PENDIDIKAN ITU BUKAN HANYA SEKOLAH

Artikel ke-1.729
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Pada 23 Oktober 2023, situs www.cnbcindonesia.com, memuat artikel menarik berjudul:
“Nih! Bandingkan Janji Anies Prabowo Ganjar soal Pendidikan!” Disebutkan, bahwa pendidikan menjadi salah satu kunci membawa Indonesia menjadi negara maju.
Pendidikan juga menjadi salah satu modal investasi yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup individu, masyarakat, dan negara. Pendidikan menjadi salah satu kunci dari arah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu menciptakan SDM tangguh yang produktif, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan juga teknologi.

Namun, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan akses pendidikan yang layak hingga kini. Merujuk data Dirjen Dukcapil, jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2023 sebanyak 279,12 juta jiwa. Angka ini naik dari sebelumnya pada Juni 2022 sebesar 275,36 juta jiwa.

Dari jumlah tersebut, ternyata hanya 6,41% atau sekitar 17,64 juta penduduk yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi hingga 2022; dengan rincian: Diploma berjumlah 1,69%, S1 berjumlah 4,39%, S2 berjumlah 0,31%, dan S3 berjumlah 0,02%. Sedangkan penduduk yang menempuh pendidikan hingga SMA berjumlah 20,89% atau sekitar 57,53 juta.

Padahal, anggaran pendidikan terus mengalami kenaikan sepanjang tahunnya. Di APBN 2023, anggaran pendidikan mencapai Rp 621,3 triliun, melonjak 14,46% dari posisi APBN 2022 sebesar Rp 542,8 triliun.

Sejak tahun tersebut, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Anggaran pendidikan pun bengkak 182% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 612,2 triliun pada 2022.

Sayangnya, mandatory spending sebesar 20% dari APBN belum berdampak maksimal kepada output pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan skor PISA (Programme for International Student Assessment/PISA) Indonesia di urutan ke 74 atau peringkat keenam dari bawah pada 2018.

Sementara itu, kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371 berada di posisi 74, kemampuan Matematika mendapat 379 berada di posisi 73, dan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi 71.

Hasil studi PISA 2018 dari OECD juga menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371. Skor di bawah rata-rata skor OECD yakni 487.
Skor tersebut bahkan terus turun dari 402 pada 2009. Skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Skor sains rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 sementara skor rata-rata OECD yakni 489.

Rendahnya skor membaca, matematika, dan skor sains mencerminkan masih rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Artikel itu memberikan gambaran umum tentang problematika pendidikan kita yang kemudian menjadi dasar penyusunan program pendidikan para calon presiden. Sayangnya, makna “pendidikan” masih disamakan dengan makna “sekolah”. Ditulis: “… masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan akses pendidikan yang layak hingga kini.”

Sudah lazim kita baca dan kita dengar, kata “pendidikan” biasanya dipahami dengan makna “sekolah”. Artinya, anak-anak yang tidak sekolah dianggap tidak berpendidikan. Karena itulah, yang dimaksud dengan wajib belajar adalah wajib sekolah.

Dalam makna itu, maka anak-anak yang rajin bersekolah, tetapi tidak aktif shalat dan mengaji di masjid, maka tetap dianggap sudah menjalani proses pendidikan. Sebaliknya, anak-anak yang rajin dan aktif mengaji dan shalat di masjid serta taat kepada orang tua – tetapi tidak bersekolah – dianggap tidak menjalani pendidikan.

Makna pendidikan seperti ini menyebabkan anak-anak muslim diwajibkan agar rajin bersekolah, tetapi tidak diwajibkan untuk rajin ke masjid. Aktivitas ibadah dan taklim di masjid dianggap sebagai kegiatan “ekstra-kurikuler”, yang tidak wajib diikuti oleh para siswa dan juga tidak menjadi penilaian kelulusan.

Berikutnya, saat ini, penentuan ranking sekolah dan kampus didasarkan pada nilai ujian beberapa mata pelajaran dan aspek-aspek manajerial. Aspek akhlak mulia sama sekali tidak dianggap perlu untuk dimasukkan sebagai komponen penentuan ranking sekolah dan kampus.

Karena itulah, kita berharap, para calon presiden memberi makna baru pada kata “pendidikan” yang bukan hanya terbatas pada “persekolahan”. Menteri Pendidikan bukan hanya mengurusi urusan persekolahan. Jika hanya mengurusi sekolah dan lapangan pekerjaan, maka sepatutnya namanya diganti menjadi “Menteri Persekolahan dan Ketenagakerjaan”.

Mengukur kualitas pendidikan kita hanya berdasarkan ranking PISA di beberapa sekolah juga tidak tepat dan mereduksi hakikat pendidikan itu sendiri. Dan ini bertentangan dengan makna pendidikan sebagaimana disebutkan dalam UUS 1945 pasal 31 (3).

Memang, sepatutnya, inti pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai akhlak mulia. Dan akar masalah pendidikan kita saat ini adalah kemerosotan akhlak dan formalisme persekolahan yang berlebihan. Perbaikan akhlak itu harus dimulai dengan proses pembersihan jiwa manusia (tazkiyyatun nafs).

Rasulullah saw mengingatkan, bahwa pangkal segala kerusakan adalah penyakit cinta dunia (hubbud-dunya). Serakah harta dan jabatan adalah contoh penyakit jiwa yang paling merusak diri dan masyarakat. Betapa tidak? Harta dan jabatan itulah yang akan memberatkan pertanggungjawabannya kepada Allah SWT di Hari Akhir nanti.

Karena itu, kita berharap, para calon presiden mampu merumuskan akar masalah pendidikan kita secara mendasar dan komprehensif. Lalu, menyusun konsep pendidikan yang solutif dan produktif, agar bangsa Indonesia benar-benar akan tampil sebagai bangsa yang hebat dan bermartabat. Amin. (Depok, 29 November 2023).

Admin: Kominfo DDII Jatim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *