JANGAN BERLEBIHAN DALAM BERDEMOKRASI

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dewandakwahjatim.com, Depok – Para ulama dan tokoh-tokoh Islam – juga organisasi Islam – bersepakat untuk berjuang dalam pemilu tahun 1955. Ketika itu, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, dan banyak ulama lainnya menjadi anggota parlemen yang menerapkan sistem demokrasi.


Para tokoh dan ulama itu sangat memahami bahwa demokrasi adalah sistem yang memiliki kekurangan bahkan ada unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi, para ulama itu tidak menyebut Indonesia sebagai ”negara kafir” yang harus dimusuhi. Para ulama itu tidak pergi dari Indonesia dan pindah ke negara yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan.

Mereka terlibat dalam pemilu dan memilih berjuang dari dalam sistem demokrasi, karena memang ada peluang untuk melakukan perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan benegara melalui sistem demokrasi. Para ulama Islam sudah sangat paham, bahwa paham demokrasi memang bukan berasal dari Islam. Bahkan, filosof Yunani, Plato, pun sudah mengritik sistem demokrasi. Tetapi, faktanya, dunia internasional saat ini menggunakan sistem demokrasi. Di situlah para ulama dan pemikir muslim mencoba menyikapi masalah ini dengan sebijak-bijaknya.

Sistem demokrasi dalam pemerintahan, sama kedudukannya dengan sistem-sistem lain yang berasal dari peradaban Barat, seperti kedudukan bank dalam sistem ekonomi, sekolah atau universitas dalam sistem pendidikan, juga rumah sakit dalam sistem kesehatan. Kita saat ini sudah mengenal istilah ”bank Islam”, ”sekolah Islam”, ”Universitas Islam”, ”rumah sakit Islam” dan sebagainya.


Dalam pidatonya di Majlis Konstituante, tahun 1957, tokoh Masyumi Mohammad Natsir mengritik sistem pemerintahan sekuler dan juga pemerintahan teokratis. Natsir menyatakan: ”Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.” (Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001).


Dalam Anggaran Dasarnya, Partai Islam Masyumi menegaskan: “Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.” (Pasal III).

Prof. TM Hasbi as-Shiddieqy, pakar hukum Islam, dalam bukunya, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam (1969), menguraikan sejumlah perbedaan antara konsep Islam dalam sistem Islam dengan sistem demokrasi. Misalnya, tujuan demokrasi Barat, adalah untuk tujuan dunia atau materi saja. Tujuannya hanya mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu menyuburkan kekayaan atau keagungan duniawi.


Ini berbeda dengan tujuan kenegaraan dalam Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Khaldun: “Imamah itu, adalah untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syarak harus diiktibarkan dengan segala kemaslahatan akhirat.”


Jadi, begitulah cara para tokoh dan ulama Islam terkemuka di Indonesia dalam memahami demokrasi. Sejak tahun 1945, para pemimpin umat Islam Indonesia sudah membentuk partai Politik Islam Masyumi sebagai alat untuk memperjuangkan aspirasi Islam. Mereka memahami tujuan dan alat untuk mencapai tujuan.

Hari-hari ini, di berbagai media sosial, masih ada beberapa orang muslim yang menulis sikap anti-demokrasi. Mereka menolak terlibat dalam pemilu dengan alasan tidak mau ikut dalam sistem demokrasi. Ini sikap yang tidak adil. Sebab, saat ini, pemilu adalah cara untuk memilih pemimpin, baik dalam tingkat daerah atau nasional. Masyarakat kita memerlukan pemimpin yang baik dalam sistem yang berlaku saat ini.

Pandangan Mohammad Natsir tentang “negara demokrasi Islam” yang dicitakannya adalah satu bentuk pemikiran yang cerdas dan realistik. Tahun 1950, Natsir telah berjuang membubarkan Republik Indonesia Serikat ( RIS) dan berhasil mengembalikan Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan. Setelah terbentuk NKRI, maka Mohammad Natsir dan para pemimpin umat Islam berjuang untuk memperbaiki NKRI.

Mereka berjuang agar ajaran-ajaran Islam lebih banyak diterapkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara. Dan itu memerlukan proses yang panjang. Sekarang kita bisa menyaksikan dan merasakan, semakin banyak ajaran Islam yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Inilah contoh perjuangan yang tepat dalam sistem demokrasi, seperti di Indonesia.

Pada sisi lainnya, ada juga pihak-pihak yang berlebihan dalam memahami demokrasi. Seolah-olah, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang sempurna. Sejak zaman Yunani kuno, demokrasi sudah dikritik oleh Plato dan dikatakan sebagai sistem pemerintahan yang terbaik dari tiga sistem yang buruk.
Itu karena demokrasi meyamaratakan semua orang dalam pengambilan keputusan, tanpa mempedulikan kualitas manusianya. Dalam sistem seperti ini, suara seorang guru besar ilmu politik sama nilainya dengan suara seorang terpidana dan pecandu narkoba yang hampir hilang ingatannya.

Jadi, sepatutnyalah kita tidak berlebihan dalam memahami dan menerapkan demokrasi. Mohammad Natsir telah menawarkan gagasan “demokrasi Islam”, sebagaimana gagasan bank Islam, sekolah Islam, asuransi Islam, universitas Islam, dan sebagainya. Semoga Allah SWT membimbing kita semua untuk meniti jalan perjuangan mengikuti jalan kenabian dengan sebaik-baiknya. Amin. (Depok, 19 Juli 2024).

Admin: Kominfo DDII Jatm

SS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *