisi bangsa. Ini patut dibanggakan. Tidak mudah mendidik mahasiswa saat ini untuk memiliki kepedulian kepada masyarakat dan bangsanya.
Kepedulian mahasiswa itu perlu dipupuk terus-menerus dan ditingkatkan kualitasnya agar mereka lebih memahami masalah masyarakat dan bangsanya secara lebih mendalam dan menyeluruh. Kita perlu perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh; bukan hanya perubahan yang bersifat simtomatis dan superfisial.
Semoga perjuangan para mahasiswa itu membuahkan hasil yang baik dan pergantian kekuasaan di negeri kita disertai juga dengan perubahan dalam konsep pembangunan dan pendidikan yang lebih baik. Amin. (Depok, 25 Agustus 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim
SS