AHLUSH-SHUFFAH: MODEL IDEAL UNIVERSITAS

Artikel ke-1.744
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id).

Dewandakwahjatim.com, Surabaya -Tahun 1999, Penerbit Gema Insani Press menerbitkan satu buku penting berjudul: Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi. Penulisnya: Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari. Judul aslinya: Madinah Society in the Time of the Prophet: Its Caracteristic and Organization. 

Salah satu bagian pembahasan menarik dalam buku ini adalah sejarah tentang Ahlush- Shuffah. Mereka adalah puluhan sahabat Nabi yang tinggal di Masjid Nabawi. Kondisi mereka yang sangat miskin tidak mengurangi semangat mencari ilmu (thalabul ilmi), beribadah, dan berjuang di jalan Allah. 
Hebatnya, nama-nama mereka tercatat dalam sejarah. Sebagian besar kaum Muhajirin. Sebagian kecil kaum anshar. Abu Nu’aim mencatat sejumlah nama mereka, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, Ka’ab bin Malik al-Anshari, Hudzifah bin Yaman, Khabab bin al-Art, Abdullah bin Mas’ud, Bilal bin Rabah, dan sebagainya.
Dalam penelitian penulis buku, ilmuwan pertama yang menulis kisah Ahlush-Shuffah adalah Abdurrahman Muhammad bin Husain as-Salami an-Nisaburi (w. 412 H). Sayangnya, kitab Tarikh Ahlush-Suffah karyanya tidak ditemukan. Tapi, dari kitab itulah, Abu Nu’aim mengutip kisah Ahlush-Shuffah dalam kitabnya, Hilyah al-Auliya. 

Pencatatan kisah Ahlush-Shuffah ini menunjukkan tingginya budaya ilmu di tengah masyarakat Madinah ketika itu. Dalam keterbatasan alat-alat tulis, mereka masih mampu mencatat nama-nama para sahabat Nabi yang termasuk dalam Ahlush-Shuffah.
Tradisi tulis menulis ini perlu diperhatikan dalam dunia pendidikan kita. Biasanya banyak lembaga-lembaga pendidikan besar yang tidak memiliki catatan sejarahnya sendiri. Bahkan, tak jarang yang kemudian sejarah mereka ditulis oleh “pihak lain” yang bisa saja tidak sesuai dengan harapan pendiri dan pengelola lembaga pendidikan itu sendiri. 
Sepenggal kisah Ahlush-Shuffah ini menunjukkan bahwa sejatinya, Ahlush-Shuffah merupakan satu bentuk “universitas Islam” ideal. Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin dan kekurangan. Bahkan, pakaian yang layak pun tidak mereka miliki. 
Dikisahkan: “Ahlush-Shuffah tidak memiliki pakaian yang cukup untuk menutupi dan melindungi tubuh mereka dari dingin dan panas. Mereka tidak memiliki mantel. Tidak satu pun yang mempunyai pakaian lengkap. Apalagi yang menutupi seluruh tubuhnya.”   
Tentang makanan, hampir tiap hari makanan mereka adalah kurma. Setiap hari, Nabi memberi mereka kurma, sehingga ada yang mengeluh, karena sakit perut. Nabi sering mengundang mereka makan, tetapi dengan menu seadanya. “Demi Yang di tangan-Nya ada jiwa Muhammad, apa yang kalian lihat malam ini adalah makanan yang ada pada keluarga Muhammad,” kata Rasulullah saw.
Karena kekurangan makanan, kadang kala ada anggota Ahlush-Shuffah yang pingsan saat menjalankan shalat. Abu Hurairah pernah terjatuh antara mimbar dan ruangan Aisyah karena kelaparan. Tetapi, hebatnya, kondisi kekurangan seperti itu, tidak menjadikan mereka rakus dan berebut makanan. Jika seorang makan dua biji kurma sekaligus, maka ia akan menyampaikan kepada teman-temannya agar melakukan hal yang sama. 

Yang sangat menakjubkan adalah tinggi semangat mencari ilmu dan semangat jihad di kalangan Ahlush-Shuffah. Dari mereka lahir para ilmuwan agung yang memiliki semangat jihad yang tinggi, seperti Abu Hurairah, Salman al-Farisi, dan sebagainya. Dalam kondisi serba kekurangan, mereka terus beribadah, berzikir, dan belajar menulis dan membaca. Ubadah bin ash-Shamid adalah seorang yang sering mengajar mereka menulis dan membaca. Tentu saja, guru utamanya adalah Rasulullah saw. 

Menelaah kisah Ahlush-Shuffah, kita dapat menyimpulkan, itulah satu model universitas Islam terbaik. Budaya ilmu yang tinggi, dibarengi dengan penanaman nilai-nilai akhlak mulia dan semangat jihad yang sangat tinggi. Model pendidikan tinggi seperti inilah yang sepatutnya kita jadikan sebagai contoh dalam pendidikan tinggi kita. 

Tentu, semua itu berawal dari penanaman Tauhid yang sangat kuat, sehingga mereka yakin dengan kehidupan akhirat. Bahwa, dunia ini hanyalah kehidupan singkat dan laksana fatamorgana. Kesenangannya menipu. Ilmu yang mereka dapat berdampak langsung kepada semangat untuk mengamalkan dan mengajarkan serta memperjuangkannya. 

Kini, umat Islam disuguhi berbagai lembaga pendidikan tinggi, bernama “Universitas” atau “Universitas Islam”. Patut ditelaah, apakah para dosen dan mahasiswanya sama-sama berjuang untuk memperbaiki diri menuju terbentuknya – yang dikatakan oleh Prof. Naquib al-Attas – sebagai “a universal man” (al-insan al-kulliy); yakni manusia yang integral, manusia seutuhnya. 
Karena kekacauan ilmu, ada yang tidak memahami apa makna “universitas” sebenarnya. Prof. Naquib al-Attas sudah mengingatkan dampak buruk universitas modern bagi 

Pembentukan pribadi manusia yang mulia.
Di Indonesia nama universitas digunakan untuk sebutan bagi perguruan tinggi tertentu, disamping Sekolah Tinggi dan Institut. Nama universitas diijinkan untuk digunakan jika memiliki jumlah Program Studi yang mencukupi. Ini soal teknis administratif saja.


Tapi, yang erlu dipikirkan serius, jika kita mendirikan perguruan tinggi bernama universitas, tetapi penanaman nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan semangat dakwah, tidak diutamakan. Semoga tidak seperti itu. Semoga Allah memberi petunjuk dan ampunan kepada kita semua! (Depok, 14 Desember 2023).

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *