BUNG KARNO MEMUJI MOHAMMAD NATSIR SEBAGAI DAI BERMUTU TINGGI

Artikel ke-1.849
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatm.com. Deppk – Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, dimuat 12 surat Soekarno kepada Ahmad Hassan, guru Mohammad Natsir. Ketika itu Soekarno sedang menjalani hukuman pengasingan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dalam suratnya, setidaknya dua kali Bung Karno memuji Mohammad Natsir, sebagai dai yang bermutu tinggi.


Di surat tanggal 25 Januari 1935, Bung Karno memuji Mohammad Natsir, setelah membaca tulisan-tulisannya yang berbahasa Belanda. Kepada A. Hassan, Bung Karno menulis: “Haraplah sampaikan saya punya compliment kepada Tuan Natsir atas ia punya tulisan-tulisan yang memakai bahasa Belanda. Antara lain ia punya inleiding di dalam Komt tot het gebed adalah menarik hati.”

Di surat kesembilan, tanggal 22 April 1935, Bung Karno juga menyebut nama Mohammad Natsir: “Alangkah baiknya kalau Tuan punya mubalig-mubalig nanti bermutu tinggi, seperti Tuan M. Natsir, misalnya! Saya punya keyakinan yang sedalam-dalamnya ialah bahwa Islam di sini – ya di seluruh dunia – tak akan menjadi bersinar kembali kalau kita orang Islam masihmempunyai “sikap hidup” secara kuno saja, yang menolak tiap-tiap “kebaratan” dan “kemoderenan”.”
Adalah menarik mencermati hubungan Soekarno, A. Hassan dan Mohammad Natsir. Dalam 12 suratnya kepada A. Hassan, tampak keduanya sangat akrab. Tetapi, di kemudian hari, Soekarno terlibat perdebatan serius dengan A. Hassan dan M. Natsir. Soekarno memiliki gagasan tentang pembaruan Islam yang dipandang kebablasan, sehingga sampai mendukung kebijakan penerapan sekulerisme Musthafa Attaturk di Turki.

Salah satu contoh perbedaan antara kedua tokoh itu dalam soal pemikiran Islam, adalah pandangan mereka tentang kedudukan akal dalam Islam. Contohnya adalah soal air ”liur anjing”.

Adalah menarik mencermati cara Mohammad Natsir mengkritik pemikiran ”rasional” Soekarno.

Soekarno memahami hadits Nabi tentang cara membersihkan air liur anjing, sebagaimana dimuat dalam artikel Soekarno berjudul ”Masyarakat Kapal Udara” (Majalah Pandji Islam, 22 April 1940).


”Buanglah air itu dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin,” perintah Soekarno pada anaknya. Menurut Soekarno, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.

Dalam hal ini, Natsir berbeda pendapat dengan Soekarno. Ia memandang, bahwa dalam soal mencuci dengan tanah itu ada aspek ubudiyah dan aspek keduniaan, sebagaimana dalam shalat ada aspek ubudiah dan juga ada aspek pergerakan badan. (Lihat Endang Saifuddin Anshari (ed), Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988).


Selisih umur Soekarno dan Natsir tidak jauh berbeda; hanya 7 tahun. Soekarno lahir tahun 1901, Natsir lahir 1908. Jadi, saat menulis surat kepada A. Hassan, tahun 1935, umur Soekarno baru 34 tahun, dan Natsir 28 tahun. Bisa dikatakan kedua tokoh itu mewakili dua aliran ideologi politik utama yang eksis di Indonesia, hingga kini, yaitu nasionalis Islam dan nasionalis sekuler.

Yang patut kita cermati adalah tingkat kematangan dan keluasan berpikir kedua tokoh bangsa itu. Keduanya menjalani proses pendidikan model Barat yang sangat kuat dalam menekankan aspek empiris dan rasional. Soekarno sempat menyelesaikan kuliahnya bidang arsitektur. Sedangkan Mohammad Natsir menjalani pendidikan model Barat hanya sampai tingkat SMA.

Ada persamaan proses pendidikan antara Soekarno dengan Natsir. Sejak umur 15 tahun, Soekarno sudah dipondokkan oleh orang tuanya di rumah HOS Tjokroaminoto. Sedangkan Natsir, sejak duduk di bangku SMA di Bandung, sudah berguru secara intensif kepada Ahmad Hassan yang juga pejuang nasional.

Dari berbagai pemikiran dan pidato Soekarno dan Natsir, kita bisa menyimak keduanya memiliki wawasan tentang buku dan keilmuan yang luas. Kemampuan Natsir dalam bahasa Belanda mendapatkan apresiasi khusus dari Soekarno. Tentu saja yang lebih mengagumkan dari sosok Mohammad Natsir adalah jiwa perjuangan, keteladanan, dan pengorbanannya.

Ketika Natsir berpendapat bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sekelompok guru yang ikhlas berbuat untuk bangsanya, maka Natsir menjadikan dirinya sebagai guru teladan. Yakni, seorang guru pejuang yang mengajar ilmu-ilmu kepada anak-anak muslim di sekolah Belanda, tanpa bayaran. Untuk itu, ia pun serius menulis buku ”Marilah Shalat” dalam bahasa Belanda (Komt tot het gebed).

Buku itulah yang dibaca dan dipuji oleh Soekarno dalam suratnya kepada A. Hassan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai guru, Natsir menempatkan dirinya sebagai dai atau mubalig sekaligus. Menjadi guru adalah menjadi pejuang di jalan Allah. Itulah kehormatan dan kemuliaan seorang guru; guru bukan sekedar tukang ngajar bayaran.
Bisa kita simpulkan, Soekarno dan Natsir tumbuh menjadi pemimpin, cendekiawan, dan penulis handal, melalui proses pendidikan yang integral. Sejak usia dini, mereka sudah dididik langsung secara intensif oleh guru-guru terbaik. Mereka tidak terjebak oleh paham sekolahisme sempit dan linierisme. Keduanya belajar kapan saja dan dimana saja. Ketika itu, tidak ada pembagian pendidikan formal, non-formal, dan informal. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. (Depok, 1 April 2024).

Admin: Kominfo DDII Jatim

Editor: Ainur Rofik Sophiaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *