BUDAYA JAHIL TIDAK AKAN MEMBAWA PADA KEMAJUAN

Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Dalam bukunya, Budaya Ilmu (2019), Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menegaskan, bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh perkembangan budaya ilmu di tengah masyarakatnya. Sebaliknya, budaya kejahilan tidak akan membawa kepada kemajuan.
“Kemajuan” memang tidak selalu sejalan dengan kemaslahatan. Kemajuan ilmu tanpa disertai akhlak mulia, akan berdampak pada kerusakan masyarakat. Bahkan, pada akhirnya, kemajuan itu akan berdampak buruk terhadap mereka sendiri.
Sebagai contoh adalah bangsa Yahudi. Bangsa ini dikenal luas menghargai budaya ilmu. Ilmuwan-ilmuwan Yahudi seperti Einstein, Baruch Spinoza, Sigmund Freud, Karl Marx, memiliki pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Budaya keilmuan di Barat juga menarik dicermati. Setelah terlepas dari cengkeraman kekuasaan Geraja dan memasuki zaman baru (renaissance), bermunculan ilmuwan-ilmuwan Barat yang memiliki pengaruh besar dalam tradisi keilmuan seperti Galileo Galilei (m. 1642), Charles Darwin (m. 1882), Marie Curie (m. 1934), dan sebagainya.
Kini, dunia Barat tetap memberikan perhatian besar terhadap masalah keilmuan. Berbagai pusat kajian ilmu dibangun. Untuk memahami dunia Timur (Asia-Afrika) mereka membangun pusat-pusat kajian dan bidang kajian yang dikenal sebagai “Orientalisme”. Berbagai daya upaya dan biaya dikeluarkan untuk menguasai bahan-bahan literatur, baik buku, manuskrip, majalah, risalah tentang dunia Timur (termasuk dunia Islam). Penguasaan bahasa Arab, Parsi, Turki, Urdu, dan sebagianya juga digalakkan.
Bagaimana dengan Islam dan dunia Islam? Islam, menurut penulis, memiliki akar konsep dan budaya yang kuat dalam pengembangan tradisi dan budaya ilmu. Karena itulah, umat Islam memiliki potensi dan peluang besar untuk kembali bangkit sebagai satu peradaban besar, dengan konsep ilmu dan jalan kebangkitan yang khas.

Prof. Wan Mohd Nor memaparkan dengan gamblang bagaimana keunggulan dan keunikan konsep ilmu dan budaya ilmu dalam Islam. Konsep itu bukan sekedar utopis, tetapi sudah diterapkan dalam sejarah. Peradaban Islam telah melahirkan para ilmuwan yang agung, yang bukan hanya pintar, tetapi juga berakhak mulia. Budaya ilmu dalam Islam memiliki landasan yang kokoh karena dibangun di atas wahyu dan memiliki suri tauladan abadi, yakni Nabi Muhammad saw. Ini tidak dijumpai pada peradaban mana pun.

Prof Wan Mohd Nor juga memberikan kritik terhadap tantangan budaya ilmu di era modern kini. Ia mengkritik konsep “spesialisasi sempit” yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain. Ia menekankan perlunya menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disciplinary dan inter-disciplinary.
Spesialiasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose Ortega Y Gasset, filosof Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian). Tradisi keilmuan dalam Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. Ilmuan-ilmuwan Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang.
Mengutip buku World Crisis in Education, karya Philips H. Coombs, (Oxford University Press, 1985), penulis mengkritik pemisahan antara pendidikan formal, non-formal, dan informal. Bahwa, seolah-olah pendidikan formal adalah yang terpenting. Menurut penulis: “Dalam budaya ilmu semua acara pendidikan adalah formal, dari segi sikap dan peranan guru serta pelajar.

Pembinaan tamadun atau peradaban ilmu, tegas Prof. Wan Mohd Nor, “Hanya mungkin berhasil jika ilmu diberikan status sebagai the highest good (kebaikan mutlak) atau menduduki martabat tertinggi dalam sistem nilai individu dan masyarakat.”
Meskipun menekankan “keunikan” budaya ilmu dalam Islam dan mengajukan konsep “Islamisasi ilmu-ilmu semasa (kontemporer)”, Prof. Wan Mohd Nor mengimbau kaum Muslim tidak apriori terhadap ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban di luar Islam. Penulis memang mengkritik keras berbagai aspek konsep dan budaya ilmu dalam peradaban Barat, yang diilhami oleh semangat sekular. Namun, penulis mengajak kaum Muslim untuk mengakui, bahwa banyak ilmuwan Barat yang gigih dan bersungguh-sungguh dalam mengejar ilmu, dan banyak juga iktibar dan kebaikan dapat diperolehi dari mereka.

Setelah memahami soal budaya ilmu ini, kita patut bertanya, apakah yang melandasi sejarah dan arah perjalanan bangsa kita adalah ‘budaya ilmu’, ataukah ‘budaya jahil’ dan ‘budaya ingkar ilmu’? Ingat, sejarah menunjukkan, budaya jahil tidak pernah membangkitkan satu peradaban.
Akhirul kalam, bagi kita – umat Islam Indonesia — yang sedang “menggeliat” dalam upaya meraih kejayaan untuk diri dan bangsa kita, maka masalah budaya ilmu ini patut terus dikaji dan direnungkan. Tujuannya agar kita meraih ilmu yang bermanfaat.
“Allaahumma innaa as-aluka ‘ilman naafi’an…” Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, agar kami mendapatkan ilmu yang bermanfaat! Amin. (Depok, 23 Desember 2023).

Admin: Kominfo DDII Jatim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *