Ketika Berdakwah di Pinggiran

Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Pengurus DDII, Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Menyeru masyarakat muslim untuk berpegang teguh pada agama ini merupakan tugas berat para dai. Para dai yang mengajak manusia kepada Allah akan tercatat sebagai manusia yang mengikuti teladan dari para nabi dan rasul. Mereka ini layak dijadikan teladan karena telah menempuh jalan istiqamah untuk mengajak manusia mengagungkan Allah semata. Sebaliknya ketika mereka mau terjun di bidang dakwah dengan tujuan untuk memperoleh banyak keuntungan duniawi, dan tak bersemangat dalam berdakwah karena banyaknya hambatan dan kesulitan, berarti telah menempatkan diri berdakwah di tempat pinggiran. Sementara jalan dakwah yang dilalui para nabi dan rasul berada di tengah masyarakat. Berbagai tantangan dan hambatan meraka lalui. Berkat ketahanan dan kesabaran dirinya maka Allah mencatatnya sebagai pejuang dakwah.

Energi Dakwah

Dakwah mengajak manusia untuk teguh di atas jalan kenabian merupakan jalan yang diridhai Allah. Dakwah dalam mengajak manusia untuk mengagungkan dan menyembah Allah akan tercatat sebagai manusia yang berada yang mewarisi jalan kenabian. Menyeru kepada Allah berarti mengajak manusia untuk menyadari bahwa segala perbuatannya akan tercatat dan diberi balasan serta memperoleh kebaikan.
Sebaliknya mereka yang lalai terhadap pengagungan dan penyembahan kepada Allah, maka perilakunya tak terkontrol dan cenderung menyimpang sehingga berakhir kehinaan.

Oleh karena itu, menyeru kepada manusia untuk mengagungkan dan menyembah Allah saja merupakan ciri dan karakteristik seorang muslim. Allah pun memuji hamba yang menyeru kepada dakwah yang lurus sehingga tercipta berbagai amal kebaikan. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَاۤ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَا لِحًا وَّقَا لَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (QS. Fussilat :  33)

Tugas seorang dai adalah mengajak manusia untuk menjadi hamba yang bertauhid, dan mendorongnya untuk melahirkan berbagai amal kebaikan. Dengan tauhid yang kuat, maka terdorong secara internal untuk shalat berjamaah tanpa ada paksaan, mendalami, memahami, dan mempraktekkan kandungan Al-Qur’an-Hadits, membantu kepentingan orang lain, serta berbagai amal sosial yang lain. Dengan mentauhidkan Allah secara tulus ikhlas maka tergerak melakukan berbagai amalan kebaikan secara ringan atau berat.

Tantangan untuk melakukan kebaikan sangat banyak. Terkadang orang melakukan amal kebaikan terasa ringan dan terkadang terasa berat. Terasa ringan karena terdorong oleh spirit tinggi, sehingga rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk kepentingan agamanya. Namun tidak sedikit yang merasa berat untuk menyisihkan sebagian hartanya, dan bahkan tidak rela mensedekahkan harta dan jiwanya untuk membela agamanya. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

اِنْفِرُوْا خِفَا فًا وَّثِقَا لًا وَّجَاهِدُوْا بِاَ مْوَا لِكُمْ وَاَ نْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ ذٰ لِكُمْ خَيْرٌ لَّـكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. At-Taubah : 41)

Kerelaan untuk mengorbankan diri dan hartanya memang berat. Namun hal ini memiliki nilai tertinggi, dan Al-Qur’an menegaskan posisi seperti ini memiliki kedudukan yang tinggi dan lebih baik. Orang kafir saja berani menyisihkan harta dan dirinya untuk menghadang atau memadamkan cahaya Islam. Bahkan mereka menyatukan barisan untuk memerangi Islam secara sinergis. Tentu kaum muslimin jauh lebih berhak untuk menginfakkan hartanya untuk kepentingan agama ini. Disinilah pentingnya pengorbanan umat Islam untuk bersemangat untuk memperjuangkan agamanya dengan harta dan jiwanya.

Berdakwah Di Tengah

Semangat untuk berdakwah merupakan tugas mulia, karena bisa memberi pencerahan kepada orang lain untuk meniti jalan kebaikan. Dia akan memperoleh kebaikan sebagaimana yang dilakukan oleh siapa pun yang terkana pengaruh dakwahnya. Tidak sedikit adanya sekelompok masyarakat yang berpegang teguh pada agama secara tanggung. Dimana mereka berpegang teguh pada agamanya ketika mendapatkan musibah. Hidupnya kurang membaik, ekonominya terancam sehingga mereka mengalami celaan, cibiran, pengusiran hingga pembunuhan. Mereka maju-mundur dalam berpegang teguh pada agama ini. Faktor material-ekonomi menjadi latar belakang dalam berpegang teguh pada agama ini.
Al-Qur’an menggambarkan bahwa mereka akan melepas agamanya ketika hidupnya terus mengalami cobaan dan musibah. Mereka akan gembira dengan agamanya ketika hidupnya semakin mapan dimana kebutuhan ekonominya semakin membaik. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagai berikut :

وَمِنَ النَّا سِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍ ۚ فَاِ نْ اَصَا بَهٗ خَيْرٌ ٱِطْمَاَ نَّ بِهٖ ۚ وَاِ نْ اَصَا بَتْهُ فِتْنَةُ ٱِنْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖ ۚ خَسِرَ الدُّنْيَا وَا لْاٰ خِرَةَ ۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَا نُ الْمُبِيْنُ

“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj : 11)

Model beragama seperti di atas, bukan hanya merusak dirinya, tetapi akan merusak masyarakatnya. Betapa tidak, dia akan membela dan berjuang untuk agamanya ketika dia mendapatkan keuntungan materi, kedudukannya semakin kokoh, kekayaannya semakin bertambah, dan semua manusia kagum kepadanya. Namun dia melepas agamanya ketika dalam menjalani agama ini bertubi-tubi memperoleh musibah, hidupnya penuh kekurangan, dijauhi atau dimusihi orang lain.

Beragama dengan memperhitungkan untuk rugi inilah yang menjadi tantangan hidup bagi para dai. Masyarakat mau menjalankan agamanya ketika terpenuhi kebutuhan hidupnya, dan akan meninggalkan agamanya karena hidupnya penuh derita dan kebutuhan dunianya terganggu. Kemunafikan dalam beragama inilah yang menjadi tantangan para dai dimana pun dan kapan pun.
Hal ini juga menimpa sebagian dai yang peduli terhadap dakwah ini karena iming-iming keuntungan materi, dan tidak aktif di bidang dakwah karena tidak memperoleh keuntungan apa-apa. Pantas apabila Allah menggambarkan keberagamaan para dai seperti seperti orang yang berdakwah di posisi pinggiran. Mereka inilah yang menghambat dan mempersulit tersebarnya dakwah. Surabaya, 6 September 2023

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *