Artikel ke-1.735)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Salah satu gagasan yang ramai-ramai dijanjikan oleh para calon presiden adalah pendidikan murah, bahkan gratis. Ada yang menjanjikan program wajib belajar 12 tahun. Ada juga partai yang menawarkan gagasan kuliah gratis. Apakah program seperti ini akan memajukan pendidikan kita?
Untuk menjawabnya, lagi-lagi, kita perlu merumuskan makna kata “pendidikan” terlebih dulu. Apa yang dimaksud “pendidikan”? Merujuk pada UUD 1945 pasal 31 ayat (3) dan beberapa undang-undang, maka pendidikan adalah segala upaya yang dilakukan untuk melahirkan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa dan berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan mandiri, dan berguna bagi masyarakat.
Selama ini, program wajib belajar diartikan sebagai “wajib sekolah”. Program wajib belajar 12 tahun adalah program wajib sekolah gratis selama 12 tahun. Yakni, sekolah gratis tingkat SD-SMA. Saat ini, sudah ada progam sekolah gratis selama 9 tahun. Baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dengan anggaran pendidikan tahun 2024 sebesar Rp 665 triliun, pemerintah pusat akan lebih leluasa untuk mengarus anggaran pendidikan, termasuk untuk penyelenggaraan sekolah gratis. Beberapa daerah bahkan punya anggaran khusus untuk memberikan beasiswa bulanan kepada anak-anak sekolah.
Bagaimana kita memahami program pendidikan gratis dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam? Islam memandang aktivitas mencari ilmu (thalabul ilmi) adalah: (1) kewajiban setiap muslim, (2) perbuatan yang sangat mulia (3) harus mencari ilmu yang bermanfaat (ilman naafi’an).
Dalam perspektif seperti itu, maka pemerintah sudah sepatutnya menempatkan “ilmu” sebagai “kebutuhan primer”. Ilmu adalah yang menentukan hidup-matinya seseorang atau suatu bangsa. Bukan hanya sandang, pangan, dan papan.
Maka, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan segala hal yang diperlukan agar rakyatnya dapat melaksanakan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya. Program sekolah gratis bisa dipandang sebagai pelaksanaan kewajiban pemerintah itu. Jangan sampai ada rakyat yang tidak dapat melaksanakan kewajiban mencari ilmu, karena ketiadaan biaya atau sarana dan prasarana untuk belajar.
Kaedah ushul fiqih menyatakan: maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajibun. Jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksanana kecuali dengan “sesuatu”, maka sesuatu itu menjadi wajib. Jika anak tidak dapat belajar karena tidak ada jembatan, maka mengadakan jembatan itu menjadi wajib.
Jadi, program sekolah atau kuliah gratis, bisa dipandang sebagai hal yang baik. Hanya saja, dalam perspektif worldview Islam, program ini justru BISA merugikan murid atau orang tua murid. Sebab, dengan pendidikan gratis, mungkin akan banyak orang yang mampu, tetapi tidak mengeluarkan biaya pendidikan untuk anak-anaknya.
Itu sama saja ia tidak berinfaq di jalan kebaikan. Maka, rugilah dia, karena tidak melakukan amal kebajikan yang sangat besar nilai pahalanya. Bahkan, bisa menjadi amal jariyah yang terus mengalirkan pahala kepada arang orang tua, semasa hidup di dunia atau sesudahnya.
Pertanyaan berikutnya, apakah program pendidikan gratis pada capres itu akan memajukan pendidikan di Indonesia? Jawabnya, itu tergantung “standar kemajuan” yang digunakan. Jika sukses atau kemajuan pendidikan diukur dari banyaknya anak-anak yang bersekolah, mungkin akan ditemukan adanya kemajuan. Bahwa, anak-anak Indonesia yang sekolah sampai tingkat SMA makin banyak. Bahwa, angka putus sekolah karena ketiadaan biaya, akan semakin menurun.
Tetapi, sebenarnya, problematika pendidikan kita yang paling mendasar ada pada perumusan makna kata “pendidikan” itu sendiri. Merujuk kepada konstitusi kita dan sejumlah peraturan perundang-undangan, elemen terpenting dari pendidikan adalah penanaman nilai-nilai kebaikan yang dalam Islam disebut sebagai proses penanaman adab (ta’dib).
Pendidikan adalah aktivitas kenabian. Dalam QS al-Jumuah: 2 dan al-Baqarah: 151, disebutkan bahwa tugas Nabi (saw) adalah 3-T: Tilawah, tazkiyah, dan ta’lim. Dalam pendidikan harus ada aktivitas pensucian jiwa sebagai dasar pembentukan akhlak mulia. Pendidikan akhlak ini mengharuskan adanya keteladanan para guru, orang tua, dan para pemimpin bangsa.
Jika ingin rakyat kita menjadi orang-orang yang jujur, cinta ilmu, cinta kebaikan, dan pekerja keras, maka para orang tua, guru, dan para pemimpin bangsa, harus bisa menjadi teladan bagi para murid, mahasiswa, dan masyarakat.
Melihat kondisi sekolah dan kampus-kampus kita saat ini, maka kita patut bertanya: apakah saat ini sekolah dan kampus kita telah menjadi tempat untuk mendidik atau justru sebaliknya? Inilah agenda besar para calon presiden kita! Wallaahu A’lam bish-shawab. (Depok, 5 Desember 2023).
Admin: Kominfo DDII Jagtim/ss