Artikel Terbaru (ke-1.660)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketus Umum DDII Pusat
Dewandakwahjaytmcom, Jakarta, lni masalah serius bagi masa depan pendidikan Islam. Juga, bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam berbagai kunjungan ke banyak kampus Islam, saya mendapat kabar bahwa jurusan pendidikan dan keguruan – baik yang umum maupun pendidikan Islam – dianggap sebagai jurusan (program studi) yang kurang diminati.
Untuk jurusan pendidikan dan keguruan, ada satu kampus Islam yang memasang biaya pendidikan hanya Rp 250 ribu per semester. Ada yang SPP-nya Rp 300 ribu sebulan. Tapi, ada juga yang digratiskan dan diberikan beasiswa bulanan untuk operasional pendidikan.
Secara operasional program pendidikan seperti ini memang merugi. Tetapi, demi untuk mempertahankan eksistensi jurusan pendidikan dan keguruan, maka dilakukanlah pola subsidi silang. Subsisi itu diambil dari surplus prodi kesehatan, kedokteran, ekonomi, dan prodi-prodi lain yang lebih diminati oleh para mahasiswa. Padahal, biaya pendidikan di prodi-prodi tersebut jauh lebih mahal dibandingkan dengan prodi pendidikan dan keguruan.
Kita masih ingat kata-kata Mohammad Natsir, bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sekelompok guru yang ikhlas berbuat untuk bangsanya. Maknanya, kualitas guru-lah yang menentukan masa depan bangsa itu. Guru memang patut memiliki komptensi yang tinggi; mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan sebagainya.
Sebenarnya, sudah lazim dipahami, bahwa kunci sukses pendidikan terutama ditentukan oleh faktor guru. Sebab, hakikat pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan dan penambahan ilmu dengan aktor utama para guru. Karena itulah, Rasulullah saw menyebutkan bahwa “orang tua” (guru)-lah yang mengarahkan anak-anaknya, apakah menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majuzi.
Kita bersyukur, bahwa saat ini begitu besar perhatian umat Islam pada pendidikan tingkat dasar dan menengah. Banyak eksperimen pendidikan yang telah menghasilkan anak-anak muda cerdas dan sholeh pada tingkat dasar dan menengah. Masyarakat pun sudah percaya bahwa sekolah-sekolah dan pesantren Islam merupakan lembaga pendidikan yang berkualitas, sehingga mereka rela membayar cukup mahal untuk itu.
Akan tetapi, kepercayaan masyarakat seperti itu belum dinikmati oleh perguruan tinggi Islam, khususnya pada jurusan pendidikan dan keguruan. Jurusan-jurusan pendidikan dan keguruan ini dianggap bukan sebagai jalan kesuksesan bagi anak-anak mereka dan dianggap tidak terlalu membanggakan keluarga. Ketika seorang anak saya kuliah pendidikan sejarah, ada yang menyatakan,” Nanti jadi apa?”
Adalah sesuatu yang patut dipikirkan amat sangat serius, jika organisasi Islam yang mengelola ratusan bahkan ribuan lembaga pendidikan, tetapi para pelajar terbaiknya tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah pendidikan dan keguruan di perguruan tinggi milik ormas Islam tersebut. Mereka lebih tertarik kuliah di perguruan tinggi lain – yang jelas-jelas sekuler – demi mengejar cita-citanya.
Bagaimana solusinya? Pertama, pada sisi orang tua dan pelajar atau santri, perlu dilakukan perubahan pemikiran yang mendasar, bahwa menjadi guru adalah satu kemuliaan. Ilmu yang diamalkan dan diajarkan akan menjadi pahala jariyah bagi anak dan juga orang tua yang mengarahkan dan membiayai pendidikannya. Visi akhirat perlu ditanamkan dengan serius dan terus-menerus. Jangan lelah untuk usaha ini. Pekerjaan ini sangat berat, karena melawan arus besar sekulerisme-materialisme.
Kedua, pada sisi sekolah atau pesantren tingkat menengah, perlu dilakukan perubahan tujuan dan kurikulum pendidikannya, agar jangan didominasi tujuan-tujuan duniawi. Visi dan tujuan ukhrawi perlu terus dikuatkan. Dalam al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang memuliakan orang-orang yang beriman dan melakuka aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. (QS Ali Imran: 104, 110, 139, Luqman: 13, 17, QS al-Ashr), dan sebagainya.
Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, KH. Hasyim Asy’ari mengingatkan bahwa adab pertama yang harus dilakukan oleh setiap pelajar adalah mensucikan jiwanya. Pada bab “Adab Penuntut Ilmu Kepada Dirinya” KH Hasyim Asy’ari menulis: “Yang pertama agar ia mensucikan hatinya dari segala sifat khianat, kotoran, iri hati, hasad, keyakinan serta akhlaq yang buruk… Kedua, agar ia membaguskan niat dalam menuntut ilmu dengan harapan meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu ia beramal, yang dengannya ia dapat menghidupkan syari’ah, untuk mencerahkan hati, memperbaiki batinnya, dan mendekatkan diri kepada Allah; dan tidaklah ia bertujuan — dengan ilmunya itu — untuk meraih tujuan-tujuan dunia; untuk mendapatkan penghasilan, pangkat, harta, kebanggaan diantara kawan-kawan, pengangungan manusia terhadapnya, dan lain-lain.”
Ketiga, pada sisi Perguruan Tinggi Islam, perlu dilakukan perubahan mendasar terhadap konsep pendidikannya. Perguruan tinggi Islam adalah lembaga perjuangan (jihad fi sabilillah), bukan lembaga bisnis. Para pendirinya, para dosennya, para mahasiswanya, dan juga para pendukungnya, adalah manusia-manusia mulia yang terlibat dalam aktivitas perjuangan di jalan Allah. InsyaAllah, mereka termasuk manusia-manusia yang dicintai Allah SWT (QS Ash-shaf: 4).
Terlebih lagi yang terlibat dalam prodi-prodi pendidikan dan keguruan. Prodi ini harus diniatkan menjadi pusat pendidikan guru-guru pejuang intelektual. Para pejuang ini yakin benar, bahwa Allah mencintai orang-orang yang menyeru manusia ke jalan-Nya yang lurus. Mereka yakin benar, bahwa Allah telah menjanjikan, siapa saja yang menolong agama-Nya, pasti akan ditolog oleh Allah dan dikuatkan kedudukannya! (QS Muhammad: 7).
InsyaAllah, dengan tiga cara perubahan pada ketiga sisi pendidikan tersebut, maka pendidikan keguruan akan diisi oleh pelajar-pelajar terbaik, yang cerdas, ikhlas, dan bersemangat tinggi dalam menegakkan kebenaran. Walllaahu A’lam bish-shawab. (Depok, 21 September 2023).
Admin: Kinfo DDII Jatim/SS