Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Ketua Bidang Masjid, Pesantren dan Kampus (MPK) DDII Jatim
Dewandakwahjatim, Surabaya – Lepasnya jilbab bagi muslimah peserta Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 semakin menegaskan bahwa telah terjadi imperialisme atas nilai-nilai Islam. dikatakan imperialisme atas nilai-nilai Islam berupa larangan mengekspresikan kebebasan beragama. Hal ini sangat ironis dengan momentum perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, yang mana sebagai tanda merdeka dari terbebasnya dari keterjajahan kolonial. Penjajah kolonial itu sendiri membawa misi agama terselubung yang mengancam Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Lebih ironis lagi bahwa hal ini terjadi di negara mayoritas muslim. Di sisi lain, negara melindungi kebebasan beragama yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Lepasnya Jilbab
Reaksi keras muncul dari berbagai ormas Islam terkait dengan lepasnya jilbab bagi muslimah para peserta Paskibraka 2024. Setidaknya ada 18 peserta yang lepas jilbab sehingga mengagetkan berbagai pihak. Bahkan delegasi Aceh meminta untuk memulangkan pesertanya karena dianggap telah melecehkan nilai-nilai agama.
Fenomena ini setidaknya sangat kontras dengan beberapa konteks.
Pertama, spirit penyelenggaraan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia sebagai ekspresi terbebasnya dari penjajahan kolonial. Dengan kata lain, ritual tahunan ini mengekspresikan kemerdekaan yang berhasil diperjuangkan para founding fathers dan para pejuang negara ini. Terlebih lagi para pejuang ini digerakkan oleh para ulama Islam sebagai pembawa misi keagamaan yang ingin membebaskan negeri ini dari penjajahan ekonomi dan agama.
Oleh karena itu, sangat ironis memperingati kemerdekaan untuk mengingatkan betapa kejamnya penjajah di satu sisi. Namun di sisi lain, terjadi tekanan, berupa larangan mengenakan jilbab yang dilakukan oleh elite negara atas anak negeri.
Kedua, dalam pembukaan UUD 1945 tertulis spirit ketuhanan atas diraihnya kemerdekaan. Hal ini sebagaimana tertulis “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Merdeka disini merupakan karunia Allah atas bangsa ini, yang berkosekuensi Merdeka untuk mengekspresikan nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri.
Ketiga, negara menjamin kebebasan beragama. Pasal 29 ayat 1 sangat jelas mengatur bahwa setiap warga negara bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, kemudian di ayat 2 menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Berjilbab merupakan ekspresi atas nilai-nilai agama dan hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
Keempat, negara memberi toleransi terhadap perbedaan dalam mengekspresikan nilai-nilai agama. Larangan jilbab bagi peserta Muslimah para peserta Paskibraka merupakan bentuk intoleransi negara atas warganya yang ingin mengekspresikan kebebasan beragama. Kalau selama ini umat Islam dituduh sebagai kelompok masyarakat intoleran tetapi saat ini negara justru menunjukkan sikap imperialis yang melakukan tekanan terhadap warganya yang mengekspresikan kebebasan beragama berupa mengenakan jilbab.
Kelima, sebagai negara mayoritas muslim berkepentingan menjalankan nilai-nilai agamanya. Mengenakan jilbab bagi perempuan merupakan salah satu ajaran Islam, sehingga melarangnya dengan alasan yang dicari-cari jelas mengganggu kepentingan warga mayoritas. Dengan kata lain, larangan berjilbab sebagai bentuk penjajahan atas ekspresi beragama warga mayoritas yang ingin mengekespresikan nilai-nilai agama.
Imperialisme Agama
Apa yang terjadi pada para Muslimah peserta Paskibraka yang terlarang mengenakan jilbab jelas melukai hati dan perasaan umat Islam. terlebih laih, mengenakan jilbab bagi muslimah telah ditanamkan orang tua yang telah mendidik sejak dini. Betapa imperialisnya melarang mengenakan jilbab pada saat merayakan kemerdekaan di negeri mayoritas muslim. Melepas Jilbab bagi muslimah benar-benar imperialime atas tergerogotinya nilai-nilai agama dan mengancam kebebasan beragama.
Belum lagi perkembangan dakwah Islam saat ini cukup luas, sehingga syiar Islam pun meluas. Banyak perempuan mengenakan jilbab merupakan fenomena keberhasilan dakwah Islam. Kalangan kepolisian tidak luput dari sentuhan dakwah sehingga memberi ruang bagi Polwan untuk mengenakan Jilbab.
Oleh karenanya, sangat ironis ketika memperingati kemerdekaan tetapi justru terjadi tragedi pelepasan jilbab atas perempuan Muslimah.
Delegasi Aceh pantas untuk menjadi contoh karena memerintahkan delegasinya dengan memulangkan peserta yang telah dikirimkan, dan hal ini sebagai bentuk protes atas kebijakan yang melukai perasaan umat Islam serta melecehkan nilai-nilai Islam. Aceh pantas melakukan hal ini, karena wilayahnya telah menerapkan syariat Islam. sehingga amat ironis apabila delegasi Aceh tetap mengikuti upacara kemerdekaan dengan tanpa jilbab bagi utusannya.
Publik pun mengaitkan adanya larangan mengenakan jilbab itu tidak lepas dari dua sosok yang ada di BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), yakni Megawati sebagai Ketua Pembina BPIP, dan Yudian Wahyudi sebagai ketua BPIP.
Sebagaimana diketahui bahwa Megawati dipandang publik sebagai orang yang tidak percaya akhirat. Sehingga larangan berjilbab bagi para peserta Paskibraka mengalami pembiaran.
Sementara Yudian sebagai ketua BPIP dipandang sebagai penganut liberalisme sehingga membiarkan adanya imperialisme atas nilai-nilai Islam.
Surabaya, 15 Agustus 2024
Admin: Kominfo DDII Jatim