Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Jangan lupakan tanggal 18 Agustus 1945! Hari itu ada peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Yakni, dicoretnya ”Tujuh Kata” dari UUD 1945. Tujuh kata itu ialah: ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Islam yang terlibat dalam perundingan penghapusan ”Tujuh Kata” itu menuliskan kisah tersebut dalam buku: Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Pak Kasman, yang kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, mencatat keheranannya atas sikap sejumlah pihak – khususnya golongan Kristen – yang menuntut pencoretan tujuh kata itu. Mereka benar-benar bersikukuh untuk menolak pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Padahal, kewajiban itu ditujukan untuk umat Islam.
Demikian ungkapan keheranan dari Pak Kasman: ”Apa dari rumus tujuh kata-kata itu yang dapat dianggap sebagai merugikan golongan non-Muslim? Golongan ini sama sekali tidak akan berkewajiban atau diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam; tidak! Bahkan toleransi Islam menjamin golongan non-Muslim itu mengamalkan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya. Bahkan golongan non-Muslim mempunyai kepentingan yang besar sekali, bahwa ummat Islam itu akan mentaati dan menjalankan agamanya (Islam) setertib-tertibnya, sebab jika tidak begitu maka golongan minoritas non Islam itulah pasti akan menjadi korban dari pada mayoritas brandal-brandal, bandit-bandit dan bajingan “selam” yang tidak tertib Islam itu!”
Apa yang dikatakan oleh Pak Kasman tentang syariat Islam itu kemudian terbukti beberapa puluh tahun kemudian. Meskipun tidak secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam atau negara syariat, tetapi berbagai institusi Islam atau institusi syariat telah berdiri di Indonesia dan mendapat dukungan pemerintah atau pun masyarakat non-muslim.
Banyak pengusaha non-muslim memanfaatkan peraturan perundang-undangan makanan halal untuk melancarkan dan meningkatkan bisnis mereka. Sejumlah bank yang sahamnya dimiliki para konglomerat non-muslim juga membuka divisi syariah. Di NTT dan Papua, ribuan mahasiswa non-muslim menikmati kuliah di kampus-kampus Muhammadiyah.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Pak Kasman, bahwa jika umat Islam taat menjalankan syariat agamanya, maka pastilah mereka akan menjadi orang baik. Mereka wajib mengasihi dan menolong sesama manusia, apa pun agama mereka. Orang muslim wajib menghormati tetangganya, meskipun mereka bukan muslim.
Tapi, karena kondisi dan situasi yang genting pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, maka umat Islam pun menerima pencoretan Tujuh Kata dalam Konstitusi. Padahal, Bung Karno sudah berulang kali berusaha meyakinkan pihak-pihak yang menolak Tujuh Kata, bahwa Piagam Jakarta adalah hasil kompromi maksimal yang bisa dicapai antara Golongan Nasional Islam dengan Golongan Kebangsaan.
Demi menyelamatkan Proklamasi yang umurnya baru sehari, para tokoh Islam menerima pencoretan Tujuh Kata. Itu adalah bentuk pengorbanan besar umat Islam yang sangat mencintai Indonesia. Dan umat Islam tidaklah berpura-pura atau berbasa-basi, sebab para tokoh Islam mengambil sikap itu pun berdasar atas ajaran agama Islam, yang mengutamakan kemaslahatan dan kemanfaatan bersama.
Hal itu terbukti ketika penjajah hendak kembali menduduki NKRI, maka umat Islam Indonesia menyambut Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari untuk mempertahankan Kemerdekaan RI. Fatwa jihad itu menyatakan, bahwa mempertahankan kemerdekaan RI adalah wajib bagi seluruh umat Islam Indonesia.
Bukti kecintaan dan pengorbanan umat Islam berikutnya adalah ketika Yogyakarta diduduki oleh Belanda dan Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap Belanda. Ketika itu, tampillah tokoh Islam Sjafroedin Prawiranegara menyelamatkan Proklamasi Kemerdekaan dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Berikutnya, pada tahun 1950, tokoh Islam Mohamamd Natsir berhasil mengembalikan Indonesia menjadi NKRI melalui Mosi Integralnya. Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Jadi, kecintaan umat Islam dan para tokoh Islam terhadap bangsa dan negara, sepanjang sejarah Indonesia, tak perlu diragukan. Sebab, cinta tanah air adalah bagian dari aspek keimanan. Umat Islam mencintai NKRI, sebab negeri ini merupakan amanah dari Allah SWT. Umat wajib mencintai dan terus bekerja agar NKRI menjadi negeri yang kuat, adil dan makmur, dalam nauangan Ridha Allah SWT.
Karena itu, sejarah membuktikan, tidaklah patut ada upaya untuk memisahkan antara Islam dan ke-Indonesiaan. Seorang muslim yang baik, pada saat yang sama, juga pasti akan menjadi orang Indonesia yang baik pula. Jika di NKRI ada kekurangan maka kaum muslim wajib berjuang untuk memperbaikinya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 18 Agustus 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim
SS