Demokrasi Kerajaan dan Wacana Pemakzulan

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Pengurus DDII Jawa Timur

Dewandakwahjatim.com, Yogyakarta – Wacana pemakzulan terhadap presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin keras. Hal ini seiring dengan cawe-cawe Jokowi yang semakin jauh dan mendalam menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hal ini dikhawatirkan terjadi kecurangan dan sulit terselenggara Pemilu yang jujur dan adil. Oleh karenanya, publik menganggap bahwa di akhir masa jabatannya, Jokowi telah memberi “Kado KKN dan Demokrasi Kerajaan.” karena memperjuangkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres.

Merespon hal itu, rakyat pun mewacanakan “Kado Pemakzulan.” Pemakzulan dipandang sebagai momen pelajaran berbangsa dan bernegara agar tidak muncul “Jokowi-jokowi lain” di masa depan. Suara pemakzulan dimulai dari tangisan Goenawan Mohammad, kemudian paparan Eep Saifullah Fatah, Saiful Mujani, Ikrar Nusa Bhakti, Faizal Assegaf, dan sejumlah intelektual yang bermuara ingin menyelamatkan Indonesia dengan melengserkan Jokowi.

Suara Pemakzulan
Mendekati Pilpres 14 Pebruari 2024, suara pemakzulan semakin kencang, dan hal itu tidak bisa dilepaskan dengan adanya tangis dan kekecewaan budayawan Goenawan Mohamad di acara Rosi yang tayang di Kompas TV, Kamis, 2 November 2023. Dia pantas kecewa dan “patah hati” karena sosok yang dibelanya mati-matian telah berubah. Goenawan mengatakan “Saya dulu memilih Jokowi dan bekerja agar dia menang. Tapi kini saya merasa dibodohi. Jika nanti Prabowo-Gibran/Jokowi menang, kita dan generasi anak kita akan mewarisi kehidupan politik yang terbiasa culas, nepotisme yang menghina kepatutan, lembaga hukum yang melayani kekuasaan.”

Tangisan kekecewaan Goenawan Mohamad ini kemudian berlanjut dengan perlawanan yang dilakukan oleh peneliti PolMark Research Centre, Eep Saefulloh Fatah. Dia menyampaikan kemungkinan bisa untuk melakukan pemakzulan terhadap pejabat tinggi negara atau impeachment pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setidaknya ada empat factor :

Pertama, skandal yang menyangkut langsung dengan presiden. Presiden dipandang telah terlibat skandal yang mendasar karena kekeliruan serius berupa pelanggaran penyelewengan kekuasaan. Kasus itu menyangkut batas usia capres dan cawapres yang ditetapkan Mahkamah Konstitusional (MK). Dalam putusan MK itu, dinilai menjadi jalan mulus bagi putera sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi pendamping Prabowo di Pilpres 2024.

Kedua, kegagalan kebijakan-kebijakan yang dirasakan secara nyata. Terkait hal ini masyarakat selalu terlena dengan hasil survei kepuasan pemerintahan.

Ketiga, resistensi parlemen yang melembaga dan kuat sampai kemudian meluas dan tersokong oleh resistensi oposisi dan lain-lain dari gerakan sosial di liarnya.

Keempat, keresahan publik yang meluas pada pemerintahan saat ini. Meskipun saat ini keresahan belum meluas, namun demikian apabila sudah bertumpuk akan menyebabkan sebuah ledakan atau disebut dengan istilah silent majority.

Kempat faktor itu sudah terlihat nyata di pemerintahan Jokowi, sehingga berpotensi besar untuk dilakukan pemakzulan terhadap rezim otoriter itu

Suara pemakzulan juga muncul dari seorang pengamat politik Saiful Mujani yang menilai bahwa pemilu yang jujur dan adil bisa saja terjadi asalkan Presiden Jokowi harus dimakzulkan. Ia mengakui usulan pemakzulan Presiden Joko Widodo membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa berlangsung hingga Jokowi lengser. Kalau pemakzulan secara cepat dikhawatirkan terjadi chaos. Namun Saiful Mujani mendesak pemakzulan tetap dilakukan untuk memberikan informasi yang bagus kepada publik, bahwa orang yang dekat dengan Jokowi tidak layak untuk dipilih. Menurut Saiful, selama ini juga telah terjadi penyimpangan massif terhadap kekuasaan yang dipegang oleh Presiden Jokowi.
Realitas ini tidak lepas dari adanya sejumlah tokoh masyarakat yang mengatasnamakan kelompok Petisi 100 setelah bertemu langsung dengan Menko Polhukam Mahfud MD di kantor Kementerian Polhukam. Pertemuan tersebut terkait pembentukan Satgas Pemilu oleh Kemenko Polhukam.

Kelompok Petisi 100 menyampaikan usulannya agar Presiden Joko Widodo dimakzulkan. Mereka beralasan bahwa publik menduga ada keterlibatan presiden dalam Pemilu 2024.

Kritikus politik Faizal Assegaf mengatakan pertemuan membahas potensi kecurangan pemilu. Petisi 100 juga menyampaikan kepada Mahfud MD berdasarkan pendapat publik. Presiden Joko Widodo diduga terindikasi melakukan kecurangan pemilu dengan memanfaatkan kekuasaannya.  Menurut Faizal mengatasnamakan Petisi 100, Presiden Joko Widodo harusnya dimakzulkan dari jabatan guna mencegah kecurangan.

Sementara itu, pakar politik Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa usulan pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) agak susah lantaran partai politik (parpol) pendukungnya menguasai DPR RI. Hal ini disebabkan oposisi di DPR RI juga tidak kuat dan para pimpinan DPR dan partai politik (parpol) tersandera oleh Jokowi. Menurutnya, presiden Jokowi hanya bisa jatuh apabila menteri penting di kabinetnya mundur karena akan membuat legitimasi politiknya rendah.

Sejumlah pandangan di atas menguatkan wacana pemakzulan mengingat cawe-cawe Jokowi sudah terlalu jauh. Hal itu berawal dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipandang menyalahi etika bernegara, melanggar UU dimana Jokowi membiarkan anaknya melanggar aturan bernegara sehingga lolos menjadi Cawapres.
Wacana pemakzulan yang terus menggema bermuara pada penyelundupan pasal yang membuat anak presiden, Gibran Rakabuming Raka masuk mendampingi Prabowo. Dengan kata lain, publik mewacanakan pemakzulan kepada presiden Jokowi bukan sebagai permusuhan pada Prabowo tetapi memusuhi Jokowi sebagai musuh demokrasi yang ingin melanggengkan politik dinasti. Dengan kata lain, memakzulkan Jokowi bukan semata mengembalikan nalar etik yang sudah terinjak-injak, tetapi agar peristiwa membuat politik dinasri dan demokrasi kerajaan tidak terulang di masa mendatang.
Yogyakarta, 15 Januari 2024

Admin: Kominfo DDII Jatim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *