Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII PUSAT
Dewandakwahjatim.com, Depok – Pada 16 Februari 2020, situs hidupkatolik.com menurunkan satu berita berjudul: Berbenah, Bergerak, dan Berbuah. Disebutkan, bahwa Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2008 menegaskan peran lembaga pendidikan Katolik sebagai media pewartaan kabar gembira yang unggul. “Untuk itu Sekolah Katolik mulai berbenah agar berubah dan berbuah,” begitu ditulis dalam situs tersebut.
Selanjutnya dikabarkan, bahwa hasil penilaian diri selama dua tahun, Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia (Komdik KWI) mengeluarkan 13 Asesmen Standar Tata Kelola 2017-2018 yang dilakukan secara acak terhadap yayasan atau sekolah yang tersebar di Indonesia.
Menurut Sekretaris Eksekutif Komdik KWI, Romo Thomas Becket Gandhi Hartono, SJ karakter dapat menggerakkan elemen mata pelajaran. Misalnya, ulangan Matematika membutuhkan kejujuran. Sekarang ini, pendidikan karakter menjadi lemah saat muatan-muatan yang ditanggung oleh tenaga didik. Misalkan, guru wajib mengerjakan 20 halaman RPP. Kurang adanya waktu untuk guru bereksplorasi dan mencoba menggali metode-metode belajar yang lain.
Namun sudah ada komitmen Gereja untuk mendidik umatnya berkarakter dan menghasilkan pribadi yang menjadi jati diri bangsa.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2018, jumlah siswa Katolik dari TK hingga SMA se-Indonesia adalah kurang lebih 1.800.000 murid. Namun yang sekolah di Sekolah Katolik hanya 600 ribu sekian murid. Sebanyak 1.065.672 murid yang beragama Katolik bersekolah di sekolah negeri. Artinya banyak siswa Katolik tidak sekolah di Sekolah Katolik. Mereka lebih memilih sekolah negeri. “Ini membuktikan, sekolah-sekolah kita masih belum berdaya pikat,” ungkap Romo Gandhi. (Lebih lengkap, lihat:
https://www.hidupkatolik.com/2020/02/16/46433/berbenah-bergerak-dan-berbuah.php).
Demikianlah petikan berita tentang sekolah Katolik. Sekolah-sekolah Katolik sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Begitu juga banyak lembaga pendidikan Islam. Bahkan, pendidikan madrasah dan pesantren sudah ada sebelum kedatangan penjajah dari Eropa.
Setelah meraih kemerdekaan, pemerintah Indonesia menyusun konsep dan pelaksanaan pendidikan nasional, dengan tetap mengadopsi sistem sekolah yang diterapkan sebelumnya di masa penjajahan. Karena dominasi sistem pendidikan Barat dalam peradaban global, Indonesia pun terdampak oleh sistem pendidikan yang didominasi untuk melahirkan para pekerja dalam perindustrian.
Adalah ironis, perlu waktu berpuluh tahun untuk memasukkan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah nasional di Indonesia. Tahun 1988 dan 2002 terjadi perdebatan sengit tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah; apakah ini menjadi mata pelajaran wajib di sekolah atau tidak. Ada pihak-pihak yang menghendaki agar pendidikan agama itu dilakukan di rumah, bukan di sekolah. Tetapi, akhirnya UU Sisdiknas No 2 tahun 1989 dan No 20 tahun 2003 disahkan, dengan menjadikan Pendidikan Agama Islam sebagai pelajaran wajib di sekolah.
Belajar dari perjalanan sejarah yang panjang, maka di usia kemerdekaannya yang ke-79, sudah saatnya Indonesia memberikan otonomi yang lebih besar kepada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan untuk mengatur pendidikannya sendiri. Semangat Kurikulum Merdeka yang dirumuskan dalam Permendikbud Ristek No. 12 tahun 2024 patut diteruskan. Satuan-satuan pendidikan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk menyelenggarakan proses pendidikan, sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Artinya, sekolah-sekolah Katolik, sekolah-sekolah Islam, sekolah-sekolah Protestan, dan sebagainya patut dipersilakan menyusun konsep pendidikan dan pelaksanaannya secara mandiri. Pemerintah hanya menentukan Standar Kompetensi Lulusan untuk masing-masing jenjang pendidikan. Adapun waktu dan prosesnya dibuat sefleksibel mungkin. Yang penting Kompetensi Lulusannya tercapai.
Apalagi untuk pendidikan akhlak atau pendidikan karakter. Pemerintah perlu mengayomi beragam pemeluk agama di Indonesia yang masing-masing memiliki konsep pembentukan karakter menurut agamanya masing-masing.
Apalagi untuk umat Islam, yang memiliki model dan konsep ideal dalam pembentukan karakter (akhlak). Pemerintah tidak perlu merumuskan dan memaksakan rumusan pendidikan karakter kepada umat Islam. Berikan kepercayaan besar kepada umat Islam untuk merumuskan dan menerapkan konsep pendidikan akhlak menurut ajaran Islam.
InsyaAllah dengan cara demikian, kerja pemerintah menjadi lebih ringan. Kreativitas dalam pendidikan akan mudah ditumbuhkan. Kerumitan birokrasi dan kemunafikan dalam dunia pendidikan akan semakin berkurang. Kejujuran semakin mengemuka. InsyaAllah. (Depok, 14 Juli 2024).3 16 Februari 2020, situs hidupkatolik.com menurunkan satu berita berjudul: Berbenah, Bergerak, dan Berbuah. Disebutkan, bahwa Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2008 menegaskan peran lembaga pendidikan Katolik sebagai media pewartaan kabar gembira yang unggul. “Untuk itu Sekolah Katolik mulai berbenah agar berubah dan berbuah,” begitu ditulis dalam situs tersebut.
Selanjutnya dikabarkan, bahwa hasil penilaian diri selama dua tahun, Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia (Komdik KWI) mengeluarkan 13 Asesmen Standar Tata Kelola 2017-2018 yang dilakukan secara acak terhadap yayasan atau sekolah yang tersebar di Indonesia.
Menurut Sekretaris Eksekutif Komdik KWI, Romo Thomas Becket Gandhi Hartono, SJ karakter dapat menggerakkan elemen mata pelajaran. Misalnya, ulangan Matematika membutuhkan kejujuran. Sekarang ini, pendidikan karakter menjadi lemah saat muatan-muatan yang ditanggung oleh tenaga didik. Misalkan, guru wajib mengerjakan 20 halaman RPP. Kurang adanya waktu untuk guru bereksplorasi dan mencoba menggali metode-metode belajar yang lain.
Namun sudah ada komitmen Gereja untuk mendidik umatnya berkarakter dan menghasilkan pribadi yang menjadi jati diri bangsa.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2018, jumlah siswa Katolik dari TK hingga SMA se-Indonesia adalah kurang lebih 1.800.000 murid. Namun yang sekolah di Sekolah Katolik hanya 600 ribu sekian murid. Sebanyak 1.065.672 murid yang beragama Katolik bersekolah di sekolah negeri. Artinya banyak siswa Katolik tidak sekolah di Sekolah Katolik. Mereka lebih memilih sekolah negeri. “Ini membuktikan, sekolah-sekolah kita masih belum berdaya pikat,” ungkap Romo Gandhi. (Lebih lengkap, lihat: https://www.hidupkatolik.com/2020/02/16/46433/berbenah-bergerak-dan-berbuah.php).
Demikianlah petikan berita tentang sekolah Katolik. Sekolah-sekolah Katolik sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Begitu juga banyak lembaga pendidikan Islam. Bahkan, pendidikan madrasah dan pesantren sudah ada sebelum kedatangan penjajah dari Eropa.
Setelah meraih kemerdekaan, pemerintah Indonesia menyusun konsep dan pelaksanaan pendidikan nasional, dengan tetap mengadopsi sistem sekolah yang diterapkan sebelumnya di masa penjajahan. Karena domi❤️nasi sistem pendidikan Barat dalam peradaban global, Indonesia pun terdampak oleh sistem pendidikan yang didominasi untuk melahirkan para pekerja dalam perindustrian.
Adalah ironis, perlu waktu berpuluh tahun untuk memasukkan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah nasional di Indonesia. Tahun 1988 dan 2002 terjadi perdebatan sengit tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah; apakah ini menjadi mata pelajaran wajib di sekolah atau tidak. Ada pihak-pihak yang menghendaki agar pendidikan agama itu dilakukan di rumah, bukan di sekolah. Tetapi, akhirnya UU Sisdiknas No 2 tahun 1989 dan No 20 tahun 2003 disahkan, dengan menjadikan Pendidikan Agama Islam sebagai pelajaran wajib di sekolah.
Belajar dari perjalanan sejarah yang panjang, maka di usia kemerdekaannya yang ke-79, sudah saatnya Indonesia memberikan otonomi yang lebih besar kepada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan untuk mengatur pendidikannya sendiri. Semangat Kurikulum Merdeka yang dirumuskan dalam Permendikbud Ristek No. 12 tahun 2024 patut diteruskan. Satuan-satuan pendidikan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk menyelenggarakan proses pendidikan, sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Artinya, sekolah-sekolah Katolik, sekolah-sekolah Islam, sekolah-sekolah Protestan, dan sebagainya patut dipersilakan menyusun konsep pendidikan dan pelaksanaannya secara mandiri. Pemerintah hanya menentukan Standar Kompetensi Lulusan untuk masing-masing jenjang pendidikan. Adapun waktu dan prosesnya dibuat sefleksibel mungkin. Yang penting Kompetensi Lulusannya tercapai.
Apalagi untuk pendidikan akhlak atau pendidikan karakter. Pemerintah perlu mengayomi beragam pemeluk agama di Indonesia yang masing-masing memiliki konsep pembentukan karakter menurut agamanya masing-masing.
Apalagi untuk umat Islam, yang memiliki model dan konsep ideal dalam pembentukan karakter (akhlak). Pemerintah tidak perlu merumuskan dan memaksakan rumusan pendidikan karakter kepada umat Islam. Berikan kepercayaan besar kepada umat Islam untuk merumuskan dan menerapkan konsep pendidikan akhlak menurut ajaran Islam.
InsyaAllah dengan cara demikian, kerja pemerintah menjadi lebih ringan. Kreativitas dalam pendidikan akan mudah ditumbuhkan. Kerumitan birokrasi dan kemunafikan dalam dunia pendidikan akan semakin berkurang. Kejujuran semakin mengemuka. InsyaAllah.
Admin’ Kominfo DDII Jatim