Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Mungkin hanya sedikit pelajar atau orang tua yang memperhitungkan aspek penjajahan modern dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Inilah salah satu aspek penting yang diperingatkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam pidato guru besarnya di Universiti Teknologi Malaysia tahun 2013 lalu.
Pidato itu berjudul: “Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of The University in the Context of De-Westernization and Decolonization.” Disebutkan, bahwa Globalisasi Eropa dimulai dengan perjalanan-perjalanan “penemuan” (discovery) pada akhir abad ke-15. Hal itu diikuti dengan imperialisme, yang dicirikan dengan adanya penaklukan dan pengendalian politik secara langsung dari kota-kota besar Eropa.
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, sejak abad ke-17 dan seterusnya, imperialisme ini berhasil terwujud berkat kolonisasi – dengan pembentukan komunitas-komunitas imigran di wilayah-wilayah penjajahan, meniru kota-kota besar, dan didukung dengan adanya perbudakan dan buruh kontrak— menghasilkan kolonisasi — sebuah kondisi yang mengacu pada penundukan secara sistematis bangsa terjajah.
Perkembangan yang saling terkait ini dimungkinkan oleh worldview Eropasentris yang menggambarkan perspektif epistemik tertentu. Dan itu telah menimbulkan banyak penderitaan dan kerugian politik, ekonomi, serta sosial budaya penduduk asli.
Dominasi Barat menjadi lebih intensif – dengan ikut berperannya Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20 dalam bentuk neokolonialisme – terutama melalui konsep modernisasi dan pembangunan, dan kemudian, melalui konsep demokrasi, kebebasan, dan Hak Asasi Manusia. Sepanjang abad ini, globalisasi telah menjadi, secara nyata, fundamental terkait atas tersebarnya, penanaman ‘’pandangan tertentu tentang kebenaran dan realitas dunia’’ (a particular view of truth and reality of the world); atau dengan kata yang biasa digunakan para ahli sosiologi, “universalisasi rangkaian asumsi dan narasi”, melalui saluran pendidikan dan komunikasi yang informal dan formal, ke seluruh bagian dunia.
Globalisasi saat ini, terutama jika dikaitkan pada kerangka pengetahuan, telah melampaui proses-proses sosio-geografis, budaya, dan ekonomi, dan menjadi “alasan dan pembenaran untuk kelanjutan beberapa bentuk yang sangat destruktif eksploitatif.” Neokolonialisme — melalui hegemoni proyek modernitasnya — memperdalam mitos keunggulan Barat dalam semua dimensi, aturan budaya, ilmiah, dan sosial politik ekonomi.
Hegemoni ini bahkan memasuki wilayah interpretasi agama masyarakat non-Barat, dimana sifat atau batas toleransi beragama, moderasi, pluralisme, dan Hak Asasi Manusia ditentukan secara signifikan dari perspektif Barat dan sekuler; diartikulasikan dan ditanamkan terutama di lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi.
Karena adanya dominasi global Barat di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, militer dan ekonomi selama tiga abad terakhir, dapat dipahami — walaupun bukan berarti diinginkan — jika Barat beranggapan bahwa bagian lain dari dunia ini berada di belakangnya dalam berbagai kriteria utama kemajuan dan pengembangan manusia sebagaimana diterapkan di Barat. Juga dianggap bahwa semua manusia non-Barat harus menjalani urutan serupa dalam perkembangan spiritual, sosial, dan politik sebagaimana Barat dalam rangka untuk mengejar ketinggalannya dengan, dan menjadi bagian dari umat manusia dalam masyarakat yang berkembang.
Konsep linier dan evolusi dari sejarah dan kemajuan manusia dari pusat Barat ini tidak mentoleransi adanya perbedaan pemikiran atau gagasan dari pihak lain yang bertentangan dengannya. Gagasan-gagasan yang berbeda ini akan dianggap sebagai reaksioner, anti-modern, anakronistik, tradisional, tidak wajar, radikal, anti-kemanusiaan; atau akan dikemas ke dalam idiom dan kategori yang dapat diterima oleh pandangan yang dominan dan kepentingan pusat (Barat).
Pandangan non-Barat tentang Kebenaran dan Realitas, dan bentuk serta perspektif pengetahuan dan pembangunan mereka tentang manusia, dianggap sebagai bersifat lokal dan partikular, dan karenanya tidak betsifat universal. Maka, kemanusiaan dianggap tidak akan memiliki masa depan kecuali apa yang telah dipahamai dalam kerangka ilmiah dan worldview demokrasi dan liberal Eropa.
Dengan itu, bahasa, masyarakat, kebudayaan, ekonomi, dan teknologi China dan Timur Jauh, India dan Benua Asia, Negara-negara Melayu dan Pasifik, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika telah berubah secara signifikan, yang bahkan dalam beberapa kasus tidak dapat dikembalikan lagi. Untuk menjadi modern dan beradab dan agar dapat diterima sejajar dengan Barat, pada dasarnya suatu negara akan menjadi ke-Barat-baratan. Itu adalah persyaratan yang sebenarnya diragukan, namun banyak negara non-Barat dan negara muslim yang tampaknya menerima pandangan semacam itu.
Itulah peringatan penting dari seorang pakar pendidikan dan pemikiran Islam yang menghabiskan masa kuliah S1-S3-nya di Amerika Serikat. Perjumpaannya dengan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas membawanya pada pemahaman dan semangat baru untuk melakukan Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer. Sebab, memang akar masalah umat Islam dewasa ini ada pada kerusakan ilmu, khususnya ilmu-ilmu di peringkat pendidikan tinggi.
Karena itulah, Prof. Wan Mohd Nor tak henti-hentinya mengingatkan para cendekiawan muslim agar benar-benar serius dalam memahami infiltrasi dan penjajahan pemikiran di dunia perguruan tinggi. Tak hanya itu! Selepas membantu Prof. al-Attas dalam mengelola ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), beliau mendirikan CASIS (Center for Advanced Studies on Islam Science and Civilization) di Universiti Teknologi Malaysia.
Jadi, beliau memberikan contoh, bagaimana menghadapi hegemoni pemikiran Barat secara ilmiah dan akademis. Invasi pemikiran bukan untuk diratapi, tetapi dijadikan sebagai tantangan untuk memperbaiki pendidikan tinggi kita dan melahirkan cendekiawan-cendekiwan muslim yang baik.
Barat adalah peradaban besar yang telah memimpin umat manusia selama ratusan tahun. Umat Islam tidak boleh bersikap a priori menolak apa pun yang datang dari Barat. Tetapi, wajib bersikap kritis dalam menerima pemikiran dari peradaban lain. Karena itu, beliau sangat menekankan agar umat Islam benar-benar serius dalam memahami peradaban Barat agar jangan terjebak oleh pemikiran-pemikiran yang seolah-olah indah, padahal merusak dan menyesatkan. Wallahu A’lam bish-shawab.
Admin: Kominfo DDII Jatim