Artikel ke-1.862
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Beberapa hari lalu, saya menerima kiriman video dari seorang pimpinan sebuah lembaga pendidikan Islam. Ia seorang aktivis Islam yang memiliki semangat tinggi dalam dakwah. Isinya tentang petikan ucapan seorang mantan menteri tentang sedikitnya mahasiswa Indonesia di kampus-kampus ternama di dunia.
“Di Harvard ada 700 orang Korea, lima orang Indonesia. Di Columbia University ada 1200 orang Tiongkok, 11 orang Indonesia. Di Cambridge, ada 700 orang Tiongkok, 450 orang Singapura, 400 orang Malaysia, 11 orang Indonesia… That’s the reflection of our future,” begitu petikan video yang saya terima.
Sang aktivis itu pun menyampaikan harapannya: “Semoga ada orang Islam yang bisa menembus universitas-universitas ternama dunia!”
Kepada beliau saya kirimkan balasan singkat: “UniversItas terbaik itu yang mendidik mahasiswanya jadi orang taqwa.”
Video yang beredar tersebut sudah beberapa tahun lalu menjadi berita di sejumlah media. Pada 18 Mei 2013, situs detik.com, pernah menulis berita dengan judul: Gita Wirjawan: Mahasiswa Korea Masuk Harvard 700 Orang, RI Hanya 5 Orang. Disebutkan, bahwa Menteri Perdagangan Gita Wirjawan berharap lebih banyak orang Indonesia yang bisa belajar di Universitas Harvard, AS. Sebab, universitas ini dinilai menghasilkan lulusan yang kompeten dan dikenal di penjuru dunia.
Gita yang merupakan lulusan Harvard tahun 2000 mengatakan, saat ini sangat sedikit orang Indonesia yang kuliah di Harvard. Bahkan secara keseluruhan, jumlah mahasiswa Indonesia yang mengenyam pendidikan di Amerika Serikat masih minim. China dan India adalah dua negara yang sering mengirimkan mahasiswa terbaiknya untuk mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. “Sebanyak 140 ribu mahasiswa asal Tiongkok belajar ke AS (Amerika Serikat), India 120 ribu, sedangkan Indonesia hanya 7.500 orang,” imbuhnya.
Dengan kiriman pesan singkat kepada sang aktivis pendidikan tersebut, tentu saja saya tidak sedang memandang rendah kampus-kampus di Amerika Serikat dan Eropa tersebut. Tetapi, kita perlu memiliki pandangan dan sikap yang adil terhadap kampus-kampus tersebut. Ada keunggulan mereka yang perlu kita ambil, tetapi juga ada kelemahan bahkan kesalahan mendasar dalam sistem pendidikan mereka.
Alhamdulillah, saya sempat mengunjungi beberapa kampus terkenal di Inggris, seperti Oxford University, School of Oriental and African Studies (SOAS) London, Edinburg University, Manchester University, Monash University, Australian National University, dan sebagainya.
Saat menempuh pendidikan doktor di International Institute of Islamic Thought and Civilization — Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), saya sempat mengambil mata kuliah Greek Philosophy dan Bahasa Latin dengan Prof. Paul Letticnk dari Belanda.
Saya melihat dan merasakan ketinggian budaya ilmu yang dimiliki oleh universitas-universitas hebat di negara-negara Barat tersebut. Budaya ilmu inilah yang perlu kita contoh. Tapi, sebagai muslim dan sebagai bangsa Indonesia, kita memiliki konsep ilmu dan worldview yang khas, yang berbeda secara fundamental dengan kampus-kampus di Barat tersebut.
Amanah pendidikan nasional kita adalah melahirkan manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, serta cerdas, kreatif, mandiri, dan sebagainya. Konsep pendidikan itu kita rumuskan dengan keyakinan bahwa kita ingin meraih kemajuan dan kemakmuran, tetapi tidak menjiplak begitu saja konsep-konsep pendidikan dan pembangunan dari negara-negara Barat.
Sejak zaman penjajahan Belanda dulu, tokoh-tokoh pendidikan kita, seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Mohammad Natsir, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya, sudah merumuskan dan mencontohkan model pendidikan yang hebat. Masalahnya, justru konsep pendidikan para tokoh kita itu tidak diterapkan sepenuhnya.
Ki Hadjar Dewantara banyak menulis artikel yang mengritik model pendidikan Barat yang hanya mendidik anak-anak menjadi buruh dan kurang pendidikan akhlak atau budi pekerti. Mohammad Natsir bersama Mohammad Hatta dan tokoh lain, memelopori pendirian universitas pertama di Indonesia, yaitu Sekolah Tinggi Islam (STI).
Jadi, masalah utama pendidikan kita – termasuk pendidikan Islam – bukan soal jumlah mahasiswa kita di luar negeri, tetapi masalahnya masih berkutat pada persoalan adab dan sikap rendah diri. Bagaimana kita memahami dan mendudukkan segala sesuatu secara adil. Mana yang terpenting, mana yang penting, mana yang kurang penting, dan mana yang tidak penting atau mudharat.
Kemajuan pendidikan Barat kita akui dan kita ambil yang bermanfaat. Kita tidak boleh menolak secara a priori apa saja yang bermanfaat, dari peradaban mana saja. Itulah sikap yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para ilmuwan kita.
Pada saat yang sama, kita juga tidak boleh bersikap rendah diri terhadap bangsa lain, yang secara materi dan teknologi lebih maju, tetapi secara keimanan dan akhlak tak patut dicontoh. Kita yakin, jika iman, taqwa, dan akhlak mulia tertanam dengan baik, maka kemakmuran ekonomi, kemajuan sains dan teknologi akan bisa dikuasai dengan mudah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 14 April 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: Ainur Rofik Sophiaan