Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim. com, Surabaya – Siapapun yang mencintai Allah, perhatikanlah ayat ini:“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS Al-Anbiyaa’ [23]: 35).
Terkait ayat di atas, setiap diri yang disebut nafs, pasti berhenti. Demikian kata Hamka di Tafsir Al-Azhar. Berhenti ber-nafs, niscaya yang diberi nafs itu tidak ada lagi. Jelaslah, nafs itu hidup. Berhenti nafs, berhenti hidup atau mati. Itu akan dialami semua manusia, termasuk para Nabi. “Jalan lain tak ada,” simpul Hamka (2003: 4572).
Selanjutnya, simaklah ayat ini: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 2).
Terkait, kata Hamka, siapapun yang lahir ke dunia sudah pasti akan mati. Oleh karena itu, saat di antara hidup dan mati itulah, kita harus mempertinggi mutu amal diri. Berbuat amal-lah yang terlebih baik atau yang bermutu. Ketahuilah, yang dikehendaki Allah dari kita adalah Ahsanu ‘Amalan (amalan yang terlebih baik) biarpun sedikit. Hal yang diharapkan, bukan amalan yang banyak tapi tidak bermutu.
Maka, pesan Hamka lebih jauh, jangan-lah beramal hanya karena mengharapkan banyak bilangan atau kuantitas. Sikap yang benar, beramal-lah yang bermutu tinggi walaupun sedikit (2003: 7532).
Pesan Penting
Perhatikan ayat ini: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS Al-Jumu’ah [62]: 8).
“Ke mana kamu akan lari mengelak dari maut,” tanya Hamka retoris saat memberi catatan terhadap ayat di atas. “Padahal di tempat kamu akan bersembunyi itulah dia menunggu,” kata Hamka (2003: 7370).
Intinya, kematian adalah sesuatu yang pasti akan menemui semua orang. Di usia berapa akan mati? Jawaban atas pertanyaan ini, tak seorangpun yang tahu.
Tak seorangpun tahu kapan dirinya akan mati. Di sini, ada pelajaran atau nasihat, agar semua orang selalu siap kapanpun dijumpai kematian. Dengan sikap “selalu siap” seperti ini, benar adanya bahwa kematian itu adalah sebuah nasihat.
Pelajaran Jelas
Berikut ini sekadar contoh. Di Pamekasan, 2 Syawal 1445 atau 11 April 2024, ada kematian yang bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Memang, saat wafat di usia sekitar 50 tahun, Almarhum tidak sedang sujud saat shalat. Almarhum tidak sedang mengaji atau sedang berceramah. Tapi rangkaian (sebagian) aktivitasnya di hari-hari akhir hidupnya cukup mengesankan.
Nama dia, Shaleh Abdullah. Profesi, pengusaha. Sebelumya, saya tidak mengenalnya.
Rabu 1 Syawal 1445 atau 10 April 2024, Almarhum datang ke rumah saya. Dia (bersama anak lelakinya) bertamu ke adik saya. Keduanya berteman saat di TK dan SMP. Mengingat suasana Idul Fitri, saya-yang sebelumnya tidak mengenalnya-ikut menemui tamu tersebut.
Adik saya berprofesi sebagai dosen di salah satu PTN di Surabaya. Inti kedatangan Almarhum, meminta pendapat adik saya terkait langkah terbaik untuk pendidikan sang putera yang lulus SMA tahun ini.
Pembicaraan diakhiri dengan undangan kepada adik saya, agar berkenan hadir di rumah dia esoknya. Kata Almarhum, insya Allah akan disiapkan menu istimewa. Almarhum juga berharap, adik saya datang bersama istrinya.
Pas saat yang dijanjikan, Kamis 2 Syawal 1445 atau 11 April 2024 bakda maghrib (malam Jumat) adik saya memenuhi undangan Almarhum. Adik saya datang sendirian, tidak bersama sang istri karena lelah sehabis dari luar kota.
Singkat kisah, jamuan dimulai, hanya berdua saja. Subhanallah, hanya masuk satu suap saja, tiba-tiba Almarhum terlihat tentunduk. Tertunduk, wajahnya mendekati piring yang dipegangnya.
Setelah istri dan tiga putra-putrinya juga turut melihat perubahan situasi yang sangat cepat itu, adik saya menyimpulkan bahwa si sahabat telah wafat.
Meski begitu, untuk lebih meyakinkan, Almarhum oleh keluarganya dibawa ke klinik. Hasilnya, dipastikan memang sudah meninggal dunia. Inna lillahi wa inna lillahi roji’un.
Baik, Insya Allah
Saya tidak kenal secara pribadi Almarhum. Saya mengenalnya sehari sebelum dia meninggal, saat Almarhum bertamu ke rumah.
Hanya saja, ada serangkaian catatan akhir hidupnya yang bisa membuat kita “iri”. Bukankah, Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan bahwa nasib orang itu tergantung di akhirnya?
Mari, kita cermati. Pertama, insya Allah Almarhum baru saja “sempurna” menyelesaikan puasa Ramadan (lengkap dengan iktikaf di akhir Ramadhan, yang di salah satu malamnya ketemu adik saya di sebuah masjid di Pamekasan). Kita tahu, pahala yang dijanjikan Allah kepada mereka yang berpuasa karena iman dan semata-mata mengharap pahala dari Allah.
Kedua, di akhir-akhir hidupnya, Almarhum serius memikirkan kelanjutan pendidikan putranya. Boleh jadi, almarhum hendak mengamalkan ayat ini: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS An-Nisaa‘ [4]: 9).
Ketiga, dia bersilaturahim ke sahabatnya, adik saya. Almarhum, silaturrahim membawa putranya (setelah sang ayah tiada, si anak bisa meneruskan silaturrahim dengan sahabat sang ayah sesuai sunnah Nabi Saw).
Keempat, tepat di hari dia meninggal, dia undang sahabatnya untuk dijamu sekalian untuk buka puasa syawal yang dia tunaikan.
Kelima, Almarhum meninggal di hari Kamis bakda maghrib, pukul 18.30. Artinya, itu sudah masuk hari Jum’at.
Nasihat Kuat
Di atas disebutkan, bahwa di saat akhir hidupnya dia terus memikirkan kelanjutan pendidikan anaknya (yang merupakan anak ketiga). Di luar itu, ternyata di hari-hari akhir hidupnya “Almarhum juga sudah menyiapkan alih pengelolaan bisnisnya ke anak lelakinya yang pertama. Sepertinya, Almarhum telah menata dengan baik kehidupan keluarganya sepeninggal dia,” kenang adik saya.
Kisah di atas insya Allah bisa membangunkan kesadaran kita. Bahwa, pertama, berdasar QS Ali ‘Imran [3]: 185, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”. Kedua, kematian bisa datang kapan saja, di usia yang tak seorangpun tahu.
Kematian punya “aneka jalan”, tak harus didahului sakit. Kematian itu jalan yang pasti akan kita lalui. “Jalan lain tak ada,” tutur Hamka []
Admin: KOMINFO DDII Jatim