Artikel Terbaru ke-1.888
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Gerbang kemerdekaan Palestina kian terbuka. Dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB (10/5/2024), mayoritas negara mendukung upaya Palestina menjadi anggota penuh PBB. Negara Palestina harus diterima di PBB dan memberi mereka hak tambahan sebagai pengamat. Resolusi Mejelis Umum PBB itu mendapat dukungan 143 suara setuju, 9 menentang, dan 25 abstain.
“Saya telah berdiri ratusan kali di podium ini, tetapi belum pernah untuk pemungutan suara yang lebih signifikan daripada pemungutan suara yang bersejarah ini,” kata Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour.
Akan tetapi, Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan mengatakan, resolusi tersebut membuatnya muak. “Dengan preseden baru ini, kita mungkin melihat perwakilan ISIS atau Boko Haram akan duduk di antara kita,” kata Erdan.
Wakil Duta Besar AS untuk PBB Robert Wood menyebut resolusi tersebut sebagai teks yang tidak produktif. “Meskipun pilihan kami tidak mencerminkan penolakan terhadap negara Palestina. Namun, AS tetap berpandangan bahwa tindakan sepihak di PBB dan di lapangan tidak akan mencapai tujuan ini,” katanya.
Keputusan Majelis Umum PBB itu merupakan upaya sejumlah negara untuk membela Palestina, setelah Amerika Serikat menveto resolusi serupa di Dewan Keamanan PBB pada 18 April 2024. Dengan Resolusi Majelis Umum PBB itu, maka negara Palestina memenuhi syarat untuk menjadi anggota PBB sesuai dengan Pasal 4 Piagam dan oleh karena itu harus diterima. (https://www.beritasatu.com/internasional/2816025/majelis-umum-pbb-gelar-voting-untuk-keanggotaan-penuh-palestina).
Hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB itu – untuk kesekian kalinya – mempertontonkan ironi gagasan demokrasi di Barat. Suara mayoritas negara dan umat manusia dikalahkan oleh suara minoritas, bahkan hanya beberapa negara saja yang tidak mendukung kemerdekaan Palestina. Dunia sudah setuju agar bangsa Palestina diberikan hak untuk membentuk negara merdeka yang berdampingan dengan negara Israel (two state solution).
Padahal, peradaban Barat selama ini membanggakan demokrasi sebagai sistem politik yang terbaik. Pemerintah dipilih berdasarkan suara terbanyak. Tapi, anehnya, sejak berdirinya PBB, mereka memaksakan sistem veto dalam Dewan Keamanan PBB yang hanya dimiliki oleh lima negara sebagai anggota tetap. Jika ada satu negara saja dari lima negara itu yang menolak resolusi Dewan Keamanan, maka resolusi itu pun tidak dapat disahkan.
Ada lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu adalah Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, Cina. Sepuluh negara anggota Dewan Keamanan lainnya dipilih setiap dua tahun oleh Majelis Umum PBB.
Dalam pasal 29 Piagam PBB dikatakan: “Decision of the Security Council on all other matters shall be made by an affirmative vote of nine members including the concurring votes of the permanent members.”
Sistem Dewan Keamanan PBB yang “tidak demokratis” ini menunjukkan, bahwa faktanya, Demokrasi Liberal adalah sebuah pilihan yang tidak selalu didukung oleh Barat dan negara-negara kuat. Jadi, Barat sebenarnya tidak percaya pada falsafah demokrasi, bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox dei). Selama puluhan tahun, banyak negara – termasuk Indonesia — yang menuntut dilakukannya restrukturisasi PBB.
Jadi, di dalam politik praktis di dunia internasional, demokrasi masih dijadikan sekedar jargon. Yang berlaku bukan jargon: suara rakyat, suara Tuhan. Tapi, siapa yang kuat, itulah yang selalu benar (might is right).
Menyusul runtuhnya Uni Soviet, terbit satu buku karya Francis Fukuyama berjudul “The End of History and The Last Man”.
Menurut Fukuyama, setelah Barat menaklukkan rival ideologisnya, monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme, dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi, bahwa demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan.
Dalam bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem demokrasi-liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa – sesuai Ramalan Hegel – maka akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka untuk menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara; tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30 negara; dan 1990, 61 negara.
Pada ‘akhir sejarah’, kata Fukuyama, tidak ada lagi tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal.
Di masa lalu, manusia menolak Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan Demokrasi Liberal
Kini, dunia menyaksikan kebiadaban terhadap bangsa Palestina di Gaza. Sangat nyata bahwa negara Yahudi Israel melakukan praktik genosida terhadap rakyat Palestina. Melalui Majelis Umum PBB, dunia sudah bersuara. Hanya Amerika Serikat dan delapan negara lain yang membela Israel. Di sinilah nilai-nilai demoktrasi dan kemanusiaan telah dihina dan diruntuhkan oleh Amerika dan beberapa negara itu. Tidak mungkin kezaliman akan bertahan selamanya! (Depok, 11 Mei 2024).
Admin: KOMINFO DDII Jatim