DEMOKRASI SEKULAR VERSUS DEMOKRASI ISLAM

Artikel ke-1.789
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Banyak pihak mulai mempertanyakan logika dan praktik demokrasi yang sedang berjalan di negeri kita. Katanya, demokrasi yang berjalan saat ini, masih sekedar demokrasi prosedural. Bahkan ada yang bilang, demokrasi yang sedang berjalan adalah demokrasi minus etika.

Artinya, proses demokrasi memang berjalan. Rakyat yang memilih para pemimpin mereka. Rakyat pula yang mengesahkan presiden melalui lembaga perwakilan rakyat. Jadi, presiden bukan dipilih oleh Tuhan melalui wakil Tuhan di muka bumi (Teokrasi). Pemimpin dipilih dan disahkan oleh rakyat. Itu demokrasi.

Tapi, bagaimana dengan kondisi rakyat Indonesia saat ini? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada tahun 2023, rakyat Indonesia yang tamat sekolah tingkat SMA/sederajat berjumlah 30,22 persen; yang tamat SD/sederajat sebesar 24,62%; yang tamat SMP/sederajat sebanyak 22,74 persen. Sedangkan yang tamat perguruan tinggi hanya 10,15 persen pada Maret 2023.

Sementara persentase yang tidak tamat SD/sederajat dan belum pernah sekolah mencapai 12,26 persen. (Data ini diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada Maret 2023. Survei menyasar 345 ribu rumah tangga yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/11/27/tamatan-tingkat-pendidikan-warga-indonesia-terbanyak-dari-sma-pada-maret-2023).

Ketika para tokoh reformasi memutuskan untuk memilih presiden-wapres dengan sistem pemilihan langsung, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa yang menentukan pemenang pemilihan presiden adalah rakyat kebanyakan. Suara seorang yang tidak pernah sekolah sama nilainya dengan suara seorang guru besar ilmu politik.

Karena itu, tidak perlu heran, jika para calon presiden melakukan berbagai cara kampanye untuk mendapat dukungan rakyat seluas-luasnya. Ada dengan cara diskusi, seminar, bikin film, peluncuran buku, bantuan sosial langsung, konser musik, juga berbagai bentuk kampanye melalui media sosial.
Pokoknya, suara rakyat dianggap sebagai suara Tuhan (vox populi vox dei). Rakyat mana saja, dan apa saja kualitas intelektual atau akhlaknya. Pokoknya setiap “rakyat” punya hak 1 suara. Inilah demokrasi kuno yang pernah dikritik oleh Filosof Yunani Aristoteles (384-322 BC). Karena itu, Aristoteles menilai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk.

Aristoteles membagi sistem pemerintahan menjadi enam. Tiga sistem yang baik, dan tiga yang buruk. Tiga bentuk pemerintahan yang buruk adalah: demokrasi, tirani, dan oligarkhi. Sedangkan tiga sistem pemerintahan yang baik adalah: monarkhi, aristokrasi, dan polity. Jadi, kesimpulannya, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik, dari tiga yang buruk.

Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di negara-negara Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS.

Lebih jauh perbincangan tentang demokrasi, lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964).
Bahkan, Plato (429-347 BC) – guru Aristoteles – menyebutkan kelemahan dan bahaya internal demokrasi. Menurut Plato, ada empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga.

Karena itulah, Plato menginginkan munculnya “the wisest people” (orang-orang paling bijak) sebagai pemimpin ideal di suatu negara: “The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.”
Jadi, menurut Plato, sistem pemerintahan terbaik itu dijalanlan oleh sekelompok manusia-manusia terbaik di negara itu. Konsep ini mirip dengan sistem Ahlil Halli wal-aqdi. Juga, identik juga dengan sistem “demokrasi perwakilan”. Kita pun sudah menerapkan model semacam ini secara terbatas, pada – misalnya — Mahkamah Konstitusi. Sembilan Hakim MK bisa membatalkan Undang-undang yang dibuat oleh ratusan anggota DPR.

Gagasan semacam ini pula yang pernah dilontarkan oleh Mohammad Natsir dalam pidatonya di Majelis Konstituante, 12 November 1957. Ketika itu, Mohammad Natsir menyatakan: “Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.”
Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq, menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”

Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan: ”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik…”

Jadi, sejak awal mula, para pendiri bangsa kita sudah mencitakan berlakunya sistem demokrasi yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan demokrasi sekular yang mengabaikan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Pak Natsir itu disebut ”theistic democracy” atau ”Islamic democracy”.

Menjabarkan sejelas-jelasnya konsep “Theistic democracy” – bukan “Secular Democracy” — itulah salah satu tugas besar para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia saat ini. Semoga Presiden RI 2024-2029 bisa mewujudkannya. Amin. (Depok, 30 Januari 2024).

Admin: Kominfo DDII Jatim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *