Pendidikan Islam; Wasiat Luqman dan Nasihat Hamka

Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Jika kita renungkan tujuh ayat yang mengandung wasiat Luqman di dalam QS Luqman, dapat kita simpulkan bahwa ayat-ayat tersebut mengandung dasar-dasar pendidikan bagi seorang Muslim. Demikian, hemat Hamka di Tafsir Al-Azhar (2003: 5573).

Isinya, kata Hamka, bisa menjadi sumber inspirasi dalam mengatur pokok-pokok pendidikan anak-anak kaum Muslimin. Di dalamnya ada pokok akidah, ada petunjuk bagaimana menegakkan sendi-sendi rumah-tangga Muslim (termasuk jalan keluar jika ada pertikaian pendapat antara orangtua dengan anak, terutama di dalam hal perbedaan akidah).

Siapa Luqman? Luqman itu pribadi istimewa. Dia luar biasa karena namanya diabadikan dalam Al-Qur’an dengan menjadi nama Surat ke-31.

Dia Istimewa, karena mendapat hikmat. “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman” (QS [31]: 12). Apa hikmat? Mengutip Ar-Razi, Hamka menyebut bahwa hikmat itu adalah “Sesuai antara perbuatan dengan pengetahuan”.

Selalu Bersyukurlah!

Inilah dasar pendidikan yang awal, bersyukur kepada Allah (baca QS Luqman [31]: 12). Inilah puncak hikmat yang didapat oleh Luqman. Bermula dari keyakinan bahwa nikmat Allah meliputi seluruh hidupnya. Terkait ini, tidak ada jalan lain kecuali harus bersyukur kepada Allah.

Hamka mengatakan bahwa adalah terlalu rendah akhlak manusia jika dia sadar bahwa seluruh hidupnya diliputi oleh nikmat Allah, tapi dia hanya diam saja (tidak bersyukur). Sikap yang benar, bersyukurlah, berterima kasihlah! “Barangsiapa yang mengenang dan menghargai jasa orang lain kepada dirinya, terhitunglah dia orang yang budiman,” simpul Hamka. “Bersyukur adalah mempertinggi nilai diri sendiri yang sudah layak dan wajar bagi insan yang sadar akan harga dirinya,” tegas Hamka (2003: 5565).

Jangan Syirik!

Jangan sekutukan Allah! Menyekutukan Allah adalah kezaliman yang amat besar. Baca QS Luqman [31]: 13 ini: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.”

Selanjutnya, “Hubungan tiap manusia dengan Allah hendaklah langsung. Jiwa yang dipenuhi oleh tauhid adalah jiwa yang merdeka. Tidak ada sesuatu jiwa pun yang dapat mengikat jiwa itu, kecuali dengan Tuhan. Apabila manusia telah mempertuhan yang lain, sedang yang lain itu adalah benda belaka atau makhluk belaka, manusia itu sendirilah yang membawa jiwanya jadi budak dari yang lain,” kata Hamka (2003: 5566).

Berbuat Baik ke Orangtua

Hormatilah ibu dan bapak kita. Tersebab, atau lewat peran merekalah, kita dihadirkan oleh Allah di dunia ini. Hormatilah keduanya.

Islam mengajarkan bahwa hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah dan itu wujud dari ungkapan rasa terima kasih kita. Berterima kasih-lah, bahwa Allah telah menetapkan manusia menjadi khalifah. Kesemua itu, kata Hamka, tidak dapat dilaksanakan kalau kita tidak lahir ke dunia (2003: 5567).

Tetap hormati orangtua kita meski berbeda akidah, misalnya. Cintailah mereka dengan tulus. Jangan sampai mereka dihina. Tunjukkan saja bahwa dalam hal akidah kita memang berbeda.
Jika mereka sudah tua, asuh jugalah mereka dengan baik. Tunjukkan bahwa seorang Muslim adalah seorang yang budiman.

Tetap hormatilah mereka! Usahakan, dengan sepenuh kesabaran, beri mereka pemahaman yang benar tentang tauhid. Sebaliknya, janganlah kita ikut menjadi kafir hanya karena tak kuat menerima ancaman orangtua yang menggunakan berbagai modus.

Jadilah seperti Saad bin Abi Waqqash (sumber lain menyebut Saad bin Malik) yang sabar menghadapi ibunya. Sang ibu mengancam akan bunuh diri dengan cara mogok makan dan minum. Tujuannya, agar si anak kembali kafir.

“Wahai ibuku! Hendaklah Ibu ketahui, walaupun Ibu mempunyai 100 nyawa lalu nyawa itu lepas dari tubuh satu demi satu, tidaklah aku akan meninggalkan agamaku. Kalau Ibu suka, lebih baik Ibu makan. Kalau tidak suka, teruslah tidak makan,” kata Saad tegas tapi tetap santun.

Jadilah seperti Mush’ab bin Umair yang sabar menghadapi ibunya. Sang ibu sampai hati memutus tali kekeluargaan dengan dirinya, demi sang anak kembali kafir. Saksikan fragmen berikut ini.

“Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi,” ketus sang ibu.

“Wahai Bunda! Saya ingin menyampaikan nasihat kepada Bunda. Ananda merasa kasihan kepada Bunda. Saksikanlah, bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah,” jelas Mush’ab bin Umair.

Terus Berbuat Baik Meski Sedikit

Tanpa henti, sesuai kemampuan, istiqomah-lah dalam berbuat kebajikan. Di saat mengerjakan kebajikan, janganlah karena ingin diketahui oleh manusia. Sungguh, atas semua amal shalih kita, hanya patut berharap penghargaan datang dari Allah saja.

Teruslah berbuat baik sekecil apapun. Misalnya, dengan sekadar menyediakan air minum di wadah kendi dari tanah atau yang semisal itu di depan rumah. Air itu, diperuntukkan kepada siapapun yang sedang memerlukannya.

Sungguh, kata Hamka, “Air seteguk hanya suatu amalan kecil. Namun dia tercatat di sisi Allah” (2003: 5570).

Hal yang Empat

Wasiat Luqman berikutnya: Didirikan shalat, suruh manusia berbuat makruf, cegah manusia dari perbuatan munkar, dan sabar atas apapun yang menimpa kita (baca QS Luqman [31]: 17).

Atas keempat amanat itu, ini nasihat Hamka: Perkuat pribadi dan teguhkan hubungan dengan Allah seraya memperdalam rasa syukur kepada Allah atas nikmat dan perlindungannya yang selalu kita terima. Untuk itu, shalat-lah, yang dengan itu kita melatih lidah, hati, dan seluruh anggota badan agar selalu ingat kepada Tuhan (2003: 5570).

Selanjutnya, orang yang telah kukuh pribadinya sebagai bagian dari buah ibadah (terutama lewat ibadah shalat), dia akan berani menyampaikan kebenaran kepada sesamanya. Lalu, berani pula menegur manakala ada perbuatan munkar di sekitarnya. Intinya, dia berani mengatakan yang benar itu benar walaupun pahit. Memang, dalam pelaksanaannya kita harus bijaksana, yaitu terkait cara menyampaikannya.

Untuk aktivitas amar makruf dan terutama nahi munkar, kita mesti sabar dan tabah. Nasihat Hamka, ingatlah, bahwa sekalian Rasul yang diutus Allah untuk memberi bimbingan kepada manusia sesungguhnya disakiti oleh kaumnya. Hanya saja, mereka tetap sabar. Bagi “Yang tidak sabar akan gagal di tengah jalan,” pesan Hamka.

Bersikap Ramah

Pesan Luqman: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS Luqman [31]: 18).

Membaca ayat di atas, ini adalah “Budi pekerti, sopan-santun, dan akhlak yang tertinggi,” kata Hamka. Misal, kalau sedang bercakap-cakap dengan seseorang maka hadapkanlah muka kita kepadanya. Hal ini, sikap yang sangat baik. Saat bercakap-cakap, “Tengoklah matanya dengan gembira. Hatinya akan besar dan silaturahmi akan teguh. Apatah lagi kalau namanya tetap diingat dan disebut,” demikian nasihat Hamka (2003: 5572).

Pendidikan Kita

Mencermati paparan ringkas di atas, kita bersyukur bahwa tujuan pendidikan di negeri ini paralel dengan dasar-dasar pendidikan yang telah digariskan Islam. Tentu tidak persis, tapi sebagian besar tampak beririsan.

Mari kita lihat pasal 3 UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan, bahwa pendidikan yang kita selenggarakan bertujuan “Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Terakhir, khusus dalam hal tujuan Pendidikan Nasional agar peserta didik “beriman dan bertakwa” serta “berakhlak mulia”, hal ini insya Allah sesuai dengan yang disampaikan Luqman dan Hamka. Alhamdulillah! []

Admin: Kominfo DDII Jatim

SS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *