Pemimpin Harus Selalu Peduli

Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Mengherankan, jika ada “calon pemimpin” yang ketika sedang bersama-sama masyarakat tergesa-gesa ingin menyudahi pertemuan hanya karena dia terikat dengan jadwal tidur. Menyedihkan, jika ada pemimpin / pejabat yang mengelak dari persoalan masyarakat di wilayahnya dengan dalih dia sedang tidur ketika persoalan itu terjadi.

Tidur dan Tidur

Di sebuah acara pada 2023, seorang “calon pemimpin” tampak terburu-buru untuk menyudahi pembicaraannya dengan alasan akan tidur. “Pokoknya santai aja, jam 9 pulang ya. Saya mau tidur ya,” kata si “calon pemimpin”.
Luar biasa! Di saat berbincang bersama masyarakat terkait aspirasi mereka, si “calon pemimpin” membatasi waktunya dengan alasan yang sangat remeh: Akan tidur!
Ini kisah lain, juga di 2023. Seorang pejabat mengelak dari sebuah persoalan dengan alasan dia masih tidur ketika masalah itu terjadi.

Apapun, alasan sedang tidur dari seorang pejabat untuk menghindar dari problema yang dihadapinya sungguh sangat tak bisa diterima. Rasanya, baru kali ini ada pejabat mengajukan alasan sedang tidur untuk menghindari sebuah persoalan.

Ini Pemimpin!

Mari buka sejarah! Umar bin Khaththab Ra adalah pemimpin yang sangat peduli kepada rakyatnya. Sangat sering Umar bin Khaththab Ra melakukan perjalanan diam-diam. Di saat melakukannya dia sering menyamar.

Untuk apa? Umar bin Khaththab Ra ingin mengetahui kehidupan rakyatnya. Dia khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh pemerintahannya.

Dalam menjalankan aktivitas tersebut, kadang Umar bin Khaththab Ra sendirian. Sementara, pada kesempatan lain ditemani salah seorang sahabatnya.

Di sebuah malam, ditemani seorang sahabat–Aslam-, Umar bin Khaththab Ra berkeliling lagi. Dari sebuah gubuk Umar bin Khaththab Ra mendengar tangis anak-anak yang kelaparan. 

Dari sebuah celah, tampaklah oleh Umar bin Khaththab Ra, seorang ibu sedang memasak di dekat anak-anak itu. Lelah menangis sambil menunggu sang ibu memasak, anak-anak itu tertidur.

Umar bin Khaththab Ra penasaran. Dia lalu mengetuk pintu dan memberi salam. 
”Maaf, terlihat anak-anak Ibu sangat lapar. Mengapa masakan Ibu tak kunjung matang,” tanya Umar bin Khaththab Ra.
“Tidak ada makanan. Dari tadi saya hanya merebus batu yang dikira oleh anak-anak sebagai makanan. Oleh karena kelelahan, mereka tertidur,” jelas ibu–yang janda-itu dengan sedih.
“Mengapa Ibu tidak minta bantuan Khalifah,” selidik Umar bin Khaththab Ra.
“Khalifah tak peduli! Dia sibuk,” tukas ibu tersebut.

Umar bin Khaththab Ra terkesiap, tapi tetap berusaha tenang. Lalu, dia pamit dan bergegas menuju Baitul Maal (gudang perbendaharaan negara). Dia ambil sekarung gandum dan memikulnya menuju gubuk tadi. Aslam yang menyaksikan hal itu tak tega.
“Biar saya yang memikulnya, wahai Khalifah,” pinta Aslam.
“Tidak, terima kasih. Kelak, apa bisa engkau memikul dosa saya di akhirat karena saya telah membiarkan rakyat kelaparan,” tukas Umar bin Khaththab Ra cepat.

Demi sebuah tanggung jawab, sambil memikul gandum di kegelapan malam, Umar bin Khaththab Ra–sang khalifah-terus melangkah menuju gubuk tempat ibu dan anak-anaknya yang sedang kelaparan itu. Inilah, potret pemimpin amanah!

Sebuah Refleksi

Duhai semua (calon) pemimpin / pejabat. Teladanilah Umar bin Khaththab Ra. Jam kerjanya sebagai pemimpin, bisa dibilang, 24 jam. Sering, malam-malam, digunakan untuk memantau perkembangan kesejahteraan warga masyarakat.

Di samping kisah ”Umar Ra Memanggul Gandum untuk Rakyat” seperti di atas, masih ada sejumlah kisah yang serupa. Itulah Umar bin Khaththab Ra, salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia. Itulah pemimpin, yang selalu memikirkan kesejahteraan sekelilingnya.

Keselamatan seekor keledai, bahkan dipikirkan Umar bin Khaththab Ra juga. Berikut ini, pikiran reflektif Umar bin Khaththab Ra yang tersohor itu. Bahwa, kata dia, andai ada seekor keledai terperosok di Kota Baghdad niscaya Umar bin Khaththab akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Umar bin Khaththab Ra khawatir dengan gugatan ini di Hari Perhitungan: Mengapa Umar bin Khaththab tidak membaguskan jalan sedemikian rupa tak ada yang terperosok termasuk meski dia seekor keledai?

Cermatilah konteks nilai penting dan mendasar dari pikiran Umar bin Khaththab Ra di atas. Bahwa, Umar bin Khaththab Ra yang kala itu tinggal di Madinah memikirkan kesejahteraan bagi siapapun termasuk sampai ke mereka yang tinggal di Baghdad – Irak.

Itulah contoh pemimpin yang hati dan penglihatannya selalu berjaga-jaga. Perhatiannya tidak pernah “tidur” dari usaha memenuhi tanggungjawab sebagai seorang pemimpin.

Demikianlah, kini kita bisa berefleksi: Bisakah berharap kepada (calon) pemimpin yang masih sempat-sempatnya memikirkan tidur ketika sedang berada di tengah-tengah masyarakat?

Ayat dan Kisah

Perhatikan ayat ini: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (QS Shaad [38]: 26).

Pada ayat di atas, penguasa diwajibkan untuk adil. Hemat Hamka, adil dan benar itu hal yang sama. Bahwa, yang adil itu pasti benar dan yang benar itu pasti adil. Sungguh, lanjut Hamka, kekuasaan itu satu ujian yang berat. Kekuasaan bisa saja menyebabkan orang lupa dari mana dia menerima kekuasan itu, lalu dia berbuat sewenang-wenang (2003: 6172).

Hamka pun melengkapi penjelasannya dengan kisah berikut ini. Sebuah kisah yang menggambarkan bahwa konsekwensi memegang kekuasaan itu sungguh berat.

Tersebutlah sebuah kisah tentang khalifah Bani Umayyah bernama Al-Walid bin Abdul Malik. Dia bertanya kepada Ulama Besar, Abu Zar’ah.
“Apakah seorang khalifah akan dihisab juga di hari kiamat? Engkau telah banyak membaca kitab orang dulu-dulu. Al-Qur’an pun telah engkau selidiki. Bagaimanakah katanya di sana, tanya khalifah.
“Yaa Amirul Mukminin, bolehkah aku bercakap,” respons Abu Zar’ah.
“Boleh, bebas. Katakanlah terus terang, engkau aman,” tukas khalifah.
“Yaa Amirul Mukminin, Andakah yang lebih mulia di sisi Allah atau Nabi Daud? Nabi Daud, berkumpul padanya nubuwwat dan khilafat, namun dia diwajibkan oleh Allah menghukum kepada manusia dengan benar (adil) dan jangan memperturutkan hawa-nafsu. Juga, diancam bahwa orang yang memperturutkan hawa-nafsunya digolongkan sebagai orang yang lupa akan hari perhitungan,” jelas Abu Zar’ah.
Khalifah pun terdiam (2003: 6173).

Alhasil, menjadi pemimpin atau penguasa sungguh berat tanggung-jawabnya. Amanat yang dipegangnya, harus ditunaikan dengan baik. Dia harus adil. Dia harus benar dalam menjalankan kekuasaan. Jangan turuti hawa-nafsu.

Sungguh, pemimpin pada tingkat apa pun harus selalu peduli kepada semua warga yang dipimpinnya. Tak boleh seenaknya sendiri dalam memimpin. []

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *